Membincang Perkembangan Khazanah Tafsir Indonesia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Masuknya Islam ke Indonesia seiring pula dengan berbagai keilmuan yang melingkupinya, seperti Al-Qur’an beserta tafsirnya.
Berbagai literatur tafsir telah ditemukan di Indonesia karena nampaknya tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia sebenarnya telah bergerak cukup lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak serta bahasa penafsiran.
Tafsir dipandang representatif sejak awal perkembangan Islam sampai periode 1990-an. Dalam rentang waktu yang cukup panjang ini, tentu sudah banyak kitab tafsir yang ditulis oleh para intelektual muslim di Indonesia.
Perlu kita ketahui bahwa tafsir berbahasa Arab tertentu mampu mempertahankan popularitasnya secara di dunia Melayu-Indonesia. Yang paling menonjol di antaranya adalah Tafsir al–Jalalayn, karya Jalal al-Din bin Ahmad al-Mahali (w. 1459) dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, (w.1505).
Berdasarkan data-data sejarah, pada awal abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses penulisan tafsir.
Hal ini dengan ditemukannya naskah Tafsir Surat al–Kahfi ayat sembilan. Hal tersebut menegaskan telah berkembangmya karya-karya tafsir di Indonesia.
Karya-karya yang ditulis orang-orang Indonesia itu ada yang ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Indonesia.
Tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surah tertentu dan tidak diketahui siapa penulisnya.
Manuskrip naskah tersebut dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dai Belanda, Erpinus (w. 1624), pada awal abad ke-17.
Pada saat ini, manuskrip itu menjadi koleksi Cambride University Library. Diduga, manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di mana yang menjadi muftinya adalah Syams al-Din al-Sumaterani.
Bahkan ada ynag menduga bahwa manuskrip itu dibuat pada masa Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah Sayyi al-Mukammil (1537-1604), dimana mufti kerajaanya adalah Hamzah al-Fansuri.
Apabila dugaan ini benar, aktivitas penafsiran Al-Qur’an berarti bersamaan dengan perkembangan sufisme di Indonesia.
Dengan demikian, pendapat A.H. Johns yang mengatakan bahwa tafsir-tafsir Al-Qur’an relatif terlambat dating ke dunia Melayu-Nusantara, dengan sendirinya terbantahkan.
Tafsir Surat al-Kahfi tersebut, dilihat dari corak atau nuansa tafsir, sangat kental dengan warna sufistik.
Hal ini mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi.
Diduga, penulisnya adalah seorang pengikut salah satu tarekat yang mapan pada saat itu di Aceh, yaitu Tarekat Qadariyah.
Rujukan utama tafsir surat al-Kahfi ini adalah ulasan al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil. Dengan demikian dalam hubungannya dengan aktivitas keislaman di Asia Tenggara, ulasan al-Baghawi tersebut sangat penting.
Satu abad kemudian, muncul karya tafsir al-Turjaman al-Mustafid yang ditulis ‘Abd al-Rauf al-Sainkili (1615-1693) yang lengkap 30 juz.
Tafsir ini ditulis semasa al-Sinkili yang lama menjabat sebagai mufti di Kesultanan Aceh, ditulis sekitar tahun 1675 di Aceh.
Pada umumnya, al-Turjuman al-Mustafid dipandang sebagai terjemahan dari tafsir otoritatif berabahasa Arab.
Menurut Snock Hirgronje dan diikuti oleh A.H. Johns, tafsir ini merupakan terjemahan dari Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karya ‘Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad Syirazi al-Baydhawi (w. 1286), pernyataan ini dibantah oleh Peter Riddle.
Menurut Riddle, naskah al-turjuman al-mustafid ini disusun berdasar gabungan dua hal. pertama, sumber-sumbernya adalah gabungan.
Sebagian besar merupakan syarh Tafsir Jalalyn sebagai informasi penafsiranal-Tarjuman al-Mustafid, sedangkan komentar-komentar al-Baydhawi dan al-Khazin menjadi sumber kedua yang jumlahnya lebih sedikit.
Kedua, naskah al-Turjuman al-Mustafid merupakan karangan gabungan antara al-Sinkili dan muridnya, Daud Rumi.
Al- Sinkili menyusun pokok-pokok karangan, dengan menggunakan Jalalyn sebagai sumber naskahnya.
Sementara itu, Daud Rumi menambahkan sisipan yang bersifat anekdot dan informasi tentang keragaman bacaan, yang diambil dari al-Baydhawi, al-Khazin dan sumber-sumber lain, termasuk Jalalayn.Al-Turjuman al-Mustafid terus dicetak dan digubakan secara luas di Malaysia, Sumatera, dan Jawa.
Hal ini tidak hanya berpengaruh besar terhadapkajian Al-Qur’an di wilayah-wilayah itu, tetapi juga mempunyai kontribusi yang cukup biesar bagi kaijan-kajian tafsir dalam bahasa Arab. Dominasi Tafsir Jalalyn di sekolah-sekolah Indonesia, tidak diragukan lagi, juga disumbangkan oleh penyusunan al-Tarjuman al-Mustafid tersebut.
Karya-karya tafsir pada periode awal sebagian ditulis dalam bahasa Melayu-Jawi atau Arab Pegon.
Hal ini dimungkinkan terjadi, karena berdasarkan pelacakan Islam di berbagai wilayah Nusantara.
Indikasinya, penggunaan aksara Arab yang kemudian disebut dengan aksara Jawi atau Pegon, banyaknya kata serapan yang berasal dari bahasa Arab, dan karya-karya sastra yang terispirasi oleh model dan corak Arab dan Persia.
Dipakainya bahasa Melayu-Jawi ini menemukan kekuatannya, karena bahasa ini merupakan lingu franca yang dipakai di Nusantara dan menjadi bahasa resmi pemerintahan, perdagangan, dan hubungan antarnegara.
Namun, duluar itum bahasa Melayu-Jawi hanya dikuasai oleh orang-orangtertentu saja, misalnya, kalangan pelajar, pedagang dan birokratpemerintahan. Selain kelompok-kelmpok ini, bahasa masing-masinglah yang dominan.
Pada abad ke-19, muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi , yaitu Kitab Faraidh al-Qur’an. Namun, tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya (anonim).
Karya tafsir ini ditulis dalam bentuk sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, karena hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap.
Naskah tafsir ini masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang disunting oleh Ismail bin Abd al- Muthalib al-Asyi, Jami’ al-Jawami al-Mushannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh.
Kini, naskah kitab ini disimpan di Perpustakan Universitas Amsterdam dengan kode catalog: Amst. IT.481/96(2). Karya ini kemudian diterbitkan di Bulaq.
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional menyebabkan karya tafsir yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin.
Dalam taraf tertentu, model penulisan tafsir dalam bahasa Indonesia yang berhuruf latin secara umum mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.
Dengan demikian model penulisan tafsir ini lebih bersifat populis. Di Indonesia, ada kecenderungan bahwa umat Islam yang tidak berbahasa Arab dengan baik lebih memilih tafsir berbahasa Indonesia daripada bahasa daerah.
Di antara tafsir tersebut adalah tafsir yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Sebagaimana disebutkan dalam pengantarnya, bahwa tafsir ini tidak menyuguhkan sebuah tafsir yang ideal dengan membahas seluruh aspek pengetahuan dan berkembang, melainkan sebaliknya, tafsir ini hanyalah kelanjutan dari buku Al-Qur’an dan Terjemahannya yang sudah terlebih dahulu beredar.
Tafsir ini ditulis para ahli dari IAIN Yogyakarta dan Jakarta, yang berjumlah 17 orang; 9 orang dari Jakarta (Tim Jakarta) dan 8 orang dari Yogyakarta (Tim Yogyakarta).
Selanjutnya, banyak kitab-kitab tafsir yang memakai bahasa daerah, seperti al-Qur’an al-Karim dengan Bahasa Madura juga kitab tafsir dengan berbagai aksara, seperti Tafsir al-Munir dengan Aksara Lontara, Tafsir al-Ibriz dan Faidh al-Rahman karya Mbah Sholeh Darat.
Adapun yang menjadi rujukan utama tafsir tersebut adalah Tafsir al-Maraghi, karya al-Maraghi; Tafsir Mahasin ak-Tafsir, karya ak-Qasimi; Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tafshil, karya al-Baydhawi; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Katsir.
Tafsir ini ditulis dalam 11jilid; jilid satu merupakan Muqaddimah, sedangkan jilid dua sampai sebelas merupakan isi.
Dengan demikian, setiap satu jilid (jilid 2-jilid 11) memuat tafsir tiga juz darial-Qur’an.
Bahwa literatur-literatur tafsir al-Qur’an yang lahir dari tangan ulama Islam Nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, mencerminkan adanya “hierarki tafsir” ini bisa berkaitan dengan posisi karya tafsir itu sendiri di tengah karya-karya tafsir yang kain.
Demikian selayang pandang mengenai perkembangan khazanah tafsir di Indonesia. []