Berkaca dari Kasus Lesti Kejora, Mengapa Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban KDRT?

 Berkaca dari Kasus Lesti Kejora, Mengapa Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban KDRT?

Memperjuangkan Hak Pekerja Rumah Tangga, Meneladani Akhlak Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan kabar laporan Lesti Kejora atas dugaan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, Rizky Billar.

Pasalnya pasangan ini sering mengumbar keharmonisan rumah tangganya di media sosial, sehingga membuat banyak masyarakat bertanya-tanya soal kebenaran beritanya.

Pemicu dari tindak KDRT ini diduga berawal dari terbongkarnya perselingkuhan yang dilakukan Rizky Billar di belakang Lesti.

Pada saat itu, Lesti langsung meminta dipulangkan saja ke orang tuanya, tetapi emosi Rizky Billar malah melonjak sampai ia membentak, mencekik dan membanting Lesti.

Kasus KDRT yang menimpa Lesti bukanlah satu-satunya yang telah terjadi, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022 tindak kekerasan paling banyak masih terjadi di ranah Personal yaitu 2.527 kasus, publik atau komunitas 1.273 kasus dan ranah Negara 38 kasus.

Kekerasan yang terjadi di ranah personal diantaranya adalah kekerasan oleh mantan pacar yang tercatat sebanyak 813 kasus (32,2%), menjafi kasus yang paling banyak diadukan.

Kemudian berturut-turut kekerasan terhadap istri sebanyak 771 kasus, kekerasan dalam pacaran sejumlah 463 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sejumlah 212 kasus, KDRT/RP lain seperti kekerasan terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh kakak atau adik ipar atau kerabat lain sebanyak 171 kasus, kekerasan mantan suami 92 kasus dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebanyak 5 kasus.

Bentuk kekerasan di ranah personal yang paling dominan di antaranya adalah kekerasan psikis sebanyak 2.008 kasus (44%), kekerasan seksual 1.149 kasus (25%), disusul kekerasan fisik 900 kasus (20%) dan terakhir kekerasan ekonomi 520 (11%).

Sedangkan data Pengadilan Agama mencatat bahwa penyebab perceraian terbesar adalah perselisihan berkelanjutan (tidak harmonis) sebanyak 279.205 kasus.

Kedua terbesar adalah ekonomi sebanyak 113.343 kasus disusul meninggalkan salah satu pihak sejumlah 34.671 kasus dan kemudian dengan alasan KDRT sejumlah 42.387 kasus.

Lesti Perempuan Keren, Karena Berani Ungkap KDRT

Tidak mudah bagi Lesti mengungkapkan kasus KDRT tersebut, selain alasan anak yang masih kecil, fakta pernikahan yang masih seumur jagung juga turut memberatkan posisinya.

Selain itu, Lesti kerap kali memperlihatkan potret keluarga bahagia lewat media sosialnya.

Ketika kabar KDRT tersebut diketahui oleh masyarakat, maka ini akan menjadi obrolah ‘hangat’, mengingat Lesti seorang publik figur bagi masyarakat.

Namun di tengah posisinya yang berat, Lesti memberanikan diri untuk mengungkapkannya.

Pada saat fakta perselingkuhan yang dilakukan suaminya terungkap, dan bersamaan dengan itu suaminya melakukan kekerasan, Lesti masih memiliki kekuatan untuk melaporkannya, keren!

Hal tersebut tidak lain karena keyakinan dari Lesti bahwa pernikan mesti dilandasi dengan kejujuran, kebahagian serta kesalingan.

Keputusan Lesti tidak secara langsung memberikan kekuatan kepada perempuan-perempuan yang belum berani speak up soal kasus KDRT yang dialaminya.

Lesti memperlihatkan bahwa seberat apapun konflik dalam rumah tangga, tetap kekerasan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dan wajib dilaporkan karena menyangkut dengan keselamat nyawa manusia.

Banyak Alasan Perempuan Tidak Berani Ungkap KDRT

Pertama, ketergantungan secara finansial. Bagi istri yang menitikberatkan urusan ekonomi pada suaminya, akan merasa kesulitan untuk mengungkapkan kasus KDRT tersebut.

Karena jika terjadi perceraian mereka akan berpikir “bagaimana menghidupi anak dan dirinya sendiri?”, maka tidak mengungkapkannya adalah solusi yang tepat baginya.

Kedua, ketergantungan secara emosional. Merasa tidak siap ‘kehilangan’ sosok laki-laki yang selama ini di sisinya, dengan alasan terlalu ‘sayang’ atau sangat ‘cinta’ membuatnya sulit untuk mengungkapkan kasus KDRT yang dialaminya, karena dia merasa tidak yakin bisa melewati fase ‘kehilangan’ tersebut.

Ketiga, alasan anak. Tidak ingin anaknya kehilangan sosok ayah, membuat perempuan tetap bertahan pada laki-laki pelaku KDRT.

Terkadang seorang ibu merasa ‘harus mengorbankan kebahagiannya’ demi kebahagian anaknya, padahal belum tentu demikian.

Bukankah tidak baik juga jika anak hidup di tengan ayah yang selalu melakukan tindak kekerasan?

Keempat, stigma masyarakat. Stigma jelek masyarakat terhadap perempuan ‘janda’ seperti ‘perempuan gatel’ atau ‘perempuan perebut suami orang’, membuat perempuan mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan kasus KDRT tersebut.

Karena dengan bertahan, setidaknya dia terbebasa dari omongan dan stigma jelek masyarakat.

Kelima, alasan orang tua. Tidak ingin membuat orang tua sedih atas kehancuran rumah tangga anaknya, membuat perempuan merasa lebih baik tidak mengungkapkan kasus KDRT tersebut.

Karena tidak terbayangkan bagaimana terpukulnya orang tua jika mengetahui anaknya menerima tindak kekerasan, jadi dia merasa bahwa diam terhadap kasus KDRT sama dengan membahagiakan orang tua.

Kasus KDRT: Mengapa Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban?

Masih menjamurnya budaya patriarki di tengah masyarakat turut memperkuat kerentanan perempuan dalam kasus KDRT.

Lebel lemah, tidak berdaya, serta penurut yang terjadi pada perempuan membuat posisinya dilemahkan dalam relasi suami istri.

Sehingga terjadnya relasi kuasa diantara keduanya, dimana posisi istri (perempuan) dibawah kuasa suami (lak-laki), akibatnya laki-laki merasa bebas melakukan apapun, termasuk tindak kekerasan.

Selain itu, standar ‘perempuan baik’ yang cenderung pasif turut memperkuat posisi perempuan menjadi rentan.

Budaya patriarki membuat perempuan terus berlomba-lomba menuju ‘standar baik’ tersebut.

Akibatnya, ketika perempuan menjadi korban KDRT, tidak ingin melawan atau mengungkapkannya karena agar tetap terlihat sebagai ‘perempuan baik’ yang cenderung sabar, pendiam dan tidak melawan.

Pelaku KDRT Tidak Pandang Kaya atau Ganteng, Semua Punya Potensi

Urusan ganteng dan kaya tidak usah diragukan lagi, tentunya Rizki Billar memiliki keduanya. Tapi jika urusan baik dan setia bagaimana?

Jika keduanya ada, tidak mungkin Lesti menerima tindak kekerasan. Artinya kaya dan ganteng tidak berarti apa-apa jika dia tidak baik dan setia.

Untuk itu selektiflah dalam memilih pasangan, jangan karena kaya ataupun ganteng tapi harus baik juga.

Pernikahan bukanlah perlombaan kan? Jadi tidak perlu terburu-buru memutuskan menikah jika belum mengenal dalam pasangan kita, apalagi jika alasan menikah untuk menghindari zina.

Dalam hidup, perempuan harus memiliki value. Salah satu value perempuan adalah perlawanan, termasuk perlawanan terhadap tindak Kekerasan dalam Rumah Tanggan (KDRT).

Jika hanya diam dan sabar, justru tindak KDRT tersebut akan terus menjamur. Katakan tidak pada kekerasan, apapun bentuknya. []

Hoerunnisa

Hoerunnisa, biasa disapa dengan nama Ica merupakan perempuan asal Garut Selatan dan sekarang tergabung dalam komunitas Puan Menulis. Sekarang sedang melanjutkan studi pascasarjana di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bisa disapa juga di Instagram @iniicaaa12.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *