Apakah Nabi Yusuf Sempat ‘Tertarik’ Pada Zulaikha ?

 Apakah Nabi Yusuf Sempat ‘Tertarik’ Pada Zulaikha ?

Apakah Nabi Yusuf Sempat ‘Tertarik’ Pada Zulaikha ? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Masih segar dalam ingatan, saat masih menuntut ilmu di negeri Kinanah, kita pernah diskusi tentang tafsir ayat 24 dari Surat Yusuf:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ …

Artinya:

“Dan sungguh wanita itu telah berkehendak padanya (Yusuf) dan ia (Yusuf) pun berkehendak padanya kalau ia tidak melihat tanda dari Tuhannya.” (Q.S. Yusuf ayat 24)

Apakah maksud dari kata hamma (هَمَّ) di sini Nabi Yusuf juga punya ‘perasaan’ terhadap Zulaikha, atau bahkan sempat ‘bernafsu’ melihat kecantikannya?

Sebagian teman ada yang mengatakan tidak mungkin Nabi Yusuf punya perasaan seperti itu.

Bagaimanapun, beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang tentu ma’sum (terjaga) dari hal-hal yang merusak harga diri.

Bukankah punya perasaan pada wanita yang ajnabiyyah adalah sesuatu yang tercela, apalagi untuk seorang Nabi dan Rasul?

Sebagian lain mengatakan Nabi Yusuf memang sempat tertarik pada Zulaikha.

Meskipun ia seorang Nabi, tapi pada akhirnya ia juga seorang manusia dan normal serta sehat secara jasmani dan ruhani.

Apakah rasa sukanya pada Zulaikha tidak merusak kema’sumannya? Tidak. kenapa? Karena rasa suka ini tidak berlanjut pada sesuatu yang haram.

Bahkan, kalau Nabi Yusuf tidak punya ketertarikan sama sekali, ini justeru yang bisa dinilai sebagai sesuatu yang merusak kenormalan dan ‘kejantanannya’.

Menarik mengkaji pendapat ahli tafsir tentang ayat ini. Bukan hanya ahli tafsir Arab, tapi juga ahli tafsir Indonesia seperti Buya Hamka.

Dalam tafsir al-Azharnya, Buya Hamka lebih cenderung kepada pendapat kedua. Ia mengatakan bahwa Nabi Yusuf memang sudah timbul keinginan pada perempuan tersebut. Pendapat ini didasarkannya pada penjelasan Imam al-Baghawi.

Buya Hamka juga menukil pendapat beberapa ahli tafsir yang lain. Tapi ia punya alasan tersendiri sehingga lebih menguatkan pendapat Imam al-Baghawi. Ia menulis:

“Dipandang dari segi ilmu jiwa dan biologi, kita condong kepada penafsiran al-Baghawi.

Karena meskipun menggelora nafsu syahwat Yusuf di tempat yang sunyi itu karena rayuan Zulaikha, tidaklah hal itu mengurangi kemakshumannya. Sebab dia adalah manusia dan laki-laki tulen.”

Kalau kita merujuk langsung ke Tafsir al-Baghawi kita akan menemukan bahwa alasan utama Imam Baghawi memilih pendapat ini adalah karena ini adalah pendapat kebanyakan ulama salaf.

Beliau menulis:

والقول ما قال متقدمو هذه الأمة وهم كانوا أعلم بالله أن يقولوا في الأنبياء من غير علم

Artinya:

“Pendapat yang kuat adalah apa yang telah dikatakan oleh para ulama terdahulu umat ini karena mereka jauh lebih tahu dan paham, dan tidak mungkin mereka mengatakan sesuatu tentang para Nabi tanpa dasar ilmu.”

Lalu beliau menukil pendapat Imam al-Hasan al-Bashri :

إن الله تعالى لم يذكر ذنوب الأنبياء عليهم السلام في القرآن ليعيرهم، ولكن ذكرها ليبين موضع النعمة عليهم، ولئلا ييأس أحد من رحمته

Artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak menyebutkan dosa para Nabi dalam al-Quran untuk merendahkan mereka, melainkan untuk menjelaskan sisi nikmat terhadap mereka, dan agar tidak seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.”

Ulama lain mengatakan:

ليجعلهم أئمة لأهل الذنوب في رجاء الرحمة وترك الإياس من المغفرة والعفو

Artinya:

“Agar mereka (para Nabi dan Rasul) dijadikan sebagai ikutan bagi hamba-hamba yang berdosa untuk tetap berharap pada rahmat Allah dan tidak pernah berputus asa dari ampunan-Nya.”

Kalau ditanya, apakah hamm seperti itu tidak merusak kema’suman seorang Nabi?

Imam Baghawi menjelaskan :

الهم همان، هم ثابت وهو إذا كان معه عزم وعقد ورضى، مثل هم امرأة العزيز، والعبد مأخوذ به، وهم عارض وهو الخطرة وحديث النفس من غير اختيار ولا عزم، مثل هم يوسف عليه السلام، والعبد غير مؤاخذ به ما لم يتكلم أو يعمل

 

“Hamm itu ada dua; ada yang bersifat tsabit (tetap). Ini yang disertai dengan tekad untuk mewujudkannya disertai perasaan ridha, seperti halnya hamm isteri al-Aziz (Zulaikha). Hamm seperti ini yang akan diberikan sangsi.

Kedua, hamm yang bersifat ‘aridh yang berupa lintasan pikiran dan perasaan tanpa diiringi dengan tekad dan keinginan untuk mewujudkannya, seperti hamm Nabi Yusuf as. Hamm seperti ini tidak akan diberi sangsi selama tidak dibicarakan atau dikerjakan.”

Sebagian ahli tafsir, seperti Imam Thahir bin ‘Asyur dalam Tahrir wa Tanwir, lebih cenderung kepada pendapat pertama bahwa Nabi Yusuf as tidak pernah punya hamm seperti itu sama sekali terhadap Zulaikha.

Di samping hal ini dianggap tidak sejalan dengan kema’suman seorang Nabi, secara bahasa pun hamm itu sudah dinafikan

Kata kuncinya terdapat pada kata لَوْلاَ “kalau tidak”. Kata ini memiliki dua fungsi:

Pertama, untuk mendorong (للتحضيض), seperti dalam ayat :

… رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya:

“… Ya Tuhanku, sekiranya Engkau menunda ajalku beberapa saat lagi sungguh aku akan bersedekah dan menjadi orang yang shaleh.” (QS. al-Munafiqun ayat 10).

Kedua, apa yang disebut dengan حَرْفُ امْتِنَاع لِوُجُوْد . Fungsinya ini adalah untuk menafikan sesuatu.

Seperti dalam sebuah kalimat:

لَوْلاَ أَخُوْهُ لَضَرَبْتُهُ

Artinya: “Kalau bukan karena Abangnya tentu sudah kupukul dia.”

Apakah ‘pemukulan’ terjadi? Tidak. Kenapa? Karena abangnya ada.

Fungsi kedua inilah yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 24 tadi. Mari kita perhatikan kembali ayatnya:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ …

Artinya:

“Dan sungguh wanita itu telah berkehendak padanya (Yusuf) dan ia (Yusuf) pun berkehendak padanya kalau ia tidak melihat tanda dari Tuhannya.”

Yusuf berkehendak pada wanita itu kalau ia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Bukankah ia telah melihat tanda dari Tuhannya? Berarti hamm itu tidak terjadi sama sekali pada dirinya.

Makna ini akan tampak jelas ketika kita berhenti (waqaf) pada kalimat : وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ .

Berarti kalimat وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ adalah kalimat yang baru (إستئناف).

Jangan berhenti pada kalimat وَهَمَّ بِهَا . Karena kalau berhenti di sana, kalimat لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ -menurut Dr. Fadhil as-Samurrai`y- menjadi tidak sempurna (terputus).

Muncul pertanyaan, apakah hal seperti ini tidak diketahui oleh para ulama terdahulu, termasuk Imam Baghawi yang mendasarkan pendapatnya kepada mereka?

Tentu saja mereka tahu. Hanya saja mereka punya alasan untuk tidak menggunakan tafsir seperti ini.

Mereka berkata:

إن العرب لا تؤخر لولا عن الفعل، فلا تقول: لقد قمت لولا زيد، وهو يريد لولا زيد لقمت

Artinya:

“Orang Arab tidak pernah mengakhirkan لَوْلَا dari fi’il. Mereka tidak mengatakan, “Aku pasti sudah berdiri kalau bukan karena Zaid,” padahal yang ingin mereka katakan sebenarnya adalah:

“Kalau bukan karena Zaid pasti aku sudah berdiri.”

Ayat 24 Surat Yusuf tadi huruf لَوْلَا terletak sesudah fi’il هَمَّ . Jadi mengatakan bahwa Nabi Yusuf tidak punya hamm sama sekali karena ada huruf لَوْلَا tidak bisa diterima.

Namun Dr. Fadhil punya alasan yang cukup kuat. Ia mengatakan, baik لَوْلَا itu terletak sebelum atau sesudah fi’il, sama saja, tetap bermakna حَرْفُ امْتِنَاع لِوُجُوْد .

Dalilnya adalah ayat:

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ … (سورة الفرقان : 77)

Artinya:

“Katakanlah, Tuhanmu tidak akan memperdulikanmu kalaulah tidak karena doamu…”

Apakah Tuhan tetap memperdulikan? Iya. Kenapa? Karena doa mereka.

Di sini kata يَعْبَأُ “memperdulikan’ terletak sebelum huruf لَوْلَا sebagaimana halnya kata هَمَّ terletak sebelum huruf لَوْلَا .

Ditambah lagi berbagai argumentasi yang dikemukakan Dr. Said Kamali dalam dars-nya yang menguatkan pendapat ini.

Sementara itu, Sayyid Rasyid Ridha dalam Al-Manar-nya punya penafsiran yang lain. Ia justru menafsirkan hamm dalam ayat ini dengan sesuatu yang berbeda dari penafsiran jumhur ulama tafsir, baik yang cenderung pada pendapat yang pertama di atas, maupun pendapat yang kedua.

Ia menulis:

أجمع أهل اللغة على أن الهم إنما يكون بالأعمال، لا بالشخوص والأعيان، وتحقيق معناه أنه مقاربة فعل تعارض فيه المانع والمقتضي

Artinya:

“Para ahli bahasa sepakat bahwa hamm itu hanya berlaku untuk perbuatan, bukan untuk sosok atau benda. Makna hamm itu sendiri adalah ingin melakukan sesuatu yang bertentangan dalam keinginan itu antara penghalang dan pendorong.”

Ia kemudian menjelaskan dengan panjang lebar berbagai dalil yang membuatnya berani mengatakan:

وأن ما قاله الجمهور باطل لمخالفته له، بل للغة القرآن وهدايته، وإنما خدعتهم به الروايات الباطلة

Artinya:

“Apa yang disampaikan oleh jumhur (ulama tafsir) itu adalah batil karena bertentangan dengan kaidah bahasa, bahkan berbeda dengan bahasa al-Quran dan ruh hidayahnya. Mereka tertipu oleh berbagai riwayat yang batil.”

Kita sangat menghargai berbagai argumentasi yang dikemukan Sayyid Rasyid Ridha, tapi kita tidak sepakat dengannya ketika ia menyebut jumhur ulama sebagai المخدوعون (orang-orang yang tertipu).

Lalu apa pendapat beliau tentang kata hamm dalam ayat tersebut?

وهو الذي يصح فيما حققناه من إرادة تأديبه بالضرب على أهون تقدير، فهذا هو المتبادر من نص اللغة ومن السياق وأقربه

Artinya:

“Pendapat yang benar sesuai dengan kajian mendalam yang kami lakukan adalah (makna hamm disini) ingin memberi pelajaran dengan cara memukulnya. Ini yang langsung dipahami dari teks bahasa, dan pemahaman yang dekat yang langsung tertangkap dari konteksnya.”

Kalau ada yang bertanya, lalu pendapat yang benar yang mana?

Barangkali pertanyaan ini kurang tepat jika yang dimaksud dengan ‘benar’ di sini adalah lawan dari salah. Kalau begitu kita ubah pertanyaannya.

Mana pendapat yang lebih dekat kepada kaidah bahasa secara umum, kaidah bahasa Al-Quran secara khusus, tidak bertentangan dengan kemaksuman seorang Nabi, sejalan juga dengan konteks ayat, diterima oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir, dan diakui oleh para ulama di bidang ini?

Kalau pertanyaannya saja sepanjang itu apalagi jawabannya.

والله تعالى أعلم وأحكم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *