Potret Perkembangan Fikih di Indonesia (Bagian 2)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perkembangan fiqih di Indonesia abad XX diantara karyanya adalah Ahmad Hassan (1887-1958) merupakan salah seorang faqih terkemuka pada pertengahan abad ke-20 ini.
Hassan menulis puluhan atau bahkan ratusan artikel yang berkaitan dengan hukum Islam, Dia menganalisis dan merespos persoalan-persoalan hukum yang berkembang di masyarakat.
Bahkan, Hassan tidak hanya menulis hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam (fiqih), tapi juga aspek-aspek Islam yang lain, seperti bahasa, teologi, politik, sejarah, moral, puisi, tafsir, sunnah Nabi, dan sebagainya.
Dalam bidang akidah, misalnya, Hassan menulis kitab-kitab seperti Kitab al-Tauhid (muncul pertama kali pada 197), al-Iman (tanpa tahun), ‘Aqaid (tanpa tahun), Adakah Tuhan? (1962, dicetak ulang di Malaysia 1971), Benarkah Muhammad itu Rasul? (1931), dan al-Nubuwwah (1941).
Perhatian Hassan yang meliputi hampir berbagai aspek kehidupn itu sesuai dengan pandangan hidupnya bahwa tugas utama seorang Muslim adalah melaksanakan hukum Allah.
Karya utamanya dalam bidang fiqih terdapat dalam Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid I-III dan Pengajaran Shalat.
Selanjutnya, Hasbi Ash-Shiddieqiey yang berupaya untuk menginkorporasikan dan mempertimbangkan suatu unsur kebudayaan ke dalam rumusan hukum Islam.
Menurut beliau para ulama terkungkung pada pemikiran fahm al-ilm al-inqiyad yangmana terkesan tidak dapat memantik diri ke dalam berbagai persoalan pada zamannya.
Idenya tersebut tentang ‘Fiqh Madzhab Indonesia’ telah dikuak pada tahun 1940-an. Nalar berpikir yang digunakan oleh Hasbi adalah suatu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak bagi pengembangan dan ijtihad baru.
Selain Fikih Madzhab Indonesia, ada pula Fikih Sosial yang dikembangkan oleh Ali Yafie dan Sahal Mahfudz. Ali Yafie yang mengembangkan kajian fikih melalui gagasan fikih sosial terhadap persoalan-persoalan sosial, terutama yang berkaitan dengan terma pembangunan yang selama ini dikendalikan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Kehadiran pemikiran fikih sosial Ali Yafie dalam merespon kebijakan pembangunan pemerintah menjadi pertanda bahwa kajian fikih di era modern harus terbuka dan bisa terlibat dalam serangkaian kebijakan yang dikendalikan pemerintah.
Supaya ruh ajaran fikih maupun syariah yang menegaskan nilai-nilai kemaslahatan bisa diimplementasikan dalam program-program pemerintah.
Kiai Sahal berupaya untuk menelusuri dan mencari jembatan peradaban fiqh agar mampu menjawab problematika kehidupan masyarakat secara progresif dan transformatif.
Bagi Kiai Sahal, fiqh sosial lebih menitik-beratkan pada aspek kemaslahatan publik ( masalihu al-ummah ). Di mana ada maslahah , disanalah fiqh sosial dikumandangkan.
Dalam menentukan kemaslahatan, ada lima pijakan primer ( al – daruriyyat al-khamsah ), yakni menjaga agama ( hifz al din ), menjaga akal/rasio ( hifz al-‘aql ), menjaga jiwa ( hifz al-nafs ), menjaga harta ( hifz al-mal ), dan menjaga keturunan ( hifz al-nasl ). Bahkan oleh beliau ditambahi dengan menjaga lingkungan ( hifz al – bi’ah ). []
Potret Perkembangan Fikih di Indonesia – END
Anda dapat membaca Potret Perkembangan Fikih di Indonesia Bagian 1 di sini, KLIK DI SINI.