Rahasia Tanggal Kemerdekaan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada 16 Agustus 1945, terjadi sebuah peristiwa menegangkan. Sebuah peristiwa di mana terjadi sebuah penculikan terhadap dua tokoh penting Indonesia yakni Soekarno dan Hatta.
Dalam berbagai literatur sejarah kemerdekaan, peristiwa penculikan ini dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di mana tiga pemuda bernama Soekarni, Chaerul Saleh dan Wikana menjadi dalang dari penculikan ini.
Tujuan penculikan ini tidak lain sebagai upaya menjauhkan Soekarno dan Hatta dari pengaruh-pengaruh Jepang yang mengalami hambatan dan pukulan hebat kala itu.
Mereka, para penculik, mendesak Soekarno-Hatta untuk segera membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada keesokan harinya yakni 17 Agustus 1945.
Tidak ada alasan mendasar dari ketiga anak muda ini mengenai keinginan untuk segera memerdekakan Indonesia tepat tanggal 17 waktu itu.
Melihat sejarah ini, kita hanya bisa berspekulasi untuk menjawab alasan dasar ketiga anak muda itu mendesak Soekarno-Hatta membacakan teks proklamasi tepat tanggal 17.
Meskipun ini hanya sebatas spekulasi, tetapi patut kita renungkan dan pertimbangkan bersama. Di satu sisi, mungkin ada yang menjawab hanya kebetulan saja di tanggal 17.
Di sisi lain, ada juga yang menjawab memang telah dipersiapkan secara matang. Tetapi alangkah baiknya kita lupakan soal kebetulan tadi.
Angka 17: Angka Keramat?
Sedikit yang tahu tentang seluk-beluk dari angka 17, bahwa angka ini adalah angka yang keramat. Almaghfurlah KH. Maimoen Zubair pernah berdawuh, bahwa angka 17 ini memang merupakan angka yang keramat. Sebab di balik angka ini, ada rahasia penting dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman dahulu.
Almaghfurlah KH. Maimoen Zubair pernah dawuh,
“17 Agustus, itu angka yang keramat. Sebab, Nabi Muhammad sendiri tidak bisa membuang angka 17. Nuzulul Quran tanggal berapa? 17 Ramadhan, tetapi bertepatan Agustus tanggal 8.
Jadi, kalau bangsa Indonesia dibalik 17 Agustus/8 Ramadhan itu (bertepatan) proklamasi, Nabi diangkat menjadi Rasul (bertepatan) 17 Ramadhan/8 Agustus,” (Instagram resmi PP Al-Anwar Sarang Rembang @ppalanwarsarang).
Dalam masyarakat Jawa kuno juga, angka yang memiliki elemen fonetis ‘tu’ memang begitu sakral. Sama halnya seperti kata ‘Tuhan’. Dan itu hanya terdapat pada dua angka; satu dan tujuh.
Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo (2012) menyebut masyarakat Jawa kuno memang memiliki sistem keyakinan (agama) yang memuat konsep teologis yang ritmis.
Agama ini disebut agama Kapitayan. Bahkan term Tuhan menurut Agus Sunyoto berasal dari agama ini.
Bahkan sampai dewasa ini, angka 7 masih eksis menghiasi kehidupan masyarakat dari berbagai sisi. Untuk orang hamil, ada semacam upacara Peret Kandung (istilah di Madura) ketika mencapai usia tujuh bulanan usia kehamilan. Untuk orang meninggal, dilaksanakan berbagai kegiatan (seperti tahlil) sampai hari ketujuh.
Entahlah, apakah di balik kemerdekaan 17 Agustus 1945 dahulu kala memang telah dipersiapkan ataukah memang hanya sebatas kebetulan.
Walhasil, angka 17 mengandung unsur sakral, dan menyimpan kekuatan magis. Dan yang paling terpenting, kemerdekaan Indonesia adalah anugerah terbesar dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. Wallahu a’lam bisshowab.