Filosofi Wajibnya Niat dalam Wudhu

 Filosofi Wajibnya Niat dalam Wudhu

Filosofi Wajibnya Niat Dalam Wudhu

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Niat adalah menyengaja melakukan sesuatu yang dibarengi dengan pelaksanaannya. Mengenai niat ini, Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S. Bayyinah ayat 5)

Menurut Imam al-Mawardi, kata “ikhlas” dalam ayat tersebut adalah niat. Rasulullah bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (متفق عليه)

Artinya:

“Huruf ba’ pada lafal bi al-niyyah menunjuk makna mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyyah (menunjukkan sebab).”

Di dalam hadis tersebut terdapat lafal yang mahdzuf (dihilangkan) sebelum jar majrur.

Ada yang mengatakan bahwa lafal tersebut adalah takmulu (sempurna), tasihhu (menjadi sah) dan tu’tabaru (tergantung).

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan apakah niat termasuk rukun ibadah atau sekedar penyempurna.

Ulama’ Syafi’iyyah mensyaratkan niat dalam suatu ibadah sehingga menurut mereka kalimat yang dihilangkan dalam hadis di atas adalah tasihhu (innamal a’mālu tashihhu binniyyah) atau (innama shihhatul a’māl binniyyah), artinya sesungguhnya amal-amal menjadi sah jika disertai niat.

Sementara itu, ulama Hanafiyyah tidak mensyaratkan niat dalam ibadah, akan tetapi niat hanya sebagai penyempurna ibadah.

Karena itulah mereka memperkirakan kalimat yang dihilangkan dengan takmulu (al-a’malu takmilu binniyyah)atau (innama kamalul a’mal binniyyah) yang artinya sesungguhnya kesempurnaan amal itu harus disertai dengan niat. (Musa Syahin Lasin, Fath al-Mun’im Syarh Sahih Muslim, juz 2, hlm. 114)

Namun ada juga sebagian ulama yang mengambil istinbath (kesimpulan hukum) akan wajibnya niat dalam berwudhu berdasarkan firman Allah Idzā qumtum ilas-shalaati, sebab makna lengkap ayat ini adalah Idzā qumtum ilas-shalaati fatawaddla’uu li-ajlihaa.

Hal ini sama dengan perkataan orang Arab “Jika engkau melihat pemimpin hendaklah engkau berdiri.” Maksudnya, berdirilah karenanya. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, terj. Amiruddin, juz 2, hlm. 4)

Kapan Niat Wudhu Itu Diucapkan?

Ulama berbeda pendapat mengenai kapan seseorang harus menghadirkan niat dalam hatinya. Dalam pandangan ulama Hanafiyyah, niat wudhu diucapkan sebelum seseorang bersuci (istinja’) agar semua aktivitas yang dilakukannya bernilai ibadah.

Menurut Malikiyyah niat dihadirkan saat membasuh wajah. Hanabilah berpendapat niat dilakukan ketika pertama kali seseorang membaca basmalah.

Sementara menurut Syafi’iyyah, niat dilakukan bersamaan saat pertama kali membasuh bagian dari wajah, baik yang dibasuh pertama itu bagian atas, tengah maupun bawah. (Wahbah Zuaili, Al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu, juz 1, hlm. 230)

Filosofi Wajibnya Niat dalam Wudhu

Niat di sini dimaksudkan untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain atau antara ibadah dengan rutinitas.

Niat juga membedakan tujuan seseorang dalam beribadah kepada Tuhannya. Karena itu, niat menempati posisi utama dalam segala bentukibadah.

Seseorang yang duduk di masjid ada yang tujuannya i’tikaf, atau hanya sekedar menumpang istirahat.

Begitu juga mandi besar (jinabat) serupa dengan mandi yang menjadi rutinitas sehari-hari.

Keduanya sama-sama mengguyurkan air ke seluruh tubuh. Maka niat akan membedakan keduanya; apakah untuk menghilangkan hadas besar atau sekedar untuk menyegarkan badan.

Kemudian, antara salat fardhu dengan salat sunnah memiliki gerakan dan bacaan-bacaan yang sama. Jumlah ruku’ dan sujudnya sama.

Sama-sama diawali dengan takbiratul ihram, dan diakhiri dengan salam. Niat yang akan membedakan keduanya.

Niat juga berfungsi untuk membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Ia ikhlas menjalankan ibadah atau ada tujuan mengharap perhatian orang.

Allah hanya akan menerima amalan seorang hamba yang ikhlas mengharap keridhaan-Nya. Dalam hadis Qudsi dikatakan:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ. رواه مسلم

Artinya:

“Aku tidak membutuhkan sekutu.Barang siapa yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan penyekutuannya.” (HR. Muslim)

Fungsi niat yang terakhir ini sebagaimana yang dimaksud oleh Abdullah bin Mubarak. Ia berkata:

رُبَّ عَمَلٍ صَغِيْرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيْرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ

Artinya:

“Bisa jadi amalan yang sepele, menjadi besar pahalanya karena niat. Dan boleh jadi amalan yang besar, menjadi kecil pahalanya karena niat.”

Walhasil, niat dalam berbagai ibadah meski terdapat perbedaan pendapat tentang hukumnya, namun posisi niat ini sangat menentukan status ibadah seseorang.

Karena itu, niat tetap harus dilafalkan agar menghasilkan nilai plus dalam beribadah. Apalagi niat juga menentukan ikhlas atau tidaknya kita dalam beribadah kepada Allah.

Jika kita ikhlas beribadah kepada Allah, maka bonusnya adalah pahala. Sebaliknya, jika kita beribadah untuk selain-Nya, maka yang kita dapatkan adalah kesia-siaan. []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *