Kerangka Historis Distribusi Fikih Bermazhab Syafi’i
HIDAYATUNA.COM – Dalam beberapa tahun belakangan, wacana keislaman kita didominasi oleh ilmu pengetahuan yang berkiblat ke fikih. Sekian perkara dicari dalil lantas disimpulkan mana yang benar-halal dan salah-haram. Kendati dalam simpulan itu juga didasarkan pada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama terdahulu di kitab-kitab yang telah rampung dikarang sebagai pertimbangan.
Di negeri ini sendiri mayoritas umat Islam menganut fikih bermazhab Syafi’i. Kedatangan mazhab ini tercatat mulai merangsek masuk bebarengan dengan masuknya agama Islam di Nusantara.
Kita semuanya tahu bahwa kedatangan agama Islam di nusantara ini masih memicu polemik yang tak berkesudahan. Sekian cendekiawan baik muslim maupun non-muslim, berbondong-bondong memberi argumentasi dalam kerangka akademis dengan menerbitkan literatur ihwal sejarah Islam di nusantara.
Sekian bukti baik dari naskah, batu nisan makam, surat, maupun jejaring pengetahuan dikemukakan. Kendati demikian, literatur-literatur itu memberi benang merah pada produk fikih yang dikembang-suarakan pada masa itu yang pengaruhnya terasa sampai sekarang adalah fikih bermazhab Syafi’i.
***
Berdasar pada kajian yang dilakukan oleh Muhammad Ikhsan di artikelnya Sejarah Mazhab Fikih di Asia Tenggara (2018), mazhab Syafi’i ini pertama kali merangsek masuk pada masa Kerajaan Samudra Pasai yang kendali pemerintahannya ada pada Raja Merah Silu. Ia peroleh bimbingan dari ulama Makah, Syekh Ismail al-Siddiq, yang lantas berganti nama dari Raja Merah Silu menjadi Sultan Malik al-Salih.
Dalam beberapa tahun kemudian, Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat pendidikan di wilayah Asia Tenggara, khususnya umat Islam yang hendak belajar mendalami ihwal ilmu fikih bermazhab Syafi’i. Ibnu Batutah yang pernah singgah dan menulis catatan perjalanannya di Kerajaan Samudra Pasai pada kisaran tahun 1345 M, juga pernah bersua dengan dua ulama mashur bermazhab Syafi’i, Amir ibn Sa’id al-Syirazi dan Taj al-Din al-Isfahani.
Pasca Kerajaan Samudra Pasai yang mengalami surut, mazhab Syafi’i lantas diadaptasi oleh Kerajaan Malaka yang saat itu mulai mencuat kekuasaannya. Undang-undang yang digunakan oleh Kerajaan Malaka di wilayah kekuasaannya bersumber pada ajaran Islam dengan pengaruh kuat dari fikih mazhab Syafi’i.
Akan tetapi dominasi Kerajaan Malaka tidak bertahan terlalu lama karena diserang oleh Portugis, selain memang ada konflik di dalam tubuh kerajaan yang saling berebut pengaruh. Maka konsekuensinya, banyak penduduk dan pedagang dari Kerajaan Malaka yang beralih ke wilayah Aceh sampai memicu munculnya Kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh sendiri didirikan oleh Johan Syah pada 1205 M, dan baru peroleh masa kejayaan pada pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530). Mazhab Syafi’i ini lantas diadaptasi oleh Kerajaan Aceh ketika kekuasaannya mulai menguat, menggeser pengaruh yang dimiliki oleh Kerajaan Malaka. Kerajaan Aceh juga menjadi pusat kegiatan pendidikan Islam di masanya dengan keilmuan fikih yang cenderung bermazhab Syafi’i.
***
Beberapa ulama kenamaan yang menganut mazhab Syafi’i dan sekaligus pernah menduduki posisi sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh antara lain Nuruddin Ar-Raniri, dengan kitabnya al-Sirat al-Mustaqim yang ditulis pada 1634 M. Di kitab ini, ia menjelaskan mengenai rukun Islam sebagai landasan dasar bagi para muslim di masanya. Konon kitab ini juga tercatat sebagai kitab fikih pertama kali yang ditulis di wilayah Asia Tenggara dengan acuan mazhab Syafi’i.
Selain itu ada nama Abd al-Rauf Singkel yang menulis kitab Mir’at al-Tullab. Kitab ini diperkirakan dikarang pada 1672 M dengan uraian yang lebih lengkap dibandingkan kitab pendahulunya, Sirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniri. Di dalam kitab Mir’at al-Tullab juga memuat pembahasan mengenai muamalat, muakahat, dan juga jinayah.
Terakhir ada nama Jalal al-Din al-Tursani dengan kitabnya Safinah al-Hukkam yang digurat pada 1760 M. Kitab ini memang sengaja ditulis oleh al-Tursani guna sebagai panduan bagi para hakim di masa itu. Di sisi lain, kitab ini juga memuat tentang urusan pemerintahan dan tata negara sebagai acuan dalam menjalankan roda kekuasaan.
Dari kerajaan-kerajaan dengan sekian ulama dan karyanya inilah, fikih mazhab Syafi’i bisa diterima lantas diedar-luaskan ke seluruh umat Islam di wilayah Asia Tenggara, khususnya di negeri ini. Selain memang pengaruh dan peran para ulama nusantara yang mukim di tanah Makkah juga tidak bisa dinegasikan.
Wallahul’alam.