Memahami Perkataan Imam Malik Tentang Istawa

 Memahami Perkataan Imam Malik Tentang Istawa

Memahami Perkataan Imam Malik Tentang Istawa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam Malik pernah marah besar ketika ada orang bertanya “Bagaimana istawanya Allah?”. Dahi beliau bahkan sampai berkeringat mendengar pertanyaan itu.

Kenapa kok bisa marah banget? Sebab pertanyaan itu timbul dari pikiran mujassim yang memberikan kaifiyah pada istawa.

Semua jenis kaifiyah istawa, seperti menetap, tinggal, diliputi, duduk, berdiam di atas Arasy atau makna apa pun adalah keyakinan mujassim ahli bid’ah.

Karena itulah Imam Malik menyuruh mengusir orang itu dan langsung memvonisnya sebagai ahli bid’ah.

Mirisnya, sekarang banyak halaqah yang menukil kisah Imam Malik itu tapi si ustadznya sendiri merupakan tipe ahli bid’ah mujassim yang diusir Imam Malik itu.

Dia menetapkan kaifiyah istawa seperti itu cuma mengaku tak tahu kaifiyah yang mana yang asli berlaku.

Kerjaannya malah mendoktrin jelamaahnya dengan keyakinan bahwa Allah punya berbagai anggota tubuh yang beda-beda, bertempat dan bergerak.

Hobinya ngetes orang bertanya tentang lokasi tempat tinggal Allah ada di mana.

Mereka itu merasa ikut imam Malik padahal justru menentang ajaran Imam Malik.

Kitab-kitab ulama Asya’irah sering sekali menukil kisah Imam Malik di atas dalam makna yang benar menyuruh orang tidak memberikan kaifiyah pada sifat Allah sebab semua jenis kaifiyah adalah ciri khas makhluk.

Andai saja sangkaan mujassim benar bahwa maksudnya Imam Malik adalah menetapkan kaifiyah tapi kita tidak tahu bagaimana kaifiyahnya, maka tak mungkin Imam Malik marah.

Pastinya beliau hanya menjawab “Saya tidak tahu kaifiyahnya”, beres tanpa perlu marah segala. Sama seperti saat kita ditanya seperti apa rasa susu surga, jawabannya cukup “gak tahu” tanpa perlu marah-marah apalagi memvonis bid’ah.

Perlu diketahui, Imam Malik adalah salah satu dari keempat Imam Mazhab yang sering menjawab “tidak tahu.”

Coba anda tanya kaifiyah istawa ke para ustadz Mujassim yang banyak bikin halaqah sekarang ini, apakah ada yang reaksinya langsung berkeringat dingin dan marah-marah?

Tak mungkin ada, paling senyum-senyum sambil jawab santai bahwa kita tidak tahu kaifiyahnya.

Paling banter hanya melarang bertanya, bukan melarang meyakini seperti itu. Berbeda jauh antara melarang bertanya dan melarang meyakini.

Yang menyebabkan seseorang menjadi ahli bid’ah adalah meyakini adanya kaifiyah bagi sifat Allah.

Kalau Imam Malik bertemu para Ustadz Mujassim itu, mungkin bukan cuma diusir tapi disuruh tahan. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *