PBNU Genjot Kesadaran Masyarakat Soal Kebakaran Hutan dan Lahan
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim, atau LPBI PBNU, Muhammad Ali Yusuf, menegaskan bahwa kebakaran hutan dan lahan, atau karhutla, yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera tidak hanya bisa diselesaikan dengan menindak korporasi dan pembakar hutan dan lahan. Dan perlu adanya pemberian kesadaran kepada masyarakat agar tidak membakar hutan dan lahan.
Semua pihak baik pemerintah, masyarakat, dan swasta atau perusahaan harus berkontribusi bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan.
“Ini yang penting tidak hanya penegakkan hukum, tapi soal peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahayanya membakar lahan, tidak hanya dilakukan oleh korporasi, tetapi juga masyarakat. Korporasi menyuruh masyarakat untuk membakar hutan dengan iming-iming upah.” katanya, di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Sementara biaya pembukaan lahan melalui pembakaran itu memang murah dan bisa menyuburkan lahan, tetapi yang harus diingat oleh korporasi dan pembakar, ialah dampak dari pembakaran itu.
“Efek asap yang timbul dari karhutla itu berengaruh ke semua lini: ke ekonomi, seperti pesawat tidak bisa jalan, pendidikan, kesehatan apalagi. Saya kira ke depan perlu dikuatkan muatan kesadaran masyarakat. Ketika perusahaan menyuruh orang untuk membakar, ketika masyarakatnya sadar dan gak mau membakar, lalu mau apa?” tegasnya.
Menurut Ketua LPBI PBNU itu, selain memberikan kesadaran tentang kebakaran hutan dan lahan, masyarakat juga harus diberikan solusi ekonomi. Ia menyakini bahwa masyarakat mau disuruh membakar hutan oleh korporasi karena persoalan ekonomi. Di antara cara yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa memperoleh pendapatan dengan tidak melakukan Karhutla, ialah dengan mengolah kayu untuk kemudian menjadi cuka kayu.
Cuka Kayu adalah cairan berwarna coklat pekat dan berbau sangit yang diperoleh dari distilasi asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang kayu. Cuka Kayu memiliki multi manfaat bagi pertumbuhan tanaman, makanan, kesehatan, usaha perikanan dan peternakan. Hal itu disebutnya bisa menjadi sumber pendapatan ekonomi baru.
“Saya kira ke depan harus digerakkan artinya tidak bisa orang disuruh sadar ketika persoalan ekonominya muncul. Kemudian juga tidak bisa semena-mena persoalan hukumnya diangkat ketika gak ada solusi,” pungkasnya.