Ibnu Taymiyah [Bukan] Seorang Mujassim?

 Ibnu Taymiyah [Bukan] Seorang Mujassim?

Mendudukkan Istilah Jauhar, Jisim dan Aradl (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak yang tidak terima ketika saya bilang bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah seorang mujassim.

Saya memaklumi itu sebab dulu saya juga meyakini beliau bukan mujassim.

Seiring waktu Allah memudahkan saya untuk mempelajari langsung karya-karya beliau sendiri dan memahami puzzle yang berserakan dalam redaksi yang beliau pilih.

Akhirnya demi kejujuran ilmiah saya harus tegas mengatakan bahwa beliau seorang mujassim.

Sayang sekali dan sungguh saya berharap kesimpulan saya salah, tapi bagaimana lagi ketika data bicara sebaliknya.

Dalam bahasan akademik, data itu dibagi menjadi dua, yakni: data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data utama yang menjadi sumber pertama sebuah kajian, dalam hal ini adalah buku-buku karya tulis Syaikh Ibnu Taymiyah sendiri.

Data sekunder adalah data hasil pembacaan orang lain terhadap tema yang dikaji, dalam hal ini adalah komentar para tokoh tentang Ibnu Taymiyah.

Dalam dunia akademik, data sekunder itu levelnya rendah dan tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk dijadikan dalil sebab ia tak lebih dari sekedar taklid. Saya membahas Ibnu Taymiyah berdasar data primer. Itulah level saya.

Sedangkan yang keberatan hingga detik ini hanya mampu memakai data sekunder dengan menukil Syaikh fulan dan fulan.

Ada yang membuat artikel untuk menetapkan bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah bukan mujassim.

Dengan cara menukil tujuh atau delapan tokoh ulama yang menyatakan bahwa beliau bukan mujassim.

Dzat Allah Punya Bagian yang Berbeda-beda

Kalau mau, saya mampu menukil belasan atau bahkan puluhan nama yang mengatakan bahwa beliau bukan mujassim.

Seperti halnya saya juga bisa menukil beberapa tokoh yang menyatakan bahwa beliau terpapar tajsim

Tapi nukilan semacam itu semua hanyalah data sekunder, derajatnya rendah secara ilmiah.

Ketika tokoh A bilang dia tidak berakidah tajsim lalu tokoh B bilang ucapannya jelas tajsim, lalu siapa yang mau kita benarkan?

Percuma menukil ucapan orang lain yang saling bertentangan sebab itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Hal yang dapat dilakukan hanyalah merujuk pada data primer yang ada di hadapan kita lalu kita nilai sendiri. Dalam kaidah disebutkan bahwa orang yang tahu didahulukan dari yang tidak tahu.

Bila semua nama dibuang dan kita diminta menilai secara objektif terhadap orang yang bilang bahwa Dzat Allah punya bagian-bagian yang berbeda. Ada bagian sebelah sini dan ada yang sebelah sana, ada bobotnya sehingga terasa berat, bisa disentuh sebagiannya.

Bisa terlihat sebagiannya serta menyatakan tajsim tidak tercela. Bahkan mengarang buku khusus yang berisi bantahan terhadap ulama yang menyucikan Allah dari sifat jismiyah. Maka mau kita sebut apa orang ini?

Sebagian data yang saya maksud sudah saya tulis di buku saya yang berjudul “Kerancuan akidah Wahabi.” []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *