Menelusuri Jejak Panjang Orang-Orang Arab di Indonesia (Bagian 1)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Akhir-akhir ini kita disuguhi polemik nasab yang berkaitan dengan keabsahan keturunan Nabi (Ba-’Alawi) di tanah air.
Berawal dari tesis atau pernyataan yang digulirkan oleh seseorang bernama Kyai Imad, hingga merambah ke persitiwa lain yang semakin jauh dari substansi polemik.
Belakangan, muncul tendensi rasisme yang semakin mengkhawatirkan. Masyarakat terbawa pada emosi sosial yang membelah kategorisasi kita dan mereka, pribumi dan pendatang, dan seterusnya.
Tulisan ini tidak hendak memperbincangkan polemik nasab, namun akan mengurai secara singkat bagaimana sebetulnya sejarah kedatangan orang-orang Arab di Nusantara.
Sehingga dapat dipahami konteks keberadaan Ba’alawi dalam komunitas tersebut.
Hal ini semata untuk kemudian dapat dibedakan mana komunitas Arab secara umum, Arab-Hadrami non sayyid dan Hadrami-Sayyid. Begitu juga dengan pembagian-pembagian kompleks di dalamnya.
Awal Mula Orang Arab Hadir di Nusantara
Tidak ada catatan pasti kapan persisnya awal mula orang Arab menginjakkan kaki di Nusantara.
Asumsi paling awal yang mungkin bisa ditebak adalah setua usia penyebaran Islam itu sendiri ke berbagai belahan dunia.
Hal ini diperkuat oleh catatan kritis Azyumardi Azra mengenai perdebatan teori masuknya Islam ke Nusantara dalam bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam Indonesia.”
Salah satu teori menyebutkan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatra.
Sejak itu, hingga berabad-abad lamanya, kedatangan orang Arab ke Nusantara berlangsung secara bertahap. Motivasi mereka biasanya lebih disebabkan oleh faktor perdagangan dan keagamaan.
Keterangan berbeda ditulis oleh Huub de Jonge dalam bukunya “Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950)”, menurutnya indikasi pertama tentang Orang Arab mengunjungi Asia tenggara adalah abad X.
Lima abad kemudian, komunitas-komunitas kecil Arab sudah tersebar di kawasan pesisir penting Nusantara.
Berbagai negara niaga Islam, yang muncul di pesisir utara Jawa satu abad kemudian, yakni abad XVI, diperintah oleh orang Arab.
Akhir abad XVIII, para pemburu kekayaan dari Arab mendirikan negara sendiri di Sumatra dan Kalimantan.
Mengenai kekayaan, secara simbolik, mereka menyebutnya dengan istilah ‘cincin Nabi Sulaiman’.
Menurut L.W.C van den Berg dalam bukunya “Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara”, orang Arab (terutama yang berasal dari Hadramaut) mulai datang secara masal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad XVIII.
Perhentian pertama mereka adalah Aceh, dari sana pergi ke Palembang dan Pontianak.
Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah 1820, dan komunitas mereka baru tiba di bagian timur Nusantara pada tahun 1870.
Kita tahu bahwa pertengahan abad XIX merupakan era di mana dunia transportasi laut yang menghubungkan Timur Tengah dan Asia Tenggara sedang mengalami kemajuan yang revolusioner dengan ditemukannya teknologi mesin uap ditambah pembukaan kanal Suez.
Hingga paruh kedua abad XIX, di Pulau Jawa-Madura terdapat tujuh komunitas besar orang-orang Arab, yaitu di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya dan Sumenep.
Di antara ketujuh komunitas tersebut, Pekalongan merupakan wilayah di mana keberadaan kalangan Sayid cukup dominan.
Adapun di Sumatra hanya ada dua komunitas besar, yaiktu di Aceh dan di Palembang.
Menurut Hosniyah, dalam Jurnal Pendidikan Sejarah Avatara berjudul “Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Komunitas Arab di Malang 1900-1935”, pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda membentuk kebijakan Regering Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat menjadi tiga kelas di Hindia Belanda.
Di antaranya yaitu kelas paling atas adalah kulit putih (Eropa, Amerika, dan Jepang), kelas kedua Timur Asing (Arab, India, dan Cina), dan kelas ketiga adalah pribumi (masyarakat asli Indonesia).
Kebijakan tersebut memperkuat pola pemukiman ekslusif di dalam kota yang membagi warga berdasarkan identitas etnis masing-masing seperti kampung Arab, kampung Pecinan, kampung Melayu, pemukiman Eropa dan pribumi.
Komunitas Arab biasanya dipimpin oleh seorang Syaikh yang berpangkat kapten atau kolonel, tergantung jumlah komunitas.
Mereka digaji oleh pemerintah kolonial. Mereka juga dikenakan aturan ijin perjalanan jika hendak bepergian meninggalkan lingkungan komunitasnya.
Dalam komunitas ini dibagi menjadi dua kategori, yakni mereka yang lahir di Hadramaut dan menjadi pendatang di Nusantara.
Mereka disebut wulaiti (Arab totok). Kemudian mereka yang lahir di Nusantara, disebut muwallad (Arab peranakan).
Memasuki abad ke-20, komunitas Arab turut terlibat dalam gerakan yang lebih nyata dalam proses-proses modernisasi di tanah air.
Bentuk nyata dari gerakan mereka adalah dengan didirikannya organisasi bernama Jamiatul Khair atau Jamiat Kheir.
Dalam bukunya yang berjudul “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, Deliar Noer menuturkan bahwa organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli tahun 1905.
Di antara para pendirinya adalah Sayid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab, dan Sayid Syehan bin Syihab.
Meski demikian, keanggotaannya tidak terbatas pada komunitas Arab saja. KH Ahmad Dahlan dan Hasan Djajadiningrat juga tercatat sebagai anggota organisasi walaupun bersifat pasif.
Kegiatan mereka berkisar pada ranah keagamaan dan pendidikan. Sistem, kurikulum dan sarana pendidikan yang digunakan sudah modern, sehingga tidak hanya materi keagamaan saja yang diajarkan.
Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa melayu.
Bahkan yang menarik ada mata pelajaran wajib bahasa Inggris, tetapi tidak dengan bahasa Belanda.
Para siswanya tidak hanya mencakup komunitas Arab, beberapa di antaranya merupakan warga pribumi.
Perbedaan status sosial antara sayid dan non sayid membuat organisasi ini terpecah, terutama setelah kehadiran Syaikh Ahmad Surkati.
Ia merupakan salah satu guru di sekolah Jamiat Kheir asal Sudan yang membawa pemikiran pembaharu ke tanah Air.
Ia banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tidak heran jika pada tahun 1913 ia sempat memfatwakan kebolehan Syarifah (perempuan keturunan Nabi) menikah dengan muslim non sayid.
Fatwa tersebut sebelumnya dikeluarkan oleh Rasyid Ridha dalam majalah al-Manar tahun 1908. []
Bersambung ke Bagian 2…..