Ilmu yang Tidak Lengkap
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kemudahan menyampaikan ilmu dalam bentuk design grafis, flyer, dan sebagainya tentu perlu disyukuri.
Apalagi saat ini tak banyak orang yang betah membaca tulisan yang panjang-panjang.
Yang sedikit dan ringkas lebih menarik meski informasi yang tersampaikan sering tidak utuh.
Lebih parah lagi kalau pesan singkat itu bukan hanya tidak utuh tapi cenderung menyesatkan. Hal ini tampak dalam sebuah design grafis berikut ini.
Pembuat design grafis menyebut bahwa hadits:
الصلاة عماد الدين من أقامها فقد أقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
Artinya:
“Shalat itu tiang agama. Siapa yang mendirikannya berarti mendirikan agama. Siapa yang merobohkannya berarti merobohkan agama.”
Sebagai tidak ada asal, dan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits.
Sang pembuat merujuk pada kitab an Nafilah fi Ahadits adh Dha’ifah karya Syekh Abu Ishaq al Huwaini.
Padahal ungkapan Syekh Abu Ishaq sendiri tidaklah demikian. Ia mengatakan:
لم أقف عليه بهذا التمام
Artinya: “Saya tidak menemukan dengan redaksi lengkap ini.”
Ungkapan ini lebih menunjukkan kerendahan hati daripada yang ditulis oleh pembuat desain. Karena “tidak menemukan” bukan berarti tidak ada.
Syekh Abu Ishaq bahkan mengatakan bahwa bagian awal hadits ada di beberapa riwayat yang bisa diterima.
Yang dikhawatirkan dari cara penyampaian ilmu secara singkat seperti ini adalah:
Pertama, pendapat utuh dari sumber tidak tersampaikan.
Kedua, sebagian orang menganggap bahwa kalau sebuah hadits tidak ada asal maka buang saja, tak perlu dihiraukan.
Mereka tidak bisa membedakan antara hukum sebuah hadits dan makna hadits yang tetap bisa diamalkan.
Mereka belum familiar dengan ungkapan para ulama:
الحديث موضوع لكن معناه صحيح
Artinya: “Haditsnya palsu tapi maknanya benar.”
Yang dilarang itu adalah menisbahkan sebuah hadits yang palsu kepada Rasulullah SAW. Adapun mengambil makna dan mengamalkan substabsinya, ini pembahasan lain.
Kalau ada seorang penceramah mengatakan,
“Shalat itu tiang agama, siapa yang mendirikan shalat berarti mendirikan agama, dan siapa yang meninggalkan shalat berarti meninggalkan agama,” maka ucapannya ini benar.
Ia baru bisa dikatakan salah kalau mengatakan, “Ini adalah hadits Rasulullah Saw.” (Meski hal ini masih bisa diperdebatkan karena bagian awal haditsnya shahih atau hasan, dan beberapa ulama hadits ada yang mengatakan hadits ini memiliki asal).
Ketiga, ilmu yang setengah-setengah lebih berbahaya dari kebodohan.
Karena itu jangan pernah mengambil ilmu dari pesan-pesan singkat. Ilmu tidak mengenal istilah instan.
(Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswi saya yang sekarang sudah menjadi guru di daerahnya). []