Membaca Kitab Kuning Sesuai Realitas Zaman: Sebuah Refleksi Halaqoh Fikih Peradaban

 Membaca Kitab Kuning Sesuai Realitas Zaman: Sebuah Refleksi Halaqoh Fikih Peradaban

Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi: Ulama dari Gaza Penulis Kitab Fathul Qarib

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebentar lagi warga nahdliyyin akan menyongsong 1 Abad Nahdlatul Ulama. Salah satu program rangkaian acara penyambutannya adalah Halaqoh Fikih Peradaban yang diselenggarakan PBNU di 250 titik lokasi.

Nantinya akan ada acara puncak Muktamar Fikih Peradaban di bulan Januari 2023 mendatang yang akan dihadiri ulama dari berbagai belahan dunia.

Pada Senin (19/12) Pesantren Khozinatul Ulum Blora mendapat kesempatan untuk menjadi tuan rumah acara ini, dengan dua narasumber yakni Gus Ulil Abshar Abdalla dan Gus Abdul Ghofur Maimoen.

Tema yang diusung yakni Fikih Siyasah dan Kewarganegaraan.

Gus Ulil memulai materi dengan menjabarkan asal muasal penggunaan kata halaqoh dalam rangkaian acara ini.

Halaqoh dapat diartikan dengan meninjau permasalahan dari berbagai sudut pandang.

Alasan penggunaan halaqoh karena cakupan artinya lebih luas, memang forum ini bertujuan untuk memperkaya wawasan. Beda dengan bahtsu al-masa’il yang merupakan forum untuk merumuskan hukum.

Sebetulnya, nama halaqoh ini sudah lahir sejak era Gus Dur pada tahun 1989.

Dahulu halaqoh pertama kali diadakan di Krapyak, Jogjakarta dengan nama Halaqoh Kitab Kuning.

Visi daripada kegiatan ini adalah untuk mengkorelasikan antara substansi kitab kuning sebagai rujukan dan keadaan zaman yang ada. Karena seperti kita ketahui bahwa hukum suatu hal itu berubah sesuai dengan keadaan.

Atau kaidahnya dalam Ushul Fikih adalah al-hukmu yadhurru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, artinya hukum itu berubah sesuai dengan sebabnya.

Dari penjelasan Gus Ulil ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum itu tidak bersifat  statis.

Ini selaras dengan sifat Fikih yang dinamis mengikuti zaman dan keadaan. Hal tersebut berkaitan erat dengan hasil munas  di Lampung, yakni bermadzhab itu ada dua cara.

Pertama, bermadzhab secara qouli, yaitu bermadzhab dengan cara apa adanya yang tertulis di kitab. Jadi, apa yang tertulis di kitab, itulah yang diamalkan, berpegang teguh pada teks, alias tekstual.

Kedua, bermadzhab secara manhaji, yaitu mengikuti madzhab dari segi pola pikir, sebagai sebuah proses bukan produk jadi.

Misalnya, nanti ketika mengambil keputusan, tidak sama dengan kata-kata imam Syafi’i, namun secara metodologis dianggap sama dengan yang dimaksudkan imam Syafi’i.

Lalu Gus Ulil menjelaskan makna kata peradaban. Ulama yang mencetusan kata peradaban pertama kali adalah Ibnu Khaldun, ulama dari Andalusia.

Bahkan Ibnu Khaldun menuliskan sejarah besar peradaban yang mukadimahnya hingga 500 halaman, sehingga mukadimah ini diterbitkan menjadi satu kitab tersendiri berjudul Muqadimah Ibnu Khaldun.

Gus Ulil memaparkan bahwa peradaban berasal dari kara kata ‘adab’ yang memiliki banyak arti, salah satu artinya adalah makanan.

Ini dapat kita analisa bahwa peradaban itu terdiri dari golongan manusia, manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup.

Karena sudah menjadi kecenderungan manusia untuk beradab, maksudnya tinggal di tempat yang sama dalam kurun waktu yang relatif lama, tentu mereka butuh makanan untuk survive.

Dimensi peradaban yang paling penting adalah negara. Inilah yang kelak menjadi salah satu alasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusung tema Fikih Siyasah dan Kewarganegaraan, karena saat ini -atau bahkan sejak dahulu- ada golongan umat Islam yang ber-mindset bahwa sebuah negara yang sah secara agama itu harus berbentuk khilafah.

Pendeknya, ada yang memiliki pemikiran bahwa negara Indonesia ini tidak sah secara agama, karena negara Indonesia adalah negara nasional.

Uniknya orang yang pertama kali menggagas Negara Islam Indonesia bukan dari kalangan santri, tetapi salah satu warga asal Blora yang bernama Sekarmadji Maridjan Kartisuwirjo.

Padahal para ulama sejak berdirinya negara Indonesia, semua sepakat bahwa negara ini adalah negara yang sah secara agama.

Maka, tujuan Gus Yahya Cholil Staquf, ketua umum PBNU, nantinya di acara puncak Muktamar Fikih Peradaban yang akan dihadiri satu juta ulama dari seluruh dunia ini akan terlahir kesepakatan dari para ulama bahwa bentuk negara nasional itu sah secara agama.

Selain itu cita-cita besar PBNU dengan adanya halaqoh ini agar kita membaca kitab kuning untuk merumuskan hukum sesuai dengan perubahan zaman yang tentu akan berlangsung hingga kapanpun tanpa menghilangkan substansi kitab kuning itu sendiri. []

Shofia Ainun Nafis

http://Nafis

Sofia Ainun Nafis, seorang guru di Pesantren Khozinatul Ulum. Dapat disapa melalui media sosial Instagram: @shofia.an dan Facebook: Sofia Ainun Nafis.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *