Perjalanan Suram Dakwah Islam Melalui Seni Pewayangan

 Perjalanan Suram Dakwah Islam Melalui Seni Pewayangan

Ahmad Baso: Wali Songo Perkenalkan Master Plan Tentang Peran dan Fungsi Ulama (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dalam perkembangan agama Islam di nusantara, kita mengenal adanya nama walisanga. Nama itu disematkan pada sembilan orang dengan peran dakwah yang cukup signifikan di tengah-tengah masyarakat, guna mengajari cara meniti ajaran Islam.

Memang, dakwah yang dilakukan oleh walisanga ini memakan durasi yang panjang dengan tantangan yang beragam. Akan tetapi dari dakwah ini juga telah berhasil memunculkan sekian raja, pujangga, kyai, pedagang, petani, pembuat keris, dan prajurit yang sekaligus menjadi penganut agama Islam yang taat. Keberhasilan dakwah ini membuat para akademisi, peneliti, dan pemerhati sejarah tertarik untuk mengulik, seperti apa cara dakwah yang dilakukan oleh walisanga?

Saya rasa salah satu dakwah yang cukup berhasil ialah dengan penggunaan medium wayang purwa, terutama oleh Sunan Kalijaga. Di banyak literatur terdahulu, kita membaca sekian cerita tentang kiprah Sunan Kalijaga yang menciptakan tokoh pewayangan yang sarat dengan makna Islam. Dari dakwah wayang ini pada akhirnya ajaran Islam dapat merangsek masuk tanpa memicu konfrontasi yang berlebihan.

Hanya saja belakangan, keberadaan wayang ini banyak yang menilai bukan medium dakwah agama Islam yang otentik. Sebab cerita wayang bersumber dari ajaran Hindu, terutama dari Kitab Ramayana dan Mahabharata. Selain itu nama-nama pewayangan yang dimainkan oleh dalang juga ada nama-nama dewa: Wisnu, Brahma, Indra, dan lain-lain.

***

Dalam tulisannya Moco Wayang Purwo, Ngaji Dadi Menungso (2015), Kyai Jadul Maula memberi sanggahan berkaitan dengan hal itu. Kendati para dewa dalam agama Hindu ditampilkan pada lakon pagelaran wayang, Sunan Kalijaga bahkan sampai dalang hari ini pun tidak pernah menyampaikan pesan praktik pemujaan atau pengkultusan terhadap dewa-dewa tersebut.

Sebaliknya, dewa-dewa itu diposisikan sebagai makhluk di bawah keturunan genealogi dari Nabi Adam. Maka setiap kali gelaran wayang ditunaikan, dewa-dewa ini juga diceritakan tidak luput dari segala khilaf sebagaimana manusia pada umumnya. Dewa tidak melulu bersih dari salah.

Sementara di bukunya Islam Berkebudayaan; Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan (2019), Kyai Jadul Maula memberi autokritik pada tubuh umat Islam itu sendiri. Pasalnya, wayang yang di masa silam lekat dengan sosok Sunan Kalijaga dan santri-santrinya, kini malah berjarak dengan umat Islam itu sendiri, terutama mereka yang duduk mengail ilmu di dunia pondok pesantren.

Seakan-akan mereka yang terlibat dalam gelaran wayang entah sebagai dalang, pemain gamelan, sinden, bahkan penggemar wayang sekalipun dinilai laku Islamnya tidak otentik. Dalam bahasa akademis, mereka diklasifikasikan ke dalam Islam yang sinkretik. Bagi Kyai Jadul Maula, problem ini didorong oleh adanya tiga faktor yang saling terkait.

***

Pertama, adanya keterputusan antara dunia keraton dengan pesantren. Ada banyak raja yang mesti belajar ilmu agama dulu sebelum dirinya dinilai layak untuk diangkat sebagai raja. Pun juga tidak sedikit, kyai atau ulama yang dipilih sebagai penasihat kerajaan guna memberi pertimbangan di setiap kebijakan yang diambil.

Akan tetapi, ketika kolonial berhasil menancapkan pengaruhnya, keduanya dipisahkan. Keraton di bawah kendali kolonial hanya diberi ruang mengatur tata pemerintahan, sedangkan pesantren dibiarkan belajar ajaran Islam selama tidak melakukan gerakan pemberontakan. Akhirnya muncullah dualisme yang direkayasan kolonial untuk berseteru dan bersitegang.

Selain itu penemuan mesin uap dan terbukanya jalur Terusan Suez pada 1869 M membuat banyak umat Islam yang memilih belajar langsung di tanah Arab. Dari situ juga muncul anggapan bahwa umat Islam mundur karena melulu dipengaruhi kebudayaan tanpa dasar tauladan Kanjeng Nabi Muhammad. Di masa-masa ini, medium pagelaran wayang sebagai dakwah ajaran Islam semakin diabaikan.

Kedua, ada banyak dalang yang pengetahuan tentang gelaran wayang terputus. Mereka memainkan wayang bukan sebagai bentuk pengajaran, melainkan bergeser menjadi hanya semacam hiburan semata. Wayang tidak lagi diapresiasi sebagai karya seni yang sarat dengan makna spiritual dari ajaran Islam.

Ketiga, adanya kontestasi pasca kemerdekaan dengan politik di negeri ini yang semakin memanas. Ada empat partai pemenang yang mempengaruhi jalannya pemerintahan: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Masyumi dan NU menjadi representasi dari kelompok Islam modernis dan tradisionalis. Adapun PNI dan PKI menjadi kiblat dari kelompok nasionalis dan komunis.

***

Lantas gelaran wayang dengan banyak kesenian tradisional lainnya terlanjur dicap sebagai kesenian abangan, bukan milik santri di pondok pesantren. Maka gelaran wayang bergeser dari hiburan menjadi simbol politik. Tentu saja ini menyebabkan ruang dakwah melalui gelaran wayang menjadi tidak ada sama sekali.

Saya rasa ada proses yang panjang ihwal pagelaran wayang, mulai dari masa Sunan Kalijaga sampai sekarang. Kendati dulu dirintis oleh para wali dengan basis pengetahuan Islam, wayang sendiri kini menjadi pagelaran yang asing untuk dipentaskan dalam memperingati tanggal-tanggal penting bagi umat Islam. Selain itu juga jarang ditemukan lulusan pondok pesantren yang kemudian menjadi dalang menjalankan lakon wayang. Kira-kira begitu.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *