Meneladani Sisi Religiusitas Bung Tomo
Bung tomo adalah pejuang tanah air pada masa penjajahan Belanda. Namanya mengudara saat terjadi peristiwa 10 November di Surabaya. Beliau adalah pejuang yang namanya dikenang sebagai pahlawan pemberani. Cerita keberaniannya dan pidatonya yang membangkitkan semangat para pahlawan pada peristiwa 10 November masih membekas hingga kini.
Namun dari sekian cerita tentang sosoknya sebagai pahlawan, tak banyak yang tahu sisi religius kehidupan pahlawan yang lahir dengan nama Sutomo ini. Beliau lahir di kota Surabaya pada 3 Oktober 1920 sebagai seorang anak pegawai rendahan. Pendidikan dasar Bung Tomo adalah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Ia kemudian melanjutkan ke MULO dan HBS. Karena ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi di universitas Indonesia.
Jiwa nasionalisme Bung Tomo didapat dari keluarganya, terutama dari sang kakek. Jiwa nasionalisme tersebut semakin menguat ketika ia dididik di sekolah Kepanduan Bangsa Indonesia. Tepat pada usianya ke 17 tahun, ia memperoleh peringkat Pandu Garuda. Sebuah peringkat yang sangat berharga pada saat itu, karena itu berarti Bung Tomo menjadi orang kedua di Hindia Belanda.
Bung Tomo adalah seorang Muslim yang taat. Hapir setiap malam ia melakukan shalat tahajud dan sesudah itu ia membaca ayat suci al-Qur’an yang dibacakan dengan suara yang cukup keras. Sejak kecil, ia hidup dengan lingkungan agama yang kental, maka ia pun sadar betapa pentingnya arti agama di tengah-tengah hidup yang ruwet. Dalam situasi apapun, jiwanya selalu diterangi oleh agama Islam yang dianutnya.
Ketaatannya sebagai muslim ditunjukkan dalam situasi apapun. Baik ketika masa revolusi di bawah desingan peluru dan meriam, maupun ketika ia berada di Makkah Al-Mukarromah, ketika badannya panas dan suhu tubuhnya yang tinggi rupanya tidak menghilangkan ingatan Bung Tomo kepada Allah SWT. Bahkan Bung Tomo menyampaikan pesan kepada anak-anaknya jika nanti menjadi seorang sarjana, agar menjadi sarjana muslim yang taat.
Bung Tomo seperti halnya Jendral Soedriman dekat dengan para ulama dan Kyai. Dia dekat dengan orang-orang dari kalangan pesantren. Bahkan sering meminta nasihat kepada K.H Hasyim Asyari. Pada tanggal 25 Juli 1947, setelah shalat tarawih, ia meutuskan menemui K.H. Hasyim Asy’ari. Isi surat Bung Tomo saat itu memohon K.H. Hasyim Asyari utnuk memberikan komando “jihad fi Sabilillah” kepada umat Islam untuk melawan Belanda.
Sebelumnya K.H Hasyim Asyari telah memfatwakan Resolusi Jihad (Oktober 1945) untuk melawan Belanda. Namun saat itu K.H Hasyim Asyari tidak memberikan jawaban langsung, karena masalah itu dianggapnya sangat penting, tetapi meminta waktu semalam untuk melakukan shlata Istikharah sebelum memberikan solusinya. Surat tersebut memang tidak pernah sempat dibukanya, karena esoknya K.h Hasyim Asyari meninggal dunia.
Masa Muda
Sutomo pernah menjadi jurnalis yang sukses. Ia kemudian bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih sebagai anggota Gerakan rakyat baru pada 1944, hampir tak seorang pun mengenal dia. Ia memang dipersiapkan untuk perannya yang sangat penting. Pada Oktober dan Noember 1945, ia terpilih menjadi pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya.
Pada saat itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Bung Tomo dikenang dengan pidato-pidato pembukaannya di dalam siaran radio-radionya yang penuh dengan semangat kemerdekaan. Meskipun Indonesia kalah dalam perang di Surabaya, namun mereka berhasil memukul mundur pasukan Inggris dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu perisitiwa paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Meninggal di Padang Arafah
Pada 29 September 1981, semua jamaah dikumpulkan di Halim dan dipersiapkan segala sesuatunya dalam rangka perjalanan menuju Tanha Suci. Sebagai pemimpin, ia diberikan kesempatan menyampaikan pesan-pesannya kepada anak buahnya. Yang menjadi topik dalam pesannya adalah tentang kedisiplinan. “Janganlah berbuat sesuatu yang merugikan diri kita sendiri. Atau merusak nama baik bangsa kita”. Salah satu disiplin yang ia minta adalah agar menaati ketentuan syaikh yang sudah ditunjuk oleh Ditjen Bimas Islam Departemen Agama.
Ketika Bung Tomo menunaikan Ibadah haji, tepatnya di hari kedua di tanah suci, Bung Tomo menunaikan ibadah dengan tekun, shalat berjamaah dengan kaum muslimin lainnya, namun di tengah malam tubuhnya yang sudah separuh baya ini terpengaruh oleh udara dan cuaca panas di Arab Saudi. Bung Tomo pun kemudian jatuh sakit, badannya mengalami panas tinggi yang naik turun. Namun, meski tubuhnya sedang sakit Bung Tomo tetap memfokuskan perhatiannya pada ibadah, bahkan ia selalu mengambil wudhu meski belum masuk waktu sholat.
Ketika waktu Ashar, Bung Tomo masih bisa mengikuti Shalat wajib, begitu pula pada shalat Maghrib, Bung Tomo masih menguatkan badannya untuk berjamaah. Ketika shalat Isya, badan Bung Tomo yang sebelumnya sudah menurun suhu panasnya, kembali naik dna bahkan panasnya semakin tinggi. Penghuni Hotel Zamzam tempat Bung Tomo menginap pun berbondong-bondong menjenguknya, tak sedikit pula pejabat Indonesia yang sedang menunaikan Ibadah Haji datang menjenguk Bung Tomo.
Bung Tomo pergi dengan sebaik-baiknya kepergian, dalam keadaan sakit dia dibawa ke Arafah untuk berubudiyah, mengabdi, membesarkan nama Allah SWT. Tubuhnya yang sakit tidak berhasil menahan jiwanya yang besar penuh dengan panggilan dan ajaran tauhid untuk beribadah. Ia tidak ditakdirkan mati syahid di medan pertempuran, tetapi kepergiannya kembali kehadirat Ilahi melalui pintu syahid ketika mengamalkan amalan haji.
Padahal jika ditelusuri garis hidupnya, terutama pada masa revolusi, dengan sengaja jiwanya dipertaruhkan menghadang peluru-peluru tajam, meriam yang menyerang tanah Air yang dicintainya. Kematiannya di Padang Arafah merupakan takdir dari Tuhannya dan tidak ada satupun yang dapat melawannya, karena insan-insan dibawah langit ini sesungguhnya disamping berikhtiar juga menunggu takdir Tuhan. Ayah empat anak ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 Oktober 1981. Berbeda dengan tradisi memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke Tanah Suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Tanah Air.
Jenazahnya tidak dimakamkan di sebuah Taman Makam Pahlawan layaknya seorang pahlawan nasional, melainkan di Tempat Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya. Sebuah ironi, mengingat TPU Ngagel tepat berhadapan dengan Taman Makam pahlawan di sebrang jalan. Ini menunjukkan betapa Bung Tomo adalah seorang pahlawan yang tidak gila hormat. Makamnya membaur di tengah-tengah makam rakyat.