Begini Wudhu Para Nabi dan Rasul
HIDAYATUNA.COM – Wudhu telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam dan berkelanjutan hingga zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ : تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّةً مَرَّةً، فَقَالَ : هذَا الْوُضُوْءُ الَّذِي لاَ يَقْبَلُ اللهُ الصَّلاَةَ إِلاَّ بِهِ. ثُمَّ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ، فَقَالَ : هذَا الْقَصْدُ مِنَ الْوُضُوْءِ يُضَاعَفُ لِصَاحِبِهِ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلاَثاً ثَلاَثاً، فَقَالَ :هذَا وُضُوْئيِ، وَوُضُوْءُ خَلِيْلِ اللهِ إِبْرَاهِيْمَ، وَوَضُوْءَ الْأَنْبِياَءِ قَبْليِ، وَهُوَ وَظِيْفَةُ الْوُضُوْءِ، فَمَنْ تَوَضَّأَ وُضُوْئيِ هذَا ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَّةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ (رواه أبو يعلى)
Artinya :
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW. wudhu satu kali-satu kali, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah wudhu yang mana Allah tidak akan menerima salat kecuali dengan wudhu ini.’ Lalu beliau wudhu dua kali-dua kali dan bersabda, ‘Orang yang melakukan wudhu ini akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak dua kali.’ Kemudian beliau wudhu tiga kali-tiga kali dan bersabda, ‘Inilah wudhuku, wudhunya kekasih Allah (Nabi Ibrahim), dan wudhunya para Nabi sebelumku. Ini adalah kewajiban wudhu, barang siapa yang wudhu seperti wudhuku ini, lalu berdoa, ‘Asyhadu an Lailaha Illa Allahu wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu’, akan dibukakan untuknya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja.’” (HR. Abu Ya’la)
Allah pernah berpesan kepada Nabi Musa untuk selalu menjaga wudhu (dalam keadaan suci). Dalam hadis Qudsi dikatakan:
قَالَ اللهُ تَعَالىَ: يَا مُوسَى إذَا أَصَابَتْك مُصِيبَةٌ وَأَنْتَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ فَلَا تَلُومَنَّ إلَّا نَفْسَك
Allah SWT. berfirman kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, jika engkau tertimpa musibah sementara engkau tidak dalam keadaan wudhu, maka salahkanlah dirimu sendiri.”
يَا مُوسَى إِذَا تَخَوَّفْتَ سُلْطَانًا فَتَوَضَّأْ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالْوُضُوءِ فَإِنَّ مَنْ تَوَضَّأَ كَانَ فِي أَمَانٍ مِمَّا يَتَخَوَّفُ
Hai Musa, jika engkau takut kepada penguasa, maka wudhulah dan perintahkan keluargamu untuk wudhu, karena barangsiapa yang wudhu akan selalu berada dalam keamanan dari apa yang ia takutkan.
Ajaran agung ini mulai diselewengkan, bahkan dihilangkan oleh umat para nabi terdahulu. Kemudian dihidupkan dan dimurnikan kembali oleh Allah SWT. dalam Aquran dan Rasulullah SAW. lewat sabda-sabda dan sunah-sunahnya.
Wudhu Para Nabi dengan Wudhu yang Kita Kerjakan
Salah satu hadis yang memberi keterangan bahwa wudhunya para nabi terdahulu berbeda dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. adalah hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتُمْ الْغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ إِسْبَاغِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ فَلْيُطِلْ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيلَهُ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW. bersabda, “Kalian adalah orang-orang yang bersinar muka, kedua tangan dan kakinya pada hari kiamat, karena telah menyempurnakan wudhu. Oleh karena itulah, barangsiapa di antara kalian yang mampu melakukannya, maka hendaklah memperpanjang cahaya muka, kedua tangan dan kedua kakinya.” (H.R. Muslim)
Dalam mengomentari hadis ini, sekelompok ulama berpendapat bahwa wudhu merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad SAW., dan tidak pernah ada dalam syariat para nabi terdahulu.
Sementara ulama’ lain mengatakan bahwa para nabi terdahulu juga mengajarkan dan mengerjakan wudhu. Hanya saja umat Nabi Muhammad diberi keistimewaan.
Keistimewaan itu berupa al-ghurrah dan al-tahjil, yaitu bahwa kelak di akhirat, dahi (wajah), kedua tangan dan kedua kaki mereka akan mengeluarkan cahaya laksana bulan purnama. Hal ini disebabkan oleh bekas air wudhu (Zakariya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh Muslim, juz 4, hlm. 182).
Fakta-fakta sejarah para Nabi terdahulu dan kaum-kaumnya yang cukup untuk membuktikan hadis-hadis di atas di antaranya adalah kisah Nabi Musa ketika berdakwah kepada Qarun, yang masih sepupunya sendiri.
Alkisah, meski masih saudara, Qarun sangat memusuhi dan membenci Nabi Musa. Namun Nabi Musa selalu berlapang dada dan memaafkan setiap perlakuan jahat Qarun terhadapnya.
Wudhu Merdakan Amarah
Qarun adalah manusia kaya waktu itu. Namun kekayaannya justru membuatnya menjadi manusia angkuh dan sombong. Imam al-Thabari mengabarkan bahwa suatu hari, sekelompok Bani Israil datang ke rumahnya untuk memperbincangkan sesuatu.
Di antara isi perbincangan itu, Qarun ingin menyewa seorang pelacur yang akan ditugaskan menggoda Nabi Musa, dengan iming-iming uang dan akan dijadikan permaisurinya. Maka, terjadilah mufakat di antara mereka. Dipilihlah pelacur dari golongan mereka sendiri. Pelacur itu segera menemui Nabi Musa.
Namun Allah berkehendak lain. Allah membolak-balikkan hati pelacur itu, sehingga muncul keinginan dari dirinya untuk bertaubat. Ia bergumam, “Ah, bertaubat hari ini akan lebih baik bagiku, daripada aku menyakiti utusan Allah. Lebih baik aku membohongi musuh Allah itu saja (Qarun).”
Ketika telah sampai di rumah Nabi Musa, pelacur itu akhirnya mengaku, bahwa ia disewa Qarun untuk menghancurkan reputasi Nabi Musa di hadapan kaumnya. Kemudian pelacur itu meminta maaf dan bertaubat di hadapan Nabi Musa.
Nabi Musa sangat marah. Beliau segera mengambil air wudhu, lalu salat dan menangis. Kemudian berdo’a, “Ya Allah, musuh-Mu telah menyakitiku. Dia ingin menjelek-jelekkanku dan mencelaku. Ya Allah, beri aku kekuasaan padanya.”
Tidak lama kemudian, Qarun dan pengikut-pengikutnya beserta rumah seisinya hilang tertelan bumi. (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ayi al-Qur’an, juz 18, hlm. 336)
Walhasil, meski para nabi dan rasul mengajarkan dan mengerjakan wudhu, tetapi tata cara (kaifiyyah) wudhu yang diajarkan Jibril kepada Rasulullah SAW bersifat khusus. Berbeda dengan tata cara wudhu yang dikerjakan oleh para nabi terdahulu sebelum Rasulullah SAW.
Pendapat yang terakhir adalah suara mayoritas ulama. Hanya saja, penulis tidak menemukan data bagaimana tata cara wudhu para nabi terdahulu. Wallahu a’lam