Orangtua Mengutuk Anak Durhaka, Bagaimana Hukumnya?

 Orangtua Mengutuk Anak Durhaka, Bagaimana Hukumnya?

Fatherless dan Budaya Patriarki yang Tak Pernah Kunjung Usai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Anak durhaka” menjadi semacam kutukan dari orangtua, tentu hal itu sangat bertentangan dengan Islam karena dalam Islam, anak diperingatkan untuk memuliakan orangtua. Lalu bagaimana jika anak terlanjur membuat sakit hati orangtua yang teramat sakit hingga mengutuk sebagai anak durhaka?

KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer 3 sebagaimana dilansir Republika.co.id mengatakan, orangtua tidak dibenarkan arogan dan semena-mena memperlakukan anaknya. Sebagai orangtua yang bijak, tentu harus menghindari tindakan yang memancing kedurhakaan anak.

Orangtua harus mengarahkan anak untuk mematuhi mereka dengan memberi contoh kepatuhannya kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Sebab, contoh yang paling utama ialah dari tindakan bukan perintah semata.

Meski dalam keadaan se-marah apa pun, jangan sampai orangtua mengutuk durhaka anak sendiri karena pasti penyesalan akan terjadi di belakang hari. Jika dalam perjalanan hidup sang anak diketahui “nakal”, orangtua harus cepat-cepat mengoreksi diri, apakah ada yang salah selama ini dalam memberi contoh kepada anak?

Begitupun orangtua harus selalu mendoakan anaknya agar kembali ke jalan yang benar. Bukan hanya anak yang mendoakan orangtuanya sehingga, tidak dibenarkan orangtua mengutuk anaknya sebagai anak durhaka. Apalagi mendoakan keburukan atau kesengsaraan bagi anak.

Ilmu Parenting ‘Nabi Nuh’

Nabi Nuh yang merupakan utusan Allah pun tetap santun dan perhatian pada anaknya, Qan’an, meski ia durhaka. Kisah Nabi Nuh dan anaknya ini diabadikan dalam Alquran surah Hud, sebagai berikut:

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, maka Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil: Hai, anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang orang yang kafir.” (Hûd: 42).

Secara hukum fikih berkaitan dengan ‘nikah dan waris’, anak durhaka tidak akan memutus nasab dan masih sah sebagai ahli waris orangtuanya. Dengan demikian maka ia tetap berhak menerima warisan dari orangtua.

Hal tersebut terdapat pengecualian semisal anak durhakan karena terlibat dalam pembunuhan atau beda agama, maka putuslah hubungan kekerabatan dan hilanglah hak ke warisan. Hal ini didasarkan pada makna sabda Nabi Saw:

“Tidak ada hak waris bagi pembunuh” (HR Malik, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Baihaqi), dan sabda Nabi SAW: “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam perspektif fikih sosial, sifat durhaka adalah hal yang harus dihindari. Begitu juga tindakan orangtua yang menyebabkan berkurangnya penghormatan anak atau bahkan terjadinya kedurhakaan anak pada orangtuanya. Itu merupakan hal yang mesti ditiadakan.

Agar menghindari kedurhakaan anak kepada orangtua, kunci utamanya ialah komunikasi antara anak dan orangtua. Orangtua harus melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan, dengan cara masing-masing dan tetap baik.

Selain itu membiasakan anak untuk curhat kepada orangtua juga bisa menjadi pilihan terbaik menghindari mis-komunikasi sehingga tidak memunculkan kedurhakaan anak. Wallahu’alam.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *