Hukum Merayakan Hari Kemerdekaan

 Hukum Merayakan Hari Kemerdekaan

Membincang Kemerdekaan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Memang tidak ditemukan dalil, baik dari Al-Qur’an, hadis bahkan dawuh ulama yang secara tersurat membahas tentang kebolehan atau pelarangan perayaan dan peringatan hari merdeka.

Namun jika melihat esensi dan spirit (maqashid) dari perayaan hari merdeka yaitu ekspresi kebahagian dan rasa syukur mendalam atas anugerah yang diberikan Allah karena telah diselamatkan dari belenggo kolonial, maka tradisi seperti ini sangat baik bahkan dianjurkan.

Spirit ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Yunus ayat 58:

قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡيَفۡرَحُواْ هُوَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٥٨

Artinya:

“Katakanlah, dengan kurunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Yunus ayat 58)

Apalagi dalam perayaan-perayaan tersebut, biasanya diisi dengan doa-doa yang secara khusus dihadiahkan kepada para pahlawan kemerdakaan karena jasa mereka dalam memerdekakan Indonesia.

Mendoakan para pahlawan tentu merupakan sikap dan perilaku baik. Bahkan telah dicontohkan Nabi Muhammad saw semasa hidupnya.

Cara Nabi Muhammad Mengenap Jasa Para Pahlawan

Semasa hidup, Nabi Muhammad hampir setiap tahun ziarah ke makam para pahlawan Perang Uhud, dalam rangka mengenang jasa mereka dan memanjatkan doa untuk mereka.

Kebiasaan Nabi Muhammad ini diikuti oleh para sahabatnya pasca beliau wafat. Bahkan Abu Bakar dan Umar selalu mengingatkan Nabi Muhammad ketika sedang dalam perjalanan dan ketika sudah mendekati Uhud.

Nabi Muhammad pernah bersabda tentang para pahlawan Perang Uhud,

“Mereka yang dimakamkan di gunung Uhud ruhnya berada dalam paruh burung hijau di surga. Mereka akan menikmati makanan surga dan tak akan pernah kehabisan makanan.”

Lalu mereka bertanya, “Siapa yang akan menceritakan keadaan kami di surga?”

Allah Swt. menjawab bahwa Dialah yang akan memberitahu kabar mereka, lalu turun ayat:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ

Artinya:

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imran ayat 169)

Jasa mereka dalam memperjuangkan negara ini dari penjajahan patut kita apresiasi dan kita kenang. Paling tidak itulah amal kebaikan mereka selama di dunia.

Cara kita mengenang jasa mereka adalah mendoakan mereka sebagaimana doa Nabi Muhammad kepada para pahlawan Uhud.

Kemerdekaan Indonesia adalah Rahmat dan Anugerah Terindah

Kembali kepada hukum merayakan hari kemerdekaan. Secara filosofis (hikmah al-tasyri’), memperingati dan merayakan hari kemerdekaan adalah salah satu bentuk mensyukuri nikmat Allah.

Sebagai manusia dan warga negara yang baik serta berhati nurani, sudah sepantasnya kita menjaga amanah ini dengan sebaik-baiknya.

Harapannya, Allah akan menambah kebaikan-kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan lain kepada warga negara Indonesia secara umum, dan Indonesia secara khusus.

Dalam kaidah Ushul al-Fiqh terdapat terminologi istilshlah atau al-maslahah al-mursalah, sebuah metodologi alternatif dalam menyelesaikan problem-problem kontemporer yang secara eksplisit tidak disebut dalam Alqur’an maupun hadis.

Karena memperingati dan merayakan hari kemerdekaan tidak disinggung hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadis, maka peringatan dan perayaan hari kemerdekaan hukumnya adalah jawaz (boleh).

Dawuh Ulama Tentang Hukum Merayakan Hari Kemerdekaan

Imam Qamuli dawuh:

لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيْدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ. لَكِنْ نَقَلَ اَلْحَافِظُ اَلْمُنْذِرِي عَنِ الْحَافِظْ اَلْمَقْدِسِي أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مُخْتَلِفِيْنَ فِيْهِ. وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاَ سُنَّةَ فِيْهِ وَلاَ بِدْعَةَ

Saya tidak melihat ada pendapat dari Ashab kita (ulama’ mazhab Syafi’i) yang mendiskusikan hukum ucapan selamat hari raya, tahun-tahun dan bulan-bulan (tertentu) sebagaimana yang telah menjadi tradisi di masyarakat.

Hanya saja imam al-Hafizh al-Munzhiri mengutip pendapat dari al-Hafizh al-Maqdisi bahwa beliau (al-Maqdisi) memberikan komentar tentang tradisi-tradisi tersebut. Menurutnya, ulama masih memperdebatkan mengenai hukumnya.

Namun menurutku (Qamuli), hukum mengucapkan (termasuk merayakan.pen) hari raya dan (hari-hari penting) pada tahun-tahun dan bulan-bulan tertentu hukumnya boleh, bukan sunnah juga bagian bagian dari bid’ah. (Al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hlm. 316)

Bahkan Imam Ibnu Hajar setelah menelaah dan mempertimbangkan kemaslahatan, baik dari sisi agama maupun sosial, menyatakan bahwa tradisi yang demikian sangat dianjurkan.

Ia berhujjah dengan apa yang dilakukan oleh Imam Al-Baihaqi yang secara khusus membuat pembahasan (bab) di dalam kitabnya tentang ucapan hari raya seseorang kepada sesamanya “taqabbala Allahu minn waminka”.

Kata al-a’wam dan al-asyhur mestinya tidak menunjuk tahun atau bulan tertentu. Tetapi juga menunjuk peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di tahun-tahun atau bulan-bulan di sepanjang tahun. Termasuk di dalamnya adalah hari merdekanya bangsa Indonesia dari jajahan para kolonial.

Walhasil, peringatan dan perayaan HUT RI dalam berbagai bentuknya hukumnya adalah boleh. Apalagi diisi dengan bacaan-bacaan doa, istighasah dan upacara kemerdekaan dalam rangka mengenang jasa para pahlawan.

Memperingati dan merayakan HUT RI juga merupakan ekspresi kegembiraan serta kebahagiaan yang tiada tara atas masyarakat Indonesia atas anugerah terindah yang Allah berikan untuk negara kita tercinta ini.

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *