PPA dan Keagamaan Undang Stafsus untuk Beberkan Tahapan Radikalisme
HIDAYATUNA.COM, Jakarta — Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (PPA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menggelar Seminar Sehari yang menyandang tema ‘Moderasi Beragama di Kalangan Milenial’.
Dalam acara tersebut, Staf Ahli Kantor Staf (Stafsus) Presiden Republik Indonesia, Fahd Pahdepie menyampaikan bahwa ada sebuah cerita yang menghasilkan relevansi sehingga seseorang menjadi radikal.
Selain itu, setidaknya, ada enam anak tangga yang harus dilewati hingga ia sepenuhnya terpapar radikalisme. Seseorang tidak begitu saja berubah dan menjadi sosok yang radikal.
“Cerita akan berbunyi jika ada relevansi. Sama dengan cerita radikalisme atau orang yang tidak menghargai perbedaan. Bisa terjadi karena ada relevansi,” ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (04/12/2019).
Ada enam tahap atau anak tangga yang harus lebih dulu mereka lewati. Tahap pertama, menurutnya, persepsi dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak adil. Jika berada di posisi ini, selanjutnya ia akan mencari orang lain yang memiliki keluhan atau perasaan yang sama.
Dengan demikian, orang tersebut akan masuk pada tahap kedua dimana ia memiliki persepsi jika ketidakadilan yang ia rasakan akibat dari permasalahan otoritas. Jika pun ia salah dan ditegur, tetap ia merasa hal ini karena kesalahan otoritas. Di tangga ketiga, baru berkumpul orang-orang yang sepemikiran dan merasa kehidupannya selalu tidak adil.
“Lalu beranjak ke tangga berikutnya, mereka akan menggunakan ayat-ayat atau teori dan pemikiran orang lain sebagai argumen pembenaran persepsi mereka. Di tangga ke lima, terbentuk konsep kelompok-kelompok. Sekarang muncul aku atau kami melawan kalian. Dan di tangga terakhir, barulah mereka benar-benar ekstrem dimana yang semula hanya ada di pemikiran berubah menjadi perilaku dan tindakan,” jelasnya.
Diperlukan pemulihan psikologi, lanjutnya, untuk mengubah pemikiran dan persepsi yang ada dibenak kelompok ini. Cara ini bisa membantu mereka kembali ke tangga paling bawah. Sedangkan orang-orang yang tidak bisa menghargai perbedaan ini biasanya karena mereka tidak memiliki pengalaman. Tidak ada kesamaan atau relevansi dalam hidup mereka dalam menghadapi sosok lain yang berbeda dari mereka.
Pria yang juga menjabat sebagai CEO Inspirasi.co ini menyebut narasi melawan terorisme bukan dengan antitesis pandangan mereka namun menciptakan narasi alternatif. Bagi yang tidak suka Pancasila, dibuatkan cerita yang tidak terbantahkan bahwa dalam diri mereka ada nilai-nilai pancasila.
“Bagi teman-teman yang terpapar radikal, perlu pendekatan yang sifatnya lembut atau soft power. Saya berharap ke depannya ada dialog dengan teman-teman yang radikal dengan yang percaya dengan Pancasila. Agar kita menemukan titik temu,” pungkasnya.