Menyoal Tarawih 4 Rakaat Satu Salam dan Strategi Perubahan dalam Masyarakat
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa tahun silam, seorang kawan yang baru pulang dari Timur Tengah melihat masyarakat di masjid kampungnya melakukan shalat tarawih empat rakaat satu salam.
Maka dalam salah satu ceramah, ia menyampaikan bahwa cara seperti itu tidak memiliki dalil yang kuat.
Yang benar adalah dilakukan dua-dua. Dua rakaat satu salam. Bukan hanya hadits Nabi Saw, pendapat para ulama lintas madzhab pun lengkap ia paparkan.
Apakah setelah itu masyarakat langsung merubah cara shalat tarawih mereka dari empat-empat menjadi dua-dua? Ternyata tidak.
Bukan hanya itu, kawan kita ini pun cenderung ‘ditolak’ masyarakat. Apa pasal? Apakah dalilnya kurang? Apakah penyampaiannya tidak menarik? Apakah masyarakat sudah bebal?
Sebenarnya tidak ada yang kurang dari segi dalil dan argumentasi yang disampaikan. Masyarakat juga tidak bebal apalagi keras kepala.
Hanya saja ia mengabaikan satu hal penting. Bahwa untuk merubah sebuah kebiasaan lama, yang diperlukan tidak hanya kekuatan dalil dan kelengkapan argumentasi, melainkan pendekatan yang elegan dengan masyarakat.
Dari segi dalil jelas lebih kuat yang mengatakan bahwa shalat tarawih itu dilakukan dua-dua rakaat. Haditsnya sangat jelas:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (متفق عليه)
Artinya: “Shalat malam itu dua-dua.”
Karena itu jumhur ulama menegaskan bahwa shalat tarawih itu dilakukan dua rakaat satu salam.
Bagaimana dengan empat rakaat satu salam? Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah berdasarkan hadits Aisyah r.a.:
مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
Artinya:
“Rasulullah Saw tidak menambah, baik di Ramadhan maupun selain Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat, jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat lagi, jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga.”
Ulama yang lain memahami kalimat ‘ia shalat empat’ tidak seperti yang dipahami Abu Hanifah. Empat di sini bukan berarti satu salam, melainkan dua-dua kemudian istirahat beberapa saat.
Bukan hanya ulama dari mazhab yang lain, murid Abu Hanifah sendiri; Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan juga mengatakan bahwa shalat malam (termasuk diantaranya tarawih) adalah dua-dua. Pendapat mereka ini juga yang difatwakan dalam mazhab Hanafiyyah karena lebih mengikut kepada hadits.
Dalam mazhab Syafi’iyyah dijelaskan bahwa jika dilakukan empat rakaat satu salam maka dianggap sebagai shalat sunah biasa, bukan tarawih. Bahkan ada qaul yang mengatakan itu tidak sah.
Tapi meyakinkan masyarakat dengan dalil dan penjelasan para ulama mazhab tidak semudah yang dibayangkan.
Salah-salah menyampaikan bisa menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dan sang ustadz pun bisa saja dimusuhi karena dianggap telah memprovokasi.
Karena itu saya sangat berhati-hati menyampaikan hal yang oleh sebagian pengurus masjid dianggap ‘sensitif’ ini.
Akan lebih baik kalau pengurus atau masyarakat sendiri yang meminta hal ini dibahas seperti yang saya alami di kampung halaman pada tahun 2013 silam.
Pengurus masjid dan masyarakat meminta penjelasan yang argumentatif tentang hal ini. Alhamdulillah setelah dijelaskan, sejak saat itu sampai hari ini shalat tarawih di kampung dilakukan dua-dua.
Sejak satu Ramadhan sampai hari ini, sudah ada tiga masjid di daerah yang berbeda saya menyampaikan hal ini di depan jamaah. Satu di Padang Panjang, satu di Tanah Datar dan satu lagi di Payakumbuh.
Bermodalkan kedekatan dengan jamaah dan pengurus, karena memang sudah lama berinteraksi dan memberikan kajian di depan mereka, dan dengan bahasa yang saya usahakan sehalus mungkin agar tidak menyinggung siapapun, alhamdulilah respon dari pengurus dan jamaah sangat positif.
Mereka memang tidak mengatakan akan langsung merubahnya tapi mereka menerima dengan baik apa yang saya sampaikan
Mereka berjanji akan mempertimbangkan dan membicarakannya kembali dengan pengurus yang lain dan jamaah masjid.
Bagi saya, keberhasilan dakwah itu (khususnya untuk hal-hal yang bersifat furu’ seperti ini) tidak dilihat dari perubahan yang terjadi, tapi dari penerimaan masyarakat terhadap apa yang disampaikan.
Perkara mereka akan merubah itu atau tidak terpulang pada diri mereka masing-masing. Yang penting amanah ilmu sudah disampaikan dengan baik tanpa menimbulkan riak-riak apalagi gejolak yang tidak baik.
وفقنا الله لما يحبه ويرضاه
[]