Menelusuri Jejak Panjang Orang-Orang Arab di Indonesia (Bagian 2)

 Menelusuri Jejak Panjang Orang-Orang Arab di Indonesia (Bagian 2)

Menelusuri Jejak Panjang Orang-Orang Arab di Indonesia (Bagian 2) (Iustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perbedaan status sosial antara sayid dan non sayid membuat organisasi ini terpecah, terutama setelah kehadiran Syaikh Ahmad Surkati.

Ia merupakan salah satu guru di sekolah Jamiat Kheir asal Sudan yang membawa pemikiran pembaharu ke tanah Air.

Ia banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tidak heran jika pada tahun 1913 ia sempat memfatwakan kebolehan Syarifah (perempuan keturunan Nabi) menikah dengan muslim non sayid.

Fatwa tersebut sebelumnya dikeluarkan oleh Rasyid Ridha dalam majalah al-Manar tahun 1908.

Fatwa tersebut membuat geger kalangan Sayid dan membuat karir Syaikh Surkati tidak bertahan lama dalam Jamiat Kheir.

Tidak berselang lama, pada tahun yang sama Syaikh Surkati mendirikan Jam’iyatul Islam wal Irsyad (al-Irsyad).

Berbeda dengan Jamiat Kheir, al-Irsyad cenderung lebih meluas dan masif dalam bergerak.

Konflik antar Komunitas Arab

Pertikaian kalangan sayid dan non sayid tidak berhenti di situ. Antara 1915 dan 1930, beberapa upaya dilakukan untuk mencapai rekonsiliasi antara para pihak, tanpa pernah membuahkan hasil.

Puncak ketegangan terjadi pada Mei 1931 ketika kongres al-Irsyad di Batavia memutuskan tidak lagi menganggap gelar sayid sebagai hak istimewa kaum Ba-‘Alawi.

Pada 10 Juni, di tahun yang sama, Rabithah Alawiyah mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal untuk meminta perlindungan hukum atas gelar sayid.

Rabithah Alawiyah sendiri merupakan organisasi yang didirikan pada tanggal 27 Desember 1928 untuk menghimpun WNI keturunan bani Alawi atau Ba-‘Alawi, yang di Indonesia dikenal sebagai kalangan sayid karena diyakini keturunan Nabi Muhammad.

Konflik berlanjut di kalangan komunitas Arab pasca sayid dan non sayid.

Ia adalah Abdurahman Baswedan, seorang modernis dan peranakan Arab pertama yang menyadari lebih jauh persoalan komunitas Arab dihubungkan dengan sejarah perjalanan kebangsaan tanah Hindia Belanda untuk jangka panjang.

Dominasi Arab totok, bagi Baswedan, menyulitkan proses integrasi natural komunitas Arab peranakan dengan komunitas luarnya.

Setelah melalui berbagai dinamika dan perjumpaannya dengan komunitas yang lebih luas, refleksi Baswedan telah melahirkan sebuah kesimpulan yang menegaskan posisi sosial Arab peranakan.

Jika dihadapkan pada nilai-nilai yang melekat dengan identitas leluhurnya yang mewakili profil masyarakat Hadhrami (keras, tangguh, hemat, dan tegas), tidak banyak persamaan yang bisa ditemukan pada karakter Arab peranakan.

Dari sini, Baswedan memperoleh kesimpulan penting, sembari berusaha meruntuhkan dominasi totok yang merasa superior dengan nilai leluhurnya, dan menegaskan bahwa jelas “orang Indo-Hadhrami (peranakan) lebih banyak memiliki kedekatan dengan orang Indonesia dari pada dengan Hadhrami di tanah asal mereka”.

Keyakinan Baswedan teraktualisasikan melalui gerakan politiknya dengan mendirikan PAI (Persatoean Arab Indonesia) pada tanggal 4 Oktober 1934.

Kepiawaian Baswedan dalam memperoleh dukungan luas dari semua unsur komunitas Arab tercermin dari inisiatifnya dalam menggunakan istilah ‘saudara’ sebagai sapaan menggantikan istilah sayid atau syaikh.

Penyematan nama Indonesia dalam nama partai mencerminkan misi Baswedan untuk memperkenalkan lebih jauh koneksi identitas yang kuat antara kearaban dan keindonesiaan bagi (terutama) kalangan peranakan.

Namun demikian, setali tiga uang, partai ini juga dipergunakan untuk tujuan-tujuan emansipatif yang diaspirasikan komunitas Arab.

Mereka berharap, seiring berjalannya proses-proses natural dalam upaya peleburan masyarakat Arab.

Terdapat pengakuan secara politis dan legal oleh institusi negara bagi keberadaan mereka yang menempatkannya setara dengan komunitas asing lainnya maupun dengan warga pribumi.

Untuk melaksanakan agenda politiknya, pada tahun 1939 PAI bergabung dengan Majelis Islam A’la Indoneisa (MIAI), Majelis Tinggi Islam Indonesia, dan Gaboengan Politik Indonesia (GAPI).

Perjuangan mereka tidak sia-sia. Pada Juli 1944, secara mengejutkan, orang Indo-Hadhrami tidak lagi digolongkan sebagai orang asing (berbeda dengan peranakan dari kelompok penduduk lain).

Keterlibatan AR Baswedan tidak berhenti di situ dalam proses-prose kesejarahan di tanah air.

Bersama beberapa tokoh Hadhrami lainnya, Baswedan juga terpilih untuk duduk dalam Djawa Hokokai, Organisasi Kesetiaan Rakyat, pada tahun 1944.

Satu tahun setelahnya, Mei 1945, Baswedan diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Menjelang proklamasi, mayoritas Indo-Hadhrami memihak Republik Indonesia dengan pengecualian sekelompok kecil pimpinan al-Amoedi yang mendukung kembalinya pemerintahan Belanda untuk sementara.

Bersama beberapa perwakilan Hadhrami lainnya, Baswedan bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 19 Agustus.

Setahun kemudian menjadi wakil Menteri Muda Penerangan.

Kemudian pada 10 Juni tahun 1947, Baswedan (sebagai wakil menteri) bersama Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim berangkat ke Kairo untuk menegosiasikan pengakuan Liga Arab terhadap Republik Indonesia. Pada tahun

Pasca Kemerdekaan, Baswedan memilih untuk tidak lagi menghidupkan PAI dan mendorong pengikut mereka agar memilih partai politik Indonesia sebagai gantinya.

Mereka kemudian tersebar ke berbagai partai yang berhaluan nasionalis, Islam, sosialis hingga komunis.

Baswedan sendiri memilih masyumi sebagai kendaraan politiknya. Ia dikenal gigih melawan gerakan PKI pada masa itu.

Melalui kendaraan partai ini pula ia terpilih menjadi bagian dari Badan Konstituante. []

Uu Akhyarudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *