Ilmu vs Karomah, Mana yang Harus Dipilih?

 Ilmu vs Karomah, Mana yang Harus Dipilih?

Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini: Salah Satu Ulama Terkemuka Madzhab Asy’ariyah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sosok para ulama di masa kita umumnya terpolarisasi antara mereka yang menawarkan keilmuan, dan antara mereka yang banyak bicara tentang karamah.

Namun yang merakyat nampaknya bukan yang ke arah keilmuan, tetapi justru yang banyak bicara tentang karamah.

Yang paling favorit dari karamah di tengah masyarakat awam biasanya terkait kesembuhan penyakit, atau bagaimana agar dimurahkan rejekinya.

Kadang juga biar gampang punya keturunan atau agar dimudahkan jodohnya.

Selain yang juga sering kita temukan adalah karamah biar mudah dapat pekerjaan, naik gaji, naik jabatan, atau biar bisa menang dalam pemilihan.

Pokoknya begitu banyak kebutuhan real di tengah masyarakat, dimana tokoh-tokoh ulama karamah banyak diharap bisa jadi jawaban.

Masalah diterima Allah semua harapan itu atau tidak, namanya juga ikhtiar. Begitu mereka bilang.

Sebaliknya, ulama yang lebih konsen kepada masalah keilmuan bukan tidak ada peminatnya. Tapi jumlahnya memang terbatas.

Masyarakat kita nampaknya lebih mudah memahami karamah ketimbang memperluas ilmu agama.

Atau boleh jadi memang karena ilmu-ilmu agama yang ditawarkan dianggap kurang memberi solusi atas beban kehidupan mereka.

Setidaknya antara ilmu dan kenyataan hidup seperti terpisah tembok tebal.

Ilmu agama ada di gunung sementara kehidupan nyata ada di laut. Mereka tidak pernah bertemu di Periuk.

Kemungkinan yang lain, bisa juga karena tehnik penyajian ilmu agama itu masih serba terbatas, cenderung tradisional, dan seringnya sulit dipahami dengan mudah.

Dalam beberapa kasus malah memang harus diadaptasi ulang dengan realitas kekinian.

Contoh sederhana dalam terkait perdagangan, muamalat, pemerintahan, bahkan juga perbudakan.

Kitab-kitab fiqih klasik belum mencantumkan jawaban yang dibutuhkan dengan realitas kekinian. Seringkali malah tidak bisa dijalankan.

Misalnya dari 8 asnaf zakat, kita bingung kalau semua harus diberikan. Untuk mustahik dari kalangan para budak misnya.

Apakah mau kita coret saja atau mau diqiyas sesuai fakta kekinian? Terus terang kitab fiqih klasik sama sekali belum bicara tentang itu.

Maka para ulama ahli ilmu masih punya banyak peer besar terkait hal ini.

Dan yang paling menjadi masalah bahwa belajar ilmu agama sampai pada level tertentu memang tidak mudah.

Selain harus menguasai banyak cabang ilmu, perlu waktu lama untuk bisa menguasainya.

Pendeknya lebih mudah dan lebih simpel belajar jadi ulama karamah. Lebih cepat menghasilkan pula. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *