Belajar dari Umar bin Khattab tentang Relasi Suami Istri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa waktu belakangan ini, media sosial dipenuhi informasi kurang menarik sekitar hubungan keluarga.
Hal ini berawal dari beberapa kasus perselingkuhan sejumlah publik figur yang selama ini menjadi idaman publik dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Kasus yang membuat publik geram adalah kisah Lesti Kejora yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya, Rizky Billar.
Melihat kasus yang cukup menyesakkan dada, di beberapa media sosial, banyak sekali konten-konten yang cukup membuat anak-anak muda terdistraksi dengan pilihan untuk tidak menikah karena alasan takut terjadi perselingkuhan ataupun kekerasan dalam rumah tangga.
Melihat fenomena ini, bagaimana sebenarnya hubungan suami istri dalam Islam?
Perlu kiranya kita belajar dari salah satu sosok sahabat Rasulullah yang dikenal keras dan cukup ditakuti oleh masyarakat Arab.
Berdasarkan sosok yang tegas itu, bagaimana relasi Umar bersama istrinya?
Umar bin Khattab mendapatkan julukan Al-Faruq yang artinya orang yang dapat membedakan kebenaran dari kebatilan dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan tersebut.
Tidak hanya itu, ia juga dijuluki sebagai ‘Singa Padang Pasir’ karena sikap tegas dan keras itu ditampilkan dalam medan jihad.
Lalu bagaimana Umar memperlakukan istrinya?
Pernah suatu ketika, ada sahabat yang mengunjungi Umar ke rumahnya. Sahabat tersebut ingin meminta nasihat tentang istrinya yang marah-marah dan membentak dirinya.
Baru sampai di pintu rumah, sahabat mendengar bahwa Umar dimarahi dan dibentak istrinya.
Mendengar hal itu, sahabat itu mengurungkan niatnya untuk meminta saran. Ia kemudian bergegas untuk pulang, akan tetapi, Umar lebih dahulu mengetahui keberadaan sahabat tersebut.
Sahabat yang sedari tadi mengetahui sikap Umar, kemudian menceritakan istrinya, dan menanyakan sikap yang diberikan Umar ketika istrinya marah.
Umar justru memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Wahai saudaraku, istriku telah memasak makanan untukku, ia juga telah mencuci pakaianku, mengurus urusan rumahku dan mendidik serta menyusi anak-anakku dan lain-lain. Padahal kegiatan itu bukanlah kewajibannya. Tidak hanya itu, istri yang membuat aku merasa terhindar untuk melaksanakan perbuatan haram,” kata Umar dengan penuh senyum. Sahabat tersebut mendapati Umar yang diam ketika istrinya sedang marah.
Sikap yang sama diberikan oleh sahabat tersebut ketika menanggapi istrinya marah. Sebab marahnya istri tidak akan lama.
Dari kisah tersebut semestinya kita memahami bahwa, dalam hubungan suami istri, tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apapun.
Rasulullah dengan para sahabat-sahabatnya, sudah mencontohkan secara jelas, bagaimana memperlakukan istri dalam keluarga.
Posisi perempuan diletakkan sebagai posisi yang mulia. Hal itu karena, perempuan memberikan kehidupan yang nyata bagi seorang anak dan menjadi madrasah pertama.
Lagi pula, bagaimana mungkin secara akal seorang suami tega menganiaya, bahkan memukul istrinya, sedangkan di waktu yang lain menjadi teman tidur dan menjadi orang paling dekat dengannya.
Sekuat apapun seorang laki-laki yang memiliki kepiawaian untuk membunuh, menaklukan musuh, bukan berarti, tenaga yang dimilikinya bisa dilakukan kepada istri.
Adalah laki-laki pengecut apabila sudah berani main tangan kepada seorang perempuan.
Umar adalah sosok sahabat yang dikenal dengan sikapnya yang keras melawan musuh dan menjadi salah satu benteng perjuangan Islam di masa Rosulullah, tidak pernah sekalipun menghardik istrinya.
Sikap lemah lembut yang ditampilkan oleh Umar semestinya menjadi cerminan kepada kita, bagaimana memperlakukan suatu/istri.
Maka dari itu, mari kita maknai sebuah hubungan suami-istri sebagai jalan untuk menuju kebaikan, memberikan kebermanfaatan secara luas dan seperti apa yang disampaikan dalam ajaran agama bahwa pernikahan adalah ibadah terpanjang bagi dua orang (laki-laki dan perempuan) untuk menuju ridho-Nya. []