Hukum Transplantasi Dari Pendonor Mati

 Hukum Transplantasi Dari Pendonor Mati

MUI (Majelis Ulama Indonesia) mensyaratkan adanya pendapat ahli tekhnologi kesehatan sekarang ini sudah amat canggih. Penemuan-penemuan para ilmuwan seputar dunia medis memungkinkan para dokter melakukan sesuatu yang dahulu tidak mungkin dilakukan. Transplantasi organ salah satunya. Pemindahan organ dana tau jaringan dari pendonor mati kepada pasien/resipien sudah jamak dilakukan.

Presiden ke-3 RI Bachruddin Jusuf (BJ) Habibie bahkan pernah mendaftar menjadi donor pada Bank Mata Indonesia. Jika dinilai layak, kornea almarhum Habibie akan didonorkan bagi orang yang membutuhkan. Tidak hanya Habibie, istrinya Ainun Habibie yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia pada 22 Mei 2010 terlebih dahulu mendaftarkan diri sebagai donor di Bank Mata. Namun kondisi Ainun yang terkena kanker membuat kornea matanya tak bisa ditransplantasi.

Kebutuhan donor mata di Indonesia memang hingga kini masih lebih banyak dipenuhi dari negara luar, seperti Filipina dan Srilanka. Donor mata di Indonesia masih terbatas, yakni hanya sekitar 20 kornea dalam tiga tahun. Salah satu alasan orang ragu untuk mentrasplantasikan mata atau organ tubuh lainnya adalah karena masih ragu mengenai terpenuhinya unsur Syar’i kegiatan transplantasi. Untuk itu Kementerian Kesehatan yang menampung pertanyaan dari para dokter dan pasien mengajukan permohonan fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada Juni 2019, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa MUI No. 12/2019 tentang transplantasi Organ dana tau Jaringan Tubuh Pendonor Mati untuk orang lain. Komisi Fatwa MUI melandaskan fatwa ini dengan beberapa dalil ayat Al-Qur’an terkait penciptaan seperti dalam surah at-Tiin ayat 4 dan surah Yunus ayat 66.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin: 4)

أَلَا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ ۗ وَمَا يَتَّبِعُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ شُرَكَاءَ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.” (QS. Yunus : 66)

Beberapa kaidah fiqih yang menjadi pertimbangan MUI menetapkan fatwa ini. Kaidah fiqih yakni kemudharatan harus dihilangkan, kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan, dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan yang dilarang, kemudharatan dieliminir sebatas hilangnya kemudharatan tersebut, kesulitan membawa kemudahan, tidak boleh menasharufkan hak orang lain tanpa seizinnya hingga membunuh masunia atau memotong organ tubuhnya tidak diperbolehkan kecuali ada kemaslahatan.

Beberapa pendapat ulama ikut mempertajam pendapat MUI. Salah satunya berasal dari Muhammad as Syaukani dalam kitab Fathul Qadir menjelaskan seorang perempuan hamil meninggal dimungkinkan di perutnya ada janin, dan diyakini janin masih hidup maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah.

MUI juga mengungkapkan transplantasi organ yang meninggal kepada manusia hidup diperbolehkan dengan ketentuan adanya kebutuhan mendesak yang dibenarkan secara syar’i. (*)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *