Ragam Fatwa Ulama Seputar Takziyah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Takziyah atau melayat hukumnya sunah. Namun beberapa tata cara diperselisihkan di antara ulama.
Syekh Utsaimin
Kalau merujuk pada ulama Salafi, Syekh Ibnu Utsaimin, tata cara di video ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi.
Setelah pemakaman harusnya pintu-pintu rumah ditutup:
اِنَّ اجْتِمَاعَ اَهْلِ الْمَيِّتِ لِاسْتِقْبَالِ الْمُعَزِّيْنَ هُوَ اَيْضًا مِنَ الْاُمُوْرِ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَعْرُوْفَةً فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى اِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاءِ قَالَ اِنَّهُ بِدْعَةٌ وَلِهَذَا لَا نَرَى اَنَّ اَهْلَ الْمَيِّتِ يَجْتَمِعُوْنَ لِتَلَقِّي الْعَزَاءِ بَلْ يَغْلِقُوْنَ اَبْوَابَهُمْ … (فتاوى اركان الاسلام للشيخ محمد بن عثيمين (416)
Artinya:
“Berkumpulnya keluarga mayit untuk menemui para pentakziyah juga termasuk hal-hal yang tidak dikenal di masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallama,
Hingga sebagian ulama mengatakan hal tersebut adalah bid’ah.
Oleh karenanya kami tidak berpendapat bahwa bahwa keluarga mayit berkumpul untuk menemui para pentakziah, tapi mereka mengunci pintu-pintu mereka.” (Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Fatawa Arkan al-Islam No 416)
Syekh Bin Baz
Saya husnuzan bahwa ustaz di video tersebut mengikuti fatwa Ulama Salafi lainnya, yaitu Syekh Bin Baz:
حُكْمُ حُضُورِ مَجْلِسِ الْعَزَاءِ وَالْجُلُوسِ فِيه (س): هَلْ يَجُوزُ حُضُورُ مَجْلِسِ الْعَزَاءِ وَالْجُلُوسِ مَعَهُمْ ؟ ج: إِذَا حَضَرَ الْمُسْلِمُ وَعَزَّى أهْلَ الْمَيِّتِ فَذَلِكَ مُسْتَحَبٌّ ؛ لمَا فِيه مِنَ الْجَبْرِ لَهُمْ وَالتَّعْزِيَةِ ، وَإِذَا شَرِبَ عِنْدَهُمْ فِنْجَانَ قَهْوَةٍ أَوْ شَاي أَوْ تَطَيُّبٍ فَلَا بَأسَ كَعَادَةِ النَّاسِ مَعَ زُوَّارِهُمْ . (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة للسشيخ عبد العزيز بن باز 13-371)
Artinya:
“Soal: “Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah dan duduk-duduk bersama mereka?”
Jawab: “Apabila seorang Muslim menghadiri majlis ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka.
Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi maka hukumnya tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371)
Maksud menghibur di sini adalah menyampaikan pahala sabar atas musibah kematian.
Ulama Jawa
Di Jawa dengan tata caranya yang sudah lumrah dilakukan telah difatwakan oleh Ulama Makah, Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki:
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ
Artinya:
“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika di antara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah,
Kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis:
‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit.
Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi:
Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi.
Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman.” (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Memangnya boleh makan hidangan dari keluarga yang tertimpa musibah? Mari baca seksama riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا
Artinya:
“Diriwayatkan bahwa ketika keluarga Aisyah ada yang wafat maka wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang kecuali keluarga dan orang-orang tertentu saja.
Aisyah memerintahkan untuk memasak semacam makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah!” (HR. al-Bukhari No 5417, No 5689 dan Muslim No 2216)
Andaikan makan di rumah duka adalah haram berdasarkan ijmak Sahabat mana mungkin Sayidah Aisyah menyuruh makan untuk orang-orang yang takziyah?
Itulah beberapa pendapat ulama tentang Takziyah. Tapi saya belum tahu dalilnya saat Takziyah ada candaan sampai tertawa bersama. []