Problem Fiqih

 Problem Fiqih

Al-Karaji: Ahli Matematika dan Insinyur Hidrolik Islam Abad Ke-10 (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Jangan dikira ilmu fiqih tidak punya problem, ada banyak problem yang harus ditemukan jawabannya di hari ini.

Yang paling utama adalah problem perubahan zaman. Kebanyakan teks fiqih kita memang masih menggunakan hasil karya ulama klasik yang hidupnya ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.

Maka kita langsung berhadapan dengan masalah perubahan zaman itu. Banyak sekali ijtihad yang didasarkan atas fakta ilmiyah di masa lalu, kemudian terlanjur dianggap sebagai fatwa abadi dalam fiqih.

Yang jadi masalah, fakta ilmiyah pastinya akan bergeser dari zaman ke zaman, sehingga selalu harus diikuti oleh fatwa. Tidak ada fatwa yang bersifat abadi.

Contoh kecil saja, di kitab fiqih klasik disebutkan bahwa air yang suci dan mensucikan ada 7 macam.

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين، وماء الثلج، وماء البرد

Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada 7 macam : air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, salju dan embun
(Abu Syuja’ Al-Asfahani, Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 3)

Khusus air sungai ini menarik dikupas lebih jauh. Bukan apa-apa, sebab faktanya nyaris semua sungai di lingkungan kita sudah berubah warna menjadi hitam pekat, berbau busuk, berupa limbah kotor, bahkan pastinya penuh bermacam-macam jenis najis.

Secara kesehatan, air sungai di perkotaan jelas tidak sehat dan mengandung banyak bibit penyakit.

Namun di kitab klasik yang kita baca hari ini, nyaris tidak ada penjelasan tentang perubahan zaman terkait sudah sedemikian kotornya sungai-sungai kita.
Masak masih mau kita gunakan sebagai air untuk berwudhu dan mandi janabah?

Maka baca kitab fiqih klasik tentunya harus membayangkan suasana masa lalu, yang belum ada pencemaran sungai macam sungai-sungai di kota besar.
Lalu apakah kita harus koreksi kitab klasik warisan para ulama di masa klasik itu?

Disitulah problemnya, siapa yang berani kualat sama para ulama klasik? Kok berani-beraninya mengoreksi kitab fiqih yang sudah establish ratusan tahun.

Disitulah ada tantangan berupa ruang terbuka untuk melakukan ‘ijtihad kekinian’. Namun ada kesan seolah kita mau membuang kitab fiqih klasik.

Padahal kita semua tahu bahwa kitab fiqih itu hasil ijtihad para ulama, bukan seperti teks Al-Quran yang turun dari langit dan bersifat mutlak tidak bisa diganggu gugat.

Ilmu fiqih justru ilmu yang amat dinamis, karena selalu mengikuti perubahan zaman.

Problem terbesarnya adalah : kita selama ini hanya dilatih menghafal teks, tapi kurang diberi ruang untuk melakukan analisa dan kajian ilmiyah. Kebenaran isi kitab fiqih selama ini terlanjur kita yakini mendekati absolut.

Tidak mudah bagi kita bagian mana yang boleh disesuaikan dengan realitas kekinian.

Selain itu apakah semua orang berhak merevisi sesuai selera masing-masing? Sebab kalau semua orang dipersilahkan merevisi, bubar lah ilmu fiqih itu sendiri.

Jangan-jangan nantinya semua orang merasa berhak jadi ahli fiqih. Dan itu jelas keliru, sesat dan salah arah.

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *