Hukum Mengumandangkan Adzan Selain Waktu Shalat

 Hukum Mengumandangkan Adzan Selain Waktu Shalat

HIDAYATUNA.COM – Sebagai umat Islam di Indonesia tidaklah asing mendengar kumandang adzan saat memasuki waktu-waktu shalat. Bahkan sudah menjadi suatu hal lumrah bila adzan dilakukan dengan pengeras suara. Namun, bagaimana jika adzan dilakukan di luar waktu shalat? 

Sebelum membahas lebih jauh secara substantif adzan merupakan penanda masuknya waktu shalat sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

وَإِذَاحَضَرَتِالصَّلاَةُفَلْيُؤَذِّنْلَكُمْأَحَدُكُمْ

Artinya: “Jika waktu salat telah tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian adzan untuk yang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengenai adzan diluar waktu shalat Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al Adzkar menjelaskan demikian: 

ولايصحالأذانإلابعددخولوقتالصلاةإلاالصبحفإنهيجوزالأذانلهاقبلدخولالوقتواختلففىالوقتالذييجوزفيهوالأصحأنهيجوزبعدنصفاليلوقيل: عدالسحرووقيل: فىجميعالليل, وليسبشيء, وقيل: بعدثلثيالأول, والمختارالأول

Artinya: “Dan tidak sah mengumandangkan adzan kecuali setelah memasuki waktu shalat kecuali pada waktu shalat subuh. Sesungguhnya mengumandangkan adzan sebelum memasuki waktu shalat subuh itu boleh sebagai persiapan memasuki waktu shalat subuh. Akan tetapi, waktu diperbolehkannya menurut para ulama berbeda-beda, dan yang paling benar adalah setelah sepersetengah malam. Pendapat lain mengatakan: ketika waktu sahur atau beberapa saat sebelum memasuki waktu shalat subuh, dan ada yang berpendapat : sepanjang malam atau setelah waktu shalat isya. Dan pendapat terakhir: setelah sepertiga malam. Dan pendapat yang terpilh dan mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama.”

Pendapat di atas melarang untuk mengumandangkan adzan selain waktu shalat. Namun ada pengecualian dalam keadaan dan waktu tertentu adzan diperbolehkan, bahkan hukumnya sunnah sebagimana disebutkan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj yang merupakan kitab syarah dari al-Minhaj yang merupakan karangan dari Imam an-Nawawi.

قَدْيُسَنُّالْأَذَانُلِغَيْرِالصَّلَاةِكَمَافِيآذَانِالْمَوْلُودِ،وَالْمَهْمُومِ،وَالْمَصْرُوعِ،وَالْغَضْبَانِوَمَنْسَاءَخُلُقُهُمِنْإنْسَانٍ،أَوْبَهِيمَةٍوَعِنْدَمُزْدَحَمِالْجَيْشِوَعِنْدَالْحَرِيقِقِيلَوَعِنْدَإنْزَالِالْمَيِّتِلِقَبْرِهِقِيَاسًاعَلَىأَوَّلِخُرُوجِهِلِلدُّنْيَالَكِنْرَدَدْتهفِيشَرْحِالْعُبَابِوَعِنْدَتَغَوُّلِالْغِيلَانِأَيْتَمَرُّدِالْجِنِّلِخَبَرٍصَحِيحٍفِيهِ،وَهُوَ،وَالْإِقَامَةُخَلْفَالْمُسَافِرِ

Artinya: “Disunnahkan adzan selain shalat, yaitu saat adzan untuk bayi yang baru lahir, orang yang sedang bersedih hati, orang yang menderita penyakit epilepsi, orang yang sedang marah, orang atau binatang yang memiliki perangai buruk, saat perang sedang berkecamuk, saat kebakaran, dan dikatakan juga menurunkan mayat pada liang kubur dengan mengqiyaskan saat awal terlahirnya ke dunia, namun aku (an-Nawawi) menentang kesunnahannya dalam syarh al-‘Ubaab, saat terdapat gangguan jin berdasarkan hadis yang shahih di dalamnya, juga Adzan dan iqamah dalam penyambutan musafir”.

Menilik pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimplan bahwa pada dasarnya adzan merupakan penanda waktu shalat dan dilarang dikumandangkan dilain waktu shalat. Tetapi ada waktu dan keadaan tertentu yang disunnahkan adzan selain waktu shalat yaitu adzan untuk bayi baru lahir, untuk orang yang sedih hati, untuk penderita epilepsi, orang marah, saat terjadi perang dan lain sebagainya. 

Sumber: 

Ibnu Ḥajar Al-Haitamī, Tuḥfatul Muḥtāj bi Syarḥil Minḥāj, [Beirut, Darul Kutub: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 330

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *