Kisah Ibnu Khafif, Seorang Ulama Tasawuf dari Kalangan Bangsawan

 Kisah Ibnu Khafif, Seorang Ulama Tasawuf dari Kalangan Bangsawan

Nisbat Wahabiyah kepada Abdul Wahhab bin Rustam

HIDAYATUNA.COM – Ibnu Khafif memiliki nama lengkap Abul Abdullah Muhammad bin Khafif bin Isfaksyad lahir di Syiraz tahun 270 H/882 M. Beliau adalah seorang tokoh suci di Persia dan berasal dari keluarga bangsawan. Setelah memperoleh pengetahuan yang luas, Ibnu Khafif berangkat ke Baghdad, di kota ini ia bertemu dengan al-Hallaj beserta tokoh-tokoh sufi lainnya.

Ibnu Khafif dari Farsi (Persia) berasal dari keluarga bangsawan. Ia dijuluki demikian karena beliau memikul beban yang ringan, memiliki jiwwa yang lapang, dan akan menghadapi masa perhitungan yang mudah. Setiap malam Ibnu Khafif memakan tidak lebih dari tujuh buah kismis sebagai pembuka puasanya.

Kisah Kezuhudan Ibnu Khafif

Diceritakan dari kitab Tadzkiratul Aulia, Ibnu Khafif pernah menceritakan sesuatu, yaitu:

Ketika masih muda, aku ingin sekali pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika aku sampai ke kota Baghdad, kepalaku penuh dengan kesombongan sehingga aku tidak mau menemui Junaid. Aku meneruskan perjalanan dengan membawa seutas tali dan sebuah timba.

Ketika telah berada jauh di tengah padang pasir, aku merasa sangat haus. Dari jauh terlihatlah olehku sebuah telaga dan seekor rusa yang sedang minum. Begitu aku sampai di tepi telaga itu, ternyata airnya telah habis terserap bumi. “Ya Allah,” seruku, “Apakah Abdullah lebih hina dari seekor rusa?”

“Rusa itu tidak membawa tali dan timba,” kudengar sebuah jawaban,” ia berpasrah diri kepada kami.” Dengan hati gembira tali dan timba itu kubuang, kemudian kulanjutkan perjalananku. “Abdullah,” kudengar sebuah panggilan, “Kami hanya mengujimu, ternyata engkau tabah, oleh karena itu kembalilah dan minumlah air telaga itu.”

Aku pun balik dan kudapati air telaga itu telah penuh kembali. Aku bersuci dan meminum air telaga itu. Setelah itu aku berangkat dan di sepanjang perjalanan ke Madinah, aku tidak pernah membutuhkan air karena telah bersuci di telaga tadi. Pada hari Jum’at ketika aku berada kembali di Baghdad, aku pergi ke masjid. Junaid melihatku dan berkata kepadaku,

“Seandainya dulu engkau benar-benar bersabar, niscaya air akan menyembur dari bawah kakimu.” Ketika aku masih remaja (Ibnu Khafif meriwayatkan), seorang guru sufi datang mengunjungiku. Setelah melihat betapa aku sangat lapar, ia mengajakku ke rumahnya. Ketika sampai, ternyata di dapur sedang dimasak daging dan baunya memenuhi seluruh ruangan.

Aku merasa mual dan tidak sanggup memakannya. Sang guru sufi yang melihat keenggananku itu menjadi sangat malu. Aku sendiri pun menjadi sangat bingung, lalu aku tinggalkan santapan itu. Kemudian aku dan beberapa orang sahabat melanjutkan perjalanan.

Di Qadisiyah kami tersesat, sedang bekal kami telah habis. Beberapa hari kami masih bisa bertahan, tetapi akhirnya tidak berdaya. Penderitaan kami sedemikian beratnya sehingga kami membeli seekor anjing dengan harga yang mahal. Kemudian kami memanggang anjing itu. Sebagai bagianku kuterimalah sekerat. Ketika aku hendak memakannya teringatlah aku peristiwa di rumah guru sufi dan makanan yang disuguhkannya kepadaku. “Inilah hukumanku karena telah membuat malu sang guru sufi.” Aku berkata dalam hati.

Aku memohon ampun kepada Allah, dan Allah menunjukkan jalan kepada kami. Ketika sampai di rumah aku pergi meminta maaf kepada si guru sufi. Pada suatu hari aku mendengar berita bahwa di negeri Mesir ada seorang tua dan seorang pemuda yang secara terus-menerus mengadakan meditasi.

Maka berangkatlah aku ke Mesir dan di negeri itu kutemukan dua orang yang dengan kepala tertunduk menghadap ke arah kota Mekkah. Tetapi setelah tiga kali kuucapkan salam, mereka tetap membungkam. “Demi Allah, jawablah salamku!” aku berseru kepada mereka.

“Ibnu Khafif,” si pemuda menyahut sambil mengangkat kepalanya, “Dunia ini kecil, dan dari dunia yang kecil ini hanya sedikit yang masih tersisa. Dari sisa yang sedikit ini ambillah bagianmu yang sebesar-besarnya. Engkau telah membuang banyak waktu dengan mengucapkan salam kepada kami.”

Setelah berkata demikian si pemuda menundukkan kepalanya kembali. Walaupun tadi aku merasa lapar dan haus, tetapi kini lapar dan haus itu tidak terasa lagi. Aku benar-benar kagum terhadap mereka. Aku tidak beranjak dari tempat itu. Shalat zhuhur dan ashar aku lakukan bersama mereka. Kemudian aku bermohon kepada mereka.

“Berilah aku sebuah petuah”. Kata Ibnu Khafif. “Wahai Ibnu Khafif, Kami berdua adalah manusia-manusia yang berduka. Kami tidak mempunyai lidah untuk memberikan nasehat. Orang lainlah yang harus memberikan nasehat kepada orang-orang yang berduka,” jawab si pemuda.

Aku terus bertahan di tempat itu selama tiga hari tiga malam dan selama itu pula aku tidak makan dan tidak tidur. “Apakah yang harus kukatakan agar mereka mau memberikan petuah kepadaku?” Aku berkata dalam hati.

Si Pemuda mengangkat kepalanya dan berkata, “Temuilah seseorang yang jika memandangnya engkau teringat kepada Allah, dan karena terpesona kepadanya hatimu akan terjaga, yaitu seorang yang akan memberi nasehat melalui perbuatan, bukan melalui kata-kata.”

Setahun lamanya aku tinggal di Bizantium. Pada suatu hari aku berjalan-jalan ke padang pasir. Di sana kulihat orang ramai sedang menggotong mayat seorang rahib yang kurus kering. Kemudian mereka membakarnya dan abunya mereka sapukan ke mata orang-orang yang buta.

Sungguh ajaib, karena kekuasaan Allah, orang-orang buta itu bisa melihat kembali. Kemudian orang-orang yang menderita penyakit, menelan abu itu pula dan seketika itu juga mereka menjadi sehat kembali. Aku terheran-heran, bagaimana itu mungkin terjadi karena mereka sesungguhnya menganut agama yang salah.

Pada malam itu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw.

“Ya Rasulullah, apakah yang sedang engkau lakukan?” Aku bertanya.

“Aku telah datang demi engkau,” jawab Nabi Muhammad.

“Ya Rasulullah, bagaimana keajaiban tadi bisa terjadi?” Aku bertanya.

“Itulah hasil kesungguhan hati dan disiplin diri di dalam kesesatan,” jawab Nabi, “Coba bayangkan, apabila hal itu dilakukan di dalam kebenaran.”

Demikian kisah Ibnu Khafif, Setidak-tidaknya telah enam kali beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan diriwayatkan pula bahwa ia pernah berkunjung ke Mesir dan Asia Kecil. Ibnu Khafif telah menulis beberapa buah buku dan meninggal dunia dalam usia lanjut di kota kelahirannya pada tahun 371 H/982 Μ.

 

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *