Perempuan Shalat Jum’at, Bagaimana Hukumnya?

 Perempuan Shalat Jum’at, Bagaimana Hukumnya?

Kita ketahui bahwa shalat jum’at merupakan ibadah yang wajib bagi laki-laki. Ibadah ini dilaksanakan secara berjamaah di masjid pada waktu dhuhur hari jum’at. Di Indonesia terkadang kita jumpai perempuan yang ikut melaksanakan shalat jum’at. Melihat fenomena yang demikian tentu kita bertanya-tanya bagaimana ketentuan dan hukumnya.

Demi menjawab pertanyaan di atas kami akan mencoba menguraikan hukumnya dari bagian-perbagian.

1. Shalat Jum’at Bagi Perempuan Tidak Wajib

Sebagaimana pengantar di atas bahwa memang yang wajib shalat jum’at hanya laki-laki, hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Thariq bin Ziyad bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَربَعَة : عَبدٌ مَملُوكٌ ، أَو امرَأَةٌ ، أَو صَبِيٌّ ، أَو مَرِيضٌ

Artinya: “Jumatan adalah kewajiban bagi setiap muslim, untuk dilakukan secara berjamaah, kecuali 4 orang: Budak, perempuan, anak (belum baligh), dan orang sakit.” (HR. Abu Daud)

Dari hadits di atas menjadi jelas bahwa sebenarnya shalat jum’at hukum dasarnya wajib, namun dikecualikan bagi budak, anak (belum baligh), orang sakit dan tentu saja perempuan.

2. Perempuan Boleh Mengikuti Shalat Jum’at

Meskipun tidak wajib melaksanakan shalat jum’at perempuan diperbolehkan untuk mengikutinya. Hal ini karena memang sebagaimana hadits di atas hukum asalnya diwajibkan bagi setiap muslim sebelum kemudian dikecualikan. Diketahui bahwa dahulu istri-istri Rasulullah juga ikut melaksanakan shalat jum’at, sebagaimana hadits riwayat Hasan dalam mushonnaf Ibnu Abi Syaibah :

كُنَّ النِّسَاءُ يُجَمِّعْنَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ يُقَالُ: لَا تَخْرُجْنَ إِلَّا تَفِلَاتٍ لَا يُوجَدُ مِنْكُنَّ رِيحُ طِيبٍ

Artinya: “Para perempuan shalat Jum’at bersama Nabi Saw, dikatakan kepada mereka “Janganlah kalian keluar kecuali dengan keadaan talifat, yakni tidak menggunakan wewangian.”

Larangan menggunakan wewangian dan make up karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Selain itu juga harus menjaga adab dan tingkah laku, bahkan ada yang mengatakan shalat jum’at bagi perempuan cantik adalah makruh. Namun, pendapat ini langsung dijawab atau ditegaskan lagi oleh Syeikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’roni dalam kitabnya “Fiqhu al-Mar’ah” mengatakan, hukum makruh berlaku jika tidak ada penghalang antara shaf laki-laki dan perempuan. Padahal kita ketahui dewasa ini hampir semua masjid pasti menyediakan tempat khusus bagi jamaah perempuan atau paling tidak menyediakan tabit atau penghalang.

Lebih lanjut mengenai diperbolehkannya perempuan melaksnakan shalat jum’at diungkap dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman Ba’alawi sebagaimana diuraikan seperti berikut:

 مَسْأَلَةٌ: يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ وَامْرَأَةٍ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمُعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَتُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ أَفْضَلُ  لِأَنَّهَا فَرْضُ أَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا.

Artinya: “Diperkenankan bagi mereka yang tidak berkewajiban Jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat Jum’at sebagai pengganti Zhuhur, bahkan shalat Jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Zhuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna.”

3. Perempuan Tidak Perlu Shalat Dhuhur Lagi

Perempuan yang sudah melakukan shalat jum’at tidak perlu lagi untuk melakukan shalat dhuhur lagi. Bahkan dikatakan bahwa perempuan lebih utama mengikuti jamaah shalat Jum’at daripada shalat dhuhur meskipun berjamaah bersama perempuan lain, tentu dengan syarat tidak menggunakan wewangian dan berpotensi mengundang syahwat bagi laki-laki

Perlu diketahu bagi perempuan yang ikut melaksanakan shalat jum’at harus melaksanakan semua rukunnya termasuk mendengarkan khutbah. Demikian yang dapat kami uraikan semoga bermanfaat dan apabila ada pertanyaan atau tangapan lebih lanjut silahkan mengirimkan email ke redaksi. Wallahu a’lam.

Sumber:

  • Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, [Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M], h. 78-79.
  • Islmai.co

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *