Kisah Seorang Sufi yang Penuh Kekayaan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada zaman dahulu, di Maroko ada seorang lelaki yang memilih untuk hidup sederhana, sebutlah namanya Zahid.
Lelaki yang berprofesi sebagai seorang nelayan dengan penghasilan yang tidak seberapa ini tinggal di sebuah desa kecil yang sangat miskin.
Tapi, sekecil apapun pendapatannya, ia selalu menyisihkannya untuk bersedekah.
Suatu hari, salah seorang lelaki penduduk desa tersebut yang akan pergi ke ibu kota untuk berbisnis.
Di desa sekecil itu, berita tersebut ter- masuk masih menjadi sebuah berita besar.
Ketika mendengarnya, Zahid segera mengunjungi lelaki itu untuk meminta bantuan.
“Saudaraku tinggal di ibu kota.” Kata Zahid. “Tolong sampaikan salamku dan mintalah ia untuk berdoa padaku karena ia adalah wali Allah.”
“Tentu, aku akan melakukannya untukmu,” kata lelaki itu.
Zahid kemudian memberi tahu nama sang wali. Lelaki tadi pun pergi ke ibu kota untuk menyelesaikan urusan bisnisnya.
Kemudian, ia mulai berkeliling kota untuk bertanya apakah ada yang mengenal nama yang diberikan oleh Zahid kepadanya.
“Apakah engkau mengenal Wali?” tanya lelaki itu kepada penduduk kota.
“Ya, ia rumahnya di sana.” Kata penduduk kota sambil menunjukkan rumah sang wali.
Lelaki itu diberi tahu bahwa Wali tersebut memiliki rumah besar dan ia pun diberi petunjuk jalan menuju rumahnya.
Ketika ia melihat rumah sang wali, ia sangat terkejut. Rumahnya sangat besar dan indah, kelihatan seperti milik anggota kerajaan.
Ia sedang mencari seorang wali, seseorang yang biasanya melepaskan semua kekayaannya, merasa cukup dengan hal yang sedikit dan mendedikasikan hidupnya untuk beribadah.
Lelaki tadi tidak yakin apakah itu rumahnya. Tapi, ia meyakinkan dirinya untuk bertanya pada penjaga rumah.
“Apakah benar ini rumah Wali?” tanyannya kepada penjaga rumah.
“Betul.” kata penjaga. “Tetapi beliau sedang mengunjungi Istana Sultan dan akan kembali sebentar lagi.”
Mendengar hal itu, lelaki tadi hampir yakin bahwa orang itu pasti bukan Wali yang ia cari.
Karena biasanya, seorang Wali biasanya akan menjauhi semua yang berhubungan dengan kekuasaan dunia, termasuk orang yang memiliki kekuasaan.
Tapi, ia memutuskan untuk menunggu sang pemilik rumah karena ia sudah datang jauh-jauh dari desa.
Ia ingin memastikan bahwa orang itu bukanlah orang yang ia cari. Kira-kira satu jam kemudian, pemilik rumah pun datang.
la memakai pakaian mahal, mengendarai kuda yang bagus, dan dikelilingi pelayan dan penjaga layaknya seorang raja.
Lelaki itu pun berpikir bahwa tidak mungkin orang tersebut seorang Wali. Ia hampir saja pulang tanpa berbicara dengan pemilik rumah itu, tapi mengurungkan niatnya karena ia pikir Zahid akan kecewa jika ia tidak menyampaikan pesannya.
“Saudaraku memang benar. Allah Ta’ala telah mengabulkan keinginan duniawi dari hatinya, tapi justru memberinya semua itu. Sedangkan aku, Allah memberiku sangat sedikit, tapi aku kadang masih memikirkannya.”
Kesejahteraan hidup jika hanya diukur dari materi, maka habislah umur kita untuk mengejar materi.
Kesejahteraan memang tidak bisa dipisahkan dari materi, tetapi juga tidak bisa mengabaikan ruhani.
Keduanya harus seimbang sejalan dan hanya bertujuan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. []