Bolehkah Memperingati Hari Kemerdekaan?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Alhamdulillah di tahun ke-3 setelah peresmian Pondok Raudlatul Ulum Suramadu kami bisa menggelar upacara 17 Agustus, seperti Pondok Pondok yang lain.
Apakah boleh menjadikan hari tertentu sebagai hari peringatan? Boleh. Berdasarkan hadis berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi tiba di Madinah, orang Y4hudi puasa di hari Asyura.
Setelah ditanya, mereka jawab: “Asyura adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan tenggelamkan Firaun. Maka Musa puasa, syukur kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas Al-Hafidz Ibnu Hajar mengambil istimbath hukum:
فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة
Artinya:
“Faidah ilmu dari hadis ini adalah melakukan syukur kepada Allah atas nikmat di hari tertentu atau diselamatkan dari musibah,
Dan boleh diulang di hari yang sama di setiap tahun. Syukur bisa dengan macam ibadah, seperti sujud (syukur), puasa mutlak, sedekah dan baca Quran.” (Al-Hawi lil Fatawi, 1/282)
Nah, 17 Agustus adalah hari bersejarah atas nikmat merdeka. Maka boleh dirayakan sebagai bentuk nikmat syukur kepada Allah.
Adakah tuntunan soal upacara?
Poin utama adalah perayaan ada 2, yakni tujuan sesuai dengan agama dan cara melakukannya tidak melanggar aturan agama, seperti disampaikan ulama Mesir:
الْخُلاَصَةُ أَنَّ اْلاِحْتِفَالَ بِأَيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لاَ بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ الْغَرَضُ مَشْرُوْعًا وَاْلأُسْلُوْبُ فِى حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَلاَ ضَيْرَ فِى تَسْمِيَّةِ اْلاِحْتِفَالاَتِ بِالأَعْيَادِ ، فَالْعِبْرَةُ بِالْمُسَمَّيَاتِ لاَ بِاْلأَسْمَاءِ
Artinya:
“Kesimpulannya bahwa peringatan apapun dengan momentum-momentun yang baik hukumnya boleh, selama tujuannya sesuai Syariat dan pelaksanaannya berada dalam koridor agama.
Tidak ada masalah dengan penamaan peringatan tersebut dengan perayaan, sebab tinjauannya adalah pada subtansi kegiatan, bukan pada nama.” (Fatawa al-Azhar 10/160)
Bagaimana dengan hormat bendera, apa tidak syirik? Boleh saja, sebab ini bukan ritual ibadah:
فَتَحِيَّةُ الْعَلَمِ بِالنَّشِيْدِ أَوِ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ فِى وَضْعِ مُعَيَّنٍ إِشْعَارٌ بِالْوَلَاءِ لِلْوَطَنِ وَالاْلِتْفِاَفِ حَوْلَ قِيَادَتِهِ وَالْحِرْصِ عَلَى حِمَايَتِهِ ، وَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ فِى مَفْهُوْمِ الْعِبَادَةِ لَهُ ، فَلَيْسَ فِيْهَا صَلَاةٌ وَلَا ذِكْرٌ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّهَا بِدْعَةٌ أوَ تَقَرُّبٌ إِلَى غَيْرِ اللهِ
Artinya:
“Dengan demikian, meng-hormat bendera dengan lagu (kebangsaan) atau pun dengan isyarat tangan yang diletakkan di anggota tubuh tertentu (misalnya kepada) adalah bentuk cinta negara,
Bersatu dalam ke-pemimpinan-nya dan komitmen menjaganya. Hal ini tidaklah masuk dalam kategori ibadah, karena di dalamnya tidak ada salat dan dzikir, sehingga dikatakan:
“Ini bid’ah adatu mendekatkan diri kepada selain Allah.” (Fatawa al-Azhar, 10/221. Mufti Syaikh Athiyah Shaqr). []