Membincang Takwil Imam Bukhari

 Membincang Takwil Imam Bukhari

Sifat Pengampun Allah Termasuk Sifat Wajib atau Sifat Jaiz?

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sejatinya takwil adalah hal yang wajar dan dilakukan oleh hampir semua ulama, termasuk Imam Bukhari, bahkan oleh mereka yang mengutuk keras dan menyesat-nyesatkan takwil sekalipun.
Saya menulis ini hanya karena ada beberapa orang jahil yang mewacanakan bahwa Imam Bukhari tidak menakwil apa pun dan memahami semua teks secara literal apa adanya.
Imam Bukhari melakukan takwil nash tentang sifat dalam beberapa tempat, yaitu:
1. Takwil Wajah Allah
Sebenarnya semua ulama Ahlussunnah mentakwil wajah Allah, bahkan ahlul bid’ah pun mentakwilnya.
Jadi sebenarnya sama sekali tidak mengherankan apabila Imam Bukhari mentakwilnya juga.
«صحيح البخاري» (6/ 112 ط السلطانية):
«{كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} [القصص: 88]: ” إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ»
Artinya:
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (al-Qashsash: 88), yaitu kecuali kerajaan-Nya. Dan dikatakan [oleh sebagian ulama], kecuali amal yang diniatkan untuk ridha Allah.”
Teks di atas adalah takwilan sharih dari Imam Bukhari sendiri bahwa yang dimaksud dengan wajah Allah yang tidak hancur saat kiamat nanti takwilannya adalah kerajaan Allah. Ini adalah takwilan pertama dari beliau sendiri.
Selain itu, beliau juga menukil takwilan kedua dari ulama lain yang mentakwilnya sebagai amal ibadah yang dilakukan ikhlas karena Allah.
Teks tersebut adalah redaksi yang paling banyak ditemukan dalam naskah Shahih Bukhari dan yang disyarah oleh para Hafidz yang mensyarah Shahih Bukhari. Ini bisa dicek di berbagai syarah Bukhari.
Sebagian kecil teks lainnya menyisipkan kata yuqalu di awal takwilan pertama sehingga dapat dikatakan bahwa Imam Bukhari menukil takwilan wajah sebagai kerajaan itu dari ulama lainnya juga, sama seperti takwilan kedua.
Andai ini benar, sekali lagi andai sisipan ini benar-benar valid, maka tidak masalah sebab keduanya tetap ditulis oleh Imam Bukhari sendiri di kitabnya sebagai takwilan yang dia ridhai untuk menjelaskan ayat tersebut.
Berdasarkan kemungkinan itu, sebagian orang mencoba mengesankan bahwa Imam Bukhari sendiri tidak mentakwil tetapi beliau hanya menukil takwilan orang lain.
Orang ini tampaknya tidak paham pengetahuan umum bahwa tujuan penukilan hanya ada dua saja, yakni: (1) Berhujjah (2) Mengkritik.
Faktanya, Imam Bukhari mencantumkan takwilan tersebut di kitabnya yang dia buat sebagai pencerahan bagi seluruh pembaca tanpa mengkritiknya sepatah kata pun.
Itu artinya beliau menjadikan nukilan itu sebagai hujjah atau penjelasan yang menurutnya valid untuk dirujuk oleh pembaca.
Andai apa yang dikatakan ulama lain tersebut adalah kesesatan, maka pasti dikomentari dan ditolak oleh Imam Bukhari.
Apakah orang itu menyangka bahwa Imam Bukhari menganggap takwil adalah perbuatan sesat lalu mengutip kesesatan itu di kitabnya sendiri tanpa berkomentar sepatah kata pun?
Sebagian anti takwil lain mencoba lari dari fakta di atas degan cara membaca teks mulkahu yang berarti kerajaan-Nya sebagai malikahu yang berarti Penguasanya.
Maksudnya, dia mau berkata bahwa teks itu bermakna ‘segala sesuatu akan sirna kecuali penguasa segala sesuatu itu (Allah).’ Tapi sayangnya dia lupa bahwa yang dia lakukan ini juga takwil.
Mau dibaca mulkahu atau malikahu, tetap hasilnya adalah takwil sebab sama saja telah memalingkan makna asal kata ‘wajah’ dari makna muka menjadi makna lainnya.
Intinya, selama wajah di sana tidak diartikan sebagai organ tubuh Allah yang berupa muka, maka itu namanya takwil.
Mungkinkah ayat itu tidak ditakwil? Tidak mungkin.
Kalau dipahami literal seperti kalangan mujassimah, maka akan berarti bahwa segala sesuatu selain wajah Allah akan hancur.
Artinya tangan Allah dan organ Allah lainnya yang disebutkan dalam ayat atau pun hadis favorit para mujassim akan hancur semua dan hanya tersisa wajahnya saja.
Sebab itu, bahkan mujassim sendiri metakwil wajah Allah.
Takwilan lain selain takwilan Bukhari di atas adalah ‘Dzat Allah’ sehingga ayatnya berarti bahwa segala sesuatu akan hancur kecuali Dzat Allah itu sendiri, ini mirip dengan makna malikahu di atas.
Anti takwil biasanya mencoba mengelak dengan menyebutnya sebagai tafsiran, bukan takwilan. Terserahlah mau disebut apa saja.
Mau istilahnya diubah dengan seribu istilah pun esensinya tetap sama bahwa semua pemalingan makna dari makna literal adalah takwilan.
Sebagai info, ayat lain tentang wajah Allah yang pasti ditakwil adalah ayat berikut:
فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ ‌فَثَمَّ ‌وَجۡهُ ‌ٱللَّهِۚ [البقرة: 115]
Artinya:
“Kemana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 115)
Semua kalangan yang mengaku dirinya Ahlussunnah mentakwil ayat di atas sebagai kiblatnya Allah.
Bunyi ayatnya jelas wajah Allah, tapi maknanya dipalingkan menjadi kiblat yang ditentukan oleh Allah.
Kalau tidak ditakwil, maka akan bermakna wajah Allah ada di segala arah.
Para mujassim yang memuja pembacaan secara literal akan sakit hati ketika membaca ayat ini sebab mereka mau tidak mau harus mentakwilnya juga meskipun di saat yang sama mengutuk segala jenis takwil. Akhirnya mereka menelan ludahnya sendiri.
Kembali ke Bukhari
Bukti lain bahwa Imam ini mentakwil wajah Allah adalah saat ia menulis banyak sekali hadis yang memuat teks يَبْتَغِي بِذَلِكَ ‌وَجْهَ ‌اللَّهِ (dengan itu wajah Allah dicari), تَبْتَغِي بِهَا ‌وَجْهَ ‌اللَّهِ (dengan itu wajah Allah kamu cari), مَا أُرِيدَ بِهَا ‌وَجْهُ ‌اللَّهِ (perbuatan itu tidak untuk mencari wajah Allah), نُرِيدُ ‌وَجْهَ ‌اللَّهِ (kami menghendaki wajah Allah) dan sebagainya.
Dalam belasan hadis yang memuat kata ‘mencari wajah Allah’ atau ‘menghendaki wajah Allah’, semua pembaca akan tahu bahwa maksudnya adalah mencari ridha Allah.
Kita semua mentakwil istilah wajah Allah dalam konteks ini.
Yang menolak fakta takwilan ini mungkin hanya orang tak berakal yang kerjaannya hanya tolah-toleh ke atas untuk mencari di sebelah mana wajahnya Allah itu.
2. Takwil Allah Memegang
«صحيح البخاري» (4/ 127 ط السلطانية):
{آخِذٌ ‌بِنَاصِيَتِهَا} [هود: 56]: «‌فِي ‌مِلْكِهِ ‌وَسُلْطَانِهِ»
Artinya:
“Allah memegang ubun-ubunnya’, maksudnya adalah orang itu dalam kekuasaan dan kerajaan Allah.”
Ini adalah takwilan Imam Bukhari yang tidak dapat diplesetkan lagi.
Imam Bukhari menulis takwilan ini isebanyak dua kali dalam kitab sahihnya.
Kata ‘Allah memegang ubun-ubun’ ditakwil sebagai penguasaan Allah atas orang yang dimaksud.
Andai teks ini dibaca secara literal tanpa takwil, maka akan bermakna bahwa tangan Allah menggenggam ubun-ubun manusia.
Andai kita meniru ucapan provokatif para anti takwil bahwa pemalingan makna semacam ini artinya menafikan sifat, maka harus kita vonis Imam Bukahri telah menafikan sifat tangan dan jari.
3. Takwil Tertawa
Bagian ini dinukil oleh Imam Baihaqi dari Imam Bukhari sebagai berikut:
«الأسماء والصفات – البيهقي» (2/ 72):
وَأَمَّا الضَّحِكُ الْمَذْكُورُ فِي الْخَبَرِ فَقَدْ رَوَى الْفِرَبْرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ: «مَعْنَى ‌الضَّحِكِ ‌فِيهِ ‌الرَّحْمَةُ»
Artinya:
“Adapun tertawanya Allah yang disebut dalam hadis, maka al-Firabri telah meriwayatkan dari al-Bukhari r.a. bahwa ia berkata: “Makna tertawa dalam hadis itu adalah rahmat.”
Jadi, tertawanya Allah menurut Imam Bukhari bukanlah Allah menunjukkan ekspresi tertawa di mulut sebab ini adalah makna tajsim.
Yang dimaksud hanyalah bahwa Allah memberikan rahmat kasih sayang pada hamba yang dimaksud.
Demikian beberapa takwil yang dilakukan oleh Imam Bukhari.
Apabila takwilan dianggap perbuatan sesat, maka telah sesatlah Imam Bukhari.
Bila pentakwil dianggap ahli bid’ah atau musyabbih yang mengkhayal tasybih dulu lalu mengingkarinya, maka Imam Bukhari telah jadi menjadi ahli bid’ah atau musyabbih. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *