Puluhan Orang Tewas Saat Aksi Demo Anti-Pemerintah di Irak

 Puluhan Orang Tewas Saat Aksi Demo Anti-Pemerintah di Irak

Menurut sebuah Komisi Hak Asasi Manusia, aksi demonstrasi anti-pemerintah di Irak yang baru-baru ini telah mencengkeram ibukota, Baghdad, dan menjalar ke beberapa kota lain di selatan negara itu, telah menewaskan sedikitnya 30 orang.

Protes pada hari Jum’at itu terjadi tiga minggu setelah bentrokan sebelumnya yang meletus sebagai akibat dari kemarahan terhadap korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, jumlah pengangguran yang terus meningkat dan jeleknya sarana pelayanan publik. Lebih dari 150 orang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan itu.

Sebagai tanggapan atas aksi protes itu, kepolisian Irak menembaki para demonstran dengan peluru karet dan melempari mereka dengan gas air mata. Menurut Observatorium Irak untuk HAM, setidaknya 30 kematian telah tercatat di Baghdad dan provinsi selatan Basra, Maysan, Dhi Qar dan Muthanna.

Komisi Hak Asasi Manusia Irak juga menyatakan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai 30, dan lebih dari 2.000 demonstran lainnya mengalami luka-luka.

Dikutip dari Al Jazeera yang melaporkan dari Baghdad, menggambarkan kalau kerusuhan berdarah itu adalah sebagai ‘kelanjutan’ dari peristiwa yang terjadi pada awal Oktober lalu, yang diketahui bahwa para pejabat telah gagal mengatasi kemarahan para warga yang memicu krisis politik yang sedang berlangsung di Irak.

“Meskipun pemerintah telah mengatakan akan melakukan reformasi dan mengatakan orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap para demonstran akan dimintai pertanggungjawaban, itu tidak meredam sedikit pun rasa amarah yang dirasakan oleh orang-orang disini,” katanya.

“Orang-orang di sini hidup dalam keadaan kemiskinan yang sangat parah, (dan) para demonstran mengatakan bahwa mereka ingin pemerintah angkat kaki,” tambahnya.

Kerusuhan yang sedang berlangsung ini telah menghancurkan hampir dua tahun stabilitas di Irak, yang dalam beberapa tahun sebelumnya telah mengalami invasi oleh Amerika Serikat dan beberapa pertempuran yang berkepanjangan lainnya, termasuk dengan kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Levant (ISIL atau ISIS).

Aksi-aksi demonstrasi ini telah menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi yang baru berjalan setahun. Dia telah berjanji untuk mengatasi keluhan para demonstran dengan melakukan reformasi dan merombak kabinetnya.

Namun, langkah-langkah tersebut tidak banyak membantu dalam memadamkan amarah para demonstran, yang kemarahannya tidak hanya terfokus pada pemerintahan Abdul Mahdi, tetapi juga terhadap sistem pembentukan politik Irak yang lebih luas, yang mereka katakan telah gagal meningkatkan taraf kehidupan warga negara disana.

Banyak yang memandang bahwa para elit politik bersikap terlalu tunduk pada dua sekutu yaitu AS dan Iran, kekuatan yang mereka percaya lebih mementingkan pengaruh regionalnya daripada mementingkan kebutuhan warga Irak sendiri.

Menurut angka yang dikumpulkan oleh Bank Dunia, meskipun Irak memiliki cadangan minyak terbesar kelima di dunia, hampir tiga perlima dari 40 juta penduduknya hidup dengan kurang dari enam dolar seharinya.
Pengangguran, khususnya di kalangan anak-anak muda menjadi masalah utama. Jutaan orang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan, sekolah, pasokan air ataupun listrik yang memadai, dan banyak infrastruktur negara yang masih berantakan.

“Kami ingin pemerintah mundur dan agar sistem politik dirombak sepenuhnya,” kata seorang demonstran yang tidak ingin disebut namanya dengan alasan keamanan, di Tahrir Square, Baghdad.

“Seluruh elit politik perlu berubah, karena sistem yang saat ini berjalan tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi kami,” tambahnya.

Pada hari Kamis, sehari sebelum aksi demonstrasi terjadi, Perdana Menteri Abdul Mahdi telah memperingatkan bahwa keruntuhan pemerintah akan membuat kondisi Irak semakin kacau.

Dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, Abdul Mahdi juga telah berjanji bahwa orang-orang akan bebas untuk menggunakan hak mereka untuk berdemonstrasi, tetapi ia juga menekankan bahwa penggunaan kekerasan dalam aksi protes tidak akan ditoleransi.

Seruannya juga digemakan oleh pemimpin tinggi Syiah Irak, Grand Ayatollah Ali al-Sistani, yang pada hari Jumat kemarin mendesak para demonstran dan pasukan keamanan untuk memastikan aksi demonstrasi itu tidak berubah menjadi aksi kekerasan.

“Proses reformasi dan perubahan nyata di negara ini harus melalui cara-cara yang damai,” kata seorang cendekiawan Muslim saat khotbah Jumat di kota suci Kerbala.

Tetapi pada sore harinya, muncul laporan-laporan bentrokan di Baghdad dan kota-kota di selatan Irak, jumlah korban bentrokan terus melonjak naik, suasana telah berubah.

Di ibukota, ribuan demonstran yang marah membawa bendera Irak di bawah hujan lebat, menjebol pembatas besi yang dipasang oleh pasukan keamanan dan lanjut menyeberangi Jembatan Jumhuriyya yang mengarah ke Zona Hijau (pusat kantor pemerintah Irak dan diplomat asing) Baghdad yang dijaga ketat.

“Baghdad hurra hurra, fasad barra barra!” teriak para demonstran, yang artinya “Baghdad bebas, korupsi keluar”, sebelum didorong mundur oleh gumpalan gas air mata yang dikerahkan oleh pasukan keamanan yang ditempatkan di daerah tersebut.

Sementara itu, menurut sumber kepolisian setempat kepada kantor berita Reuters, aksi demonstrasi di beberapa provinsi selatan lainnya, terlihat sedikitnya 3.000 demonstran menyerbu dan membakar gedung pemerintahan provinsi di kota Nasiriya.

Menurut laporan kantor berita The Associated Press, sekitar 4.000 demonstran juga berkumpul di dekat gedung pemerintahan provinsi di Basra.

Zeidon Alkinani, seorang analis politik independen Irak-Swedia, mengatakan para demonstran secara jelas menginginkan ‘negara yang menghormati hak demokrasi dan kebebasan mereka untuk mengekspresikan diri’.

“Bagaimana seseorang bisa percaya reformasi ekonomi yang dikatakan perdana menteri Irak jika dia bahkan tidak memberikan mereka hak demokratis untuk melakukan aksi protes,” katanya kepada sebagaimana dikutip Hidayatuna.com.

Dalam sebuah penyelidikan yang ditunjuk oleh pemerintah terhadap aksi demonstrasi yang terjadi pada awal bulan ini, menetapkan dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Selasa, bahwa pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan dan kekerasan yang berlebihan dalam upayanya memadamkan aksi demonstrasi.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *