Ngaji Kitab: Tradisi Pesantren Khas Nusantara
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Meskipun disebut ngaji kitab, namun dalam kenyataannya bisa berbeda-beda. Ada yang benar-benar baca kitab dalam arti yang sesungguhnya, di mana tiap jamaah masing-masing pegang kitab, lalu diperintahkan membacannya secara bergantian.
Tapi ada juga pengajian kitab yang mana kitabnya hanya sebagai asesoris dan pemanis saja. Mungkin dibaca di awal kajian oleh ustadznya, tapi setelah itu lebih banyak ustadznya ceramah sendiri.
Muridnya satu dua ada yang pegang kitab itu, tapi tidak pernah disuruh baca. Judulnya ngaji kitab, prakteknya ngaji nguping.
* * *
Contoh yang paling simple ngaji kitab hadits, sebutlah misalnya ngaji kitab Shahih Bukhari.
Kalau kitabnya benar-benar shahih Bukhari betulan, maka yang disampaikan sebenarnya adalah pemahaman yang sang ustadz atas hadits yang ada dalam kitab tersebut.
Sebab Imam Bukhari sebagai penyusun kitab itu malah tidak terlalu banyak menjelaskan isi haditsnya. Kitab Shahih Bukhari itu adalah kitab matan, isinya hadits semua, apa adanya.
Dan yang namanya hadits adalah segala yang terkait dengan Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan dan juga taqrirnya.
Sedangkan bagaimana cara kita memahami isi hadits itu, termasuk bagaimana status hukum dalam menerapkannya, Imam Bukhari tidak terlalu banyak komentar di kitabnya itu.
Lalu penjelasan dari sang ustadz lah yang kemudian akan mendominasi isi dan penjelasannya.
Maka saya katakan sebenarnya kita tidak ngaji kitab Shahih Bukhari, tetapi kita mengaji pendapat-pendapat sang ustadz tentang masalah agama, lewat penafsiran dari hadits-hadits yang ada di Shahih Bukhari.
Begitu juga dengan ngaji Tafsir. Kalau ustadznya tidak bawa kitab Tafsir dan hanya pegang mushaf saja, maka sebenarnya yang kita pelajari adalah pendapat-pendapat sang ustadz atas ayat-ayat tertentu yang dibahas.
Uniknya kadang pengajian tafsir itu pakai kitab tafsir dengan judul tertentu, misalnya sebutlah Tafsir Jalalain.
Kitab itu sangat tipis dan singkat, lebih merupakan terjemah kata per kata ketimbang penjelasan panjang lebar.
Kalau isi pengajian tafsir Jalalain itu kok jadi panjang, maka itu bukan isi kitab tafsirnya, melainkan itu pendapat-pendapat ustadz yang mengajar.
Pendapat itu bisa saja Beliau ambil dari berbagai sumber, karena memang bacaannya banyak.
Namun saya lebih suka menamakannya sebagai pengajian yang membahas pendapat-pendapat sang ustadz, tapi melalui jalur kitab Tafsir Jalalain.
Amat sangat berbeda ketika saya dulu duduk di bangku kuliah di LIPIA. Kitabnya pakai Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H).
Kitab itu dibaca oleh kami sabagai mahasiswa secara bergantian, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf.
Semua itu kami lakukan di depan dosen kami yang bidangnya memang tafsir, yaitu Dr. Umar Ridwan, asli dari Jordan Palestina.
Kalau ada yang keliru melafalkan teks, Beliau pasti membenarkannya. Saya masih ingat ketika ada teman membaca nama ulama tafsir dengan ‘az-zujaj’.
Beliau jelaskan yang benar adalah Az-Zajjaj, bukan az-zujaj.
Memang beliau tidak perlu menerjemahkan kata per kata, seperti umumnya para santri menerjemahkan dengan utawi iki iku.
Toh kami semua sudah berbahasa Arab lancar baik lisan atau pun tulisan, aktif ataupun pasif.
Kecuali memang ada kosa kata yang agak aneh bagi kami, barulah beliau jelaskan maknanya serta penggunaannya.
Kelar membaca matan, barulah beliau berikan penjelasan yang lebih melengkapi apa yang tadi sudah ada di matan kitab Fathul Qadir itu.
Yang paling menarik bahwa di setiap dua bulan kita belajar tafsir, ada ujiannya.
Kita semua diperintahkan untuk menjawab soal-soal yang beliau tuliskan, di mana jawabannya pasti dari yang sudah kita baca setiap hari di kelas pada saat kuliah.
Ada ujian mid-semester atau kita menyebutnya dengan imtihan a’malus sanah, terus ada lagi ujian final yang kita sebut dengan imtihan akhir.
Mata kuliah tafsir ini ada di semua semester, dari semester 1 sampai semester 8. Targetnya per semester adalah 1 juz.
Jadi kuliah selama 4 tahun atau 8 semester, kami mahasiswa sudah pernah membaca kitab matan Fathul Qadir setidaknya 8 juz. Plus sudah pernah menjawab semua soal yang diberikan.
Tentu saja soalnya dalam bahasa Arab dan cara menuliskan jawabannya pun harus pakai bahasa Arab juga.
Kalau tidak paham soalnya, dipastikan jawabannya pasti keliru. Atau bisa juga kita paham soalnya, tapi kita tidak tahu jawabannya. Ini yang paling sering. Kesalahannya sudah pasti 100% dari kita.
Bisa karena waktu di kelas tidak mengikuti perkuliahan dengan baik, atau pun kurang melakukan murojaah membaca ulang kitab tafsir yang jadi muqoror di semester itu.
Dan soal yang dibikin oleh Dr. Umar Ridhwan cukup panjang, banyak, detail dan hampir semua isi kitab tafsir dikuras sampai keraknya untuk jadi soal ujian.
Saya merasakan ngaji kitab tafsir yang lumayan berat ketika kuliah dulu itu. Soalnya ujungnya pakai harus jawab pertanyaan.
Sementara pengajian kitab yang saya ikuti dimana-mana, biasanya tidak ada soal ujiannya.
Pokoknya ngaji aja terus. Kalau seandainya ditanya tentang isinya, jawabnya wallahu a’lam bishshawab.
Maka ketika sekarang saya lagi nulis kitab tafsir, ingin sekali rasanya kitab itu saya lengkapi dengan soal-soal.
Kalau nanti ada yang mengaku pernah baca buku saya, cukup saya lihat saja nilainya ketika menjawab soal-soal itu.
Dan ketika jawabannya benar semua, boleh lah dapat ijazah. Tapi kalau jawabannya hasil ngarang sendiri, nah itu dia masalahnya. Masak mau dikasih ijazah juga? []