Kondisi Mataram Islam Pasca Wafatnya Sultan Agung
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Tahun 1645 publik Mataram Islam berduka setelah pemimpin mereka Sultan Agung tutup usia. Ia wafat di usia 52 tahun. Kondisi ini membuat terpukul rakyat Mataram Islam. Sebab sejak dipimpin Sultan Agung, Mataram Islam benar-benar dalam kegemilangan.
Lantas bagaimana kondisi Mataram Islam pasca wafat atau sepeninggal Sultan Agung? Sejarawan Peter Carey menjelaskan bahwa sepeninggal Sultan Agung, sedikit demi sedikit wilayah Mataram di Pulau Jawa jatuh ke tangan Belanda. Hal itu bersamaan dengan pusat sumber kekayaan ekonominya.
“Misal kekuasaan Mataram di Jawa Barat, daerah pesisir utara Jawa, dan sejumlah daerah di Jawa Timur. (Daerah itu) merupakan daerah potensial, secara berangsur-angsur jatuh ke tangan VOC.” Demikian diungkap Peter Carey dalam bukunya “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa”.
Lepasnya daerah-daerah potensial sepeninggal Sultan Agung, lanjut Peter Carey, mengakibatkan pada akhir abad 18 dan awal abad 19 membuat wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi sempit. Hanya berpusat pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta serta beberapa daerah sekitarnya yang kurang potensial.
“Perjanjian Giyanti menjadi penanda akhir riwayat Mataram Islam. Setelah terbelah menjadi dua,” jelasnya.
Situasi semakin memburuk ketika pusat pemerintahan kerajaan terpecah belah lagi menjadi beberapa bagian. Yaitu Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman.
“Kesemuanya bukan kerajaan yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan penuh, melainkan pemerintahan “boneka” Belanda,” ungkapnya.