Membincang Negara Bangsa
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tak ada rotan, akar pun jadi. Gagal dapat gadis idola, anak tetangganya pun boleh juga. Inilah kondisi saya saya menjadi badal ghalath Dr. Muqsith Ghazali di hadapan Ruasa’ PBNU, di Pondok Qomaruddin, Gresik.
Dulu, wilayah kekuasaan Islam memang tanpa sekat batas negara. Makanya bila ada ulama dari Nusantara melakukan ibadah haji ke Makah bisa langsung ngaji di sana bertahun-tahun.
Setelah perang dunia kedua keadaan berubah. Negeri Arab tidak akan mau menerima pengunjung Tanah Haram karena sesama Islam, harus ada paspor dan visa.
Batas negara bangsa sudah mulai berlaku di semua negara.
Bagaimana dengan kiai-kiai NU?
Sejauh perjalanan sejarah kiai-kiai kita menerima konsep negara bangsa. Di masa-masa genting pun pilihan para kiai tetap mempertahankan NKRI.
Misalnya saat penjajah hendak kembali merebut kemerdekaan maka kiai kiai NU mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Pada tahun 1950an ketika Pak Karno diragukan keabsahannya sebagai pemimpin negara, lagi-lagi para pendiri NU yang diwakili oleh Kiai Wahab Hasbullah menegaskan keabsahan Pak Karno.
Di kala Pak Harto menerapkan Asas Tunggal Pancasila ternyata diterima oleh para kiai, saat itu diwakili oleh KH Ahmad Siddiq.
Demikian pula saat peralihan di masa reformasi, secara tegas kiai-kiai NU memilih mempertahankan NKRI.
Mengapa tidak meniru sistem di masa Nabi dan masa para Khalifah?
Sebab masalah kebangsaan menurut para ulama kita bukan ranah Fikih Ibadah yang harus sama persis dengan masa Nabi atau khilafah, tetapi sudah masuk dalam ranah Fikih Siyasah yang pijakannya adalah maslahat. Sebagaimana yang difatwakan oleh ulama Mesir:
جَاءَ فِى كِتَابِ ” بَيَانٌ لِلنَّاسِ مِنَ الْأَزْهَرِ الشَّرِيْفِ ” أَنَّ تَقْسِيْمَ الْبِلَادِ إِلَى دَارِ كُفْرٍ وَإِسْلَامٍ أَمْرٌ اِجْتِهَادِىٌّ مِنْ وَاقِعِ الْحَالِ فِى زَمَانِ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ ، وَلَيْسَ هُنَاكَ نَصٌّ فِيْهِ مِنْ قُرْآنٍ أَوْ سُنَّةٍ
Artinya:
“Disebutkan dalam kitab “Penjelasan bagi Manusia dari al-Azhar asy-Syarif 1/248” bahwa klasifikasi negara dalam bentuk Negara Kafir dan Negara Islam adalah urusan Ijtihad yang telah terjadi sejak masa para Imam Mujtahid. Disana tidak ada penjelasan dari al-Quran atau hadis.” (Fatawa Al-Azhar, 10/119)
Di bagian lain Syaikhul Azhar, Syekh Jad Al-Haq, menjelaskan:
اﻟﺨﻼﻓﺔ ﻭاﻹﻣﺎﺭﺓ ﻭاﻟﻮﻻﻳﺔ ﻭﺭﺋﺎﺳﺔ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭﻳﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ اﻷﺳﻤﺎء ﻣﺠﺮﺩ اﺻﻄﻼﺣﺎﺕ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ ﺭﺳﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﻭﻻ ﻣﻦ ﺣﻜﻤﻪ
Artinya:
“Kekhilafan, keamiran, kewilayahan, kepresidenan dan nama lainnya ada sekedar istilah, bukan bagian dari terminologi agama dan hukum agama.”
Mengapa demikian?
Jawabannya karena Sayidina Umar yang menjadi Khalifah pun berkenan mengganti nama dari Khalifah kepada Amirul Mukminin, yang sejatinya adalah wujudnya pemimpin bagi umat muslim:
ﻛﺎﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﻣﻦ ﺃﺑﻰ ﺑﻜﺮ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﺃﺭاﺩﻭا ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻟﻮا ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻫﺬا ﻳﻄﻮﻝ ﻗﺎﻟﻮا ﻻ ﻭﻟﻜﻨﺎ ﺃﻣﺮﻧﺎﻙ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻓﺄﻧﺖ ﺃﻣﻴﺮﻧﺎ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﺃﻧﺘﻢ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻣﻴﺮﻛﻢ ﻓﻜﺘﺐ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ (اﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ)
Artinya:
“Dulu tertulis dari Abu Bakar, Khalifah/ pengganti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Di masa Umar bin Khattab mereka katakan Khalifah Khalifahnya Rasulullah.
Umar berkata: “Ini panjang”.
Mereka berkata: “Tidak. Kami menjadikanmu sebagai pemimpin kami. Engkau adalah pemimpin kami.”
Umar menjawab: “Ya. Kalian adalah mukminin dan saya pemimpin kalian”. Lalu ditulis Amirul Mukminin.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq). []