Asuransi Dalam Islam

 Asuransi Dalam Islam

Asuransi merupakan salah satu lembaga yang sudah dipraktikkan sebelum Islam datang, yang biasa dikenal dengan al-`āqilah. Lembaga tersebut kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi bagian dari Hukum Islam yang dituangkan dalam Piagam Madinah dan dikembangkan lebih lanjut pada masa Khulafa al-Rasyidin khususnya pada masa Umar bin Khattab.

Ide pokok dari al-`āqilah berasal dari suku Arab yang pada zaman dulu harus selalu siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktik asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-`āqilah sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena itu merupakan bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan dari sang korban. Al-`āqilah bahkan tertuang dalam konstitusi pertama di dunia, yang dibuat oleh Rasulullah yang dikenal dengan Konstitusi Madinah (622 M). Konstitusi tersebut diperuntukkan bagi penduduk Madinah, seperti Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan Kristen.

Pendapat Abu Zahrah yang dikutip oleh Husain Syahatah, asuransi kolektif (ta`āwun) adalah halal. Menurutnya, asuransi jenis ini merupakan implementasi sikap tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan Allah. Dalam al-Qur’an Surat al-Ma’idah ayat 2 Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Tolong-menolong juga berlaku dalam asuransi kolektif swadaya yang bersifat sukarela maupun asuransi kolektif pemerintah yang bersifat harus. Sebab, pada hakikatnya ia adalah firma bersama milik para penggunanya, mereka sama-sama menjadi penanggung sekaligus tertanggung asuransi. Syaratnya, dana yang diperoleh halal dan tidak mengandung syubhat. Di samping itu model asuransi seperti ini juga pernah diterapkan pada awal Islam dalam bentuk persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar.

Dalam konstitusi ini diperkenalkan asuransi sosial yang tecermin dalam beberapa bentuk, yakni:

  1. Melalui praktik al-diyah. Al-Diyah atau uang darah harus dibayarkan oleh al-`āqilah (keluarga dekat si pembunuh) kepada keluarga korban untuk menyelamatkan pembunuh dari beban hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3 Konstitusi Madinah, “Kaum Muhajirin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab atas perkataan mereka dan akan membayar uang darah dalam bentuk kerja sama antar mereka”.
  • Melalui pembayaran fidyah (tebusan). Nabi Muhammad saw. Juga melaksanakan ketetapan pada konstitusi awal tersebut berkaitan dengan menyelamatkan nyawa para tawanan dan beliau menyatakan bahwa siapa saja yang menjadi tawanan perang musuh, maka al-`āqilah dari tawanan tersebut harus membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan tawanan tersebut.

Pembayaran tebusan semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari asuransi sosial. Dalam Konstitusi Madinah Pasal 4-12a disebutkan bahwa para mujahidin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab atas pembebasan tawanan dengan cara pembayaran tebusan sehingga kerja sama antar kaum mukmin dapat sesuai dengan prinsip kearifan dan keadilan. Aturan ini juga berlaku bagi suku-suku lain yang tinggal di Madinah seperti Banu Harits, Banu Najjar, Banu Jusham, dan lain-lain.

  • Masyarakat bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama melalui prinsip saling kesepahaman dalam menyediakan bantuan pertolongan yang diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan, sakit, dan miskin.

Praktik asuransi ini terus dikembangkan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Umar bin Khattab. Pada waktu itu, pemerintah mendorong para penduduk untuk melakukan al-`āqilah secara nasional.

Walaupun mengalami pasang surut, namun lembaga ini terus menerus dikembangkan di dunia Islam, bahkan pada abad 19 seorang ahli hukum Islam, yakni Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa asuransi merupakan lembaga resmi, bukan hanya sekedar praktik adat. Pada Abad 20 Muhammad Abduh mengeluarkan fatwa bahwa hubungan antara pihak tertanggung dan pihak perusahaan asuransi merupakan kontrak muḍārabah.

Hukum Islam memandang bahwa pertanggungan sebagai suatu fenomena sosial yang dibentuk atas dasar saling tolong- menolong dan rasa kemanusiaan. Saling menanggung dalam Hukum Islam sangatlah ditekankan, dan lembaga tersebut disebut dengan takāful atau al-ta’mīn.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa Asuransi Islam merupakanbagian dari Hukum Islam. Perkembangan asuransi Islam atau asuransi Syariah yang sangat cepat di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa asuransi Islam memang cukup diminati masyarakat khususnya umat Islam. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam praktiknya, asuransi Islam mengandung Uswatun Hasanah.

Prinsip-prinsip yang sangat mendukung adanya rasa tenang, aman, saling tolong-menolong, adil, dan bahkan saling menguntungkan antara sesame pemegang polis maupun perusahaan. Agar perusahaan asuransi Islam atau asuransi syariah dapat menjalankan usahanya tetap berdasarkan syariah Islam, pada masing-masing perusahaan asuransi syariah selalu diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Di Indonesia yang menetapkan Dewan Pengawas Syariah adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Yang menjadi masalah, pada saat ini masih cukup banyak masyarakat muslim yang belum memahami akan pentingnya asuransi yang berlandaskan syariah Islam.

Di samping itu, walaupun praktik asuransi Islam sudah dilakukan di berbagai Negara, ada beberapa negara yang belum mengatur asuransi Islam tersebut dalam suatu undang-undang tersendiri sehingga kedudukannya belum kuat sebagaimana bank Islam atau bank syariah misalnya. Kondisi demikian juga terjadi di Indonesia. Semoga di masa yang akan datang asuransi Islam atau asuransi syariah khususnya di Indonesia diatur dalam suatu undang-undang tersendiri sehingga keberadaannya semakin kuat.

Sumber:

  • Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Karya Uswatun Hasanah
  • Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Karya Asy-Syir’ah
  • Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional M. Syakir Sula
  • Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Karya AM., Hasan Ali,
  • Asuransi dalam Perpektif Syariah Karya Husain Husain Syahatah

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *