Menukar Uang dengan Jumlah yang Berbeda, Apa Termasuk Riba?

 Menukar Uang dengan Jumlah yang Berbeda, Apa Termasuk Riba?

Sudah menjadi tradisi di Indonesia bahwa pada setiap hari raya idul fitri yang muda menyalami yang tua, dan yang tua biasanya membagikan uang kepada anak-anak, uang yang diberikan kepada anak-anak tersebut tentunya uang yang telah ditukarkan ke nominal yang lebih kecil, untuk mendapatkan uang receh tersebut biasanya dilakukan dengan perdagangan uang dengan uang. 

Praktik penukaran uang ini adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah. Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:

وَالْإِجَارَةُ فِي اْلحَقِيْقَةِ بَيْعٌ إِلَّا أَنَّهَا قَابِلَةٌ لِلتَّأْقيت وَأَنَّ الْمَبِيْعَ فِيْهَا لَيْسَتْ عَيْنًا مِنَ الْأَعْيَانِ بَلْ مَنْفَعَةٌ مِنَ اْلمَنَافِعَ إِمَّا مَنْفَعَةُ عَيْنٍ وَإِمَّا مَنْفَعَةُ عَمَلٍ

Artinya: “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),”

Dalam kajian Ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam. Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan kurma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim no.4147).

Dalam riwayat lain, dari Abu Said al-Khudri r.a, Nabi saw bersabda:

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad no.11466 & Muslim no.4148)

Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi saw bersabda:

“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan, “Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim no.4164).

Berdasarkan hadis di atas, dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:

Kelompok pertama, emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita.

Kelompok kedua, bur, sya’ir, kurma, & garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.

Dalam aturan yang berlaku, maka dapat dipahami dari hadis di atas, bahwa Nabi saw menjabarkan ketentuan-ketentuan:

Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis, Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi saw menegaskan, “Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (H.R. Bukhari)

Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, jika benda yang dibarterkan  berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”. Terdapat kaidah, apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.

Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha. Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba.

Sumber:

  • Kitab al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah Karya Wahbah Az-Zuhaili
  • Kitab Fathul Mujibil Qarib, Karya KH Afifuddin Muhajir,

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *