Aksi Protes Demonstrasi di Irak Meluas, Korban Jiwa terus Bertambah

 Aksi Protes Demonstrasi di Irak Meluas, Korban Jiwa terus Bertambah

Hingga kini, korban tewas dari aksi protes massa anti-pemerintah yang berlangsung selama 3 hari di Irak telah meningkat menjadi 20 orang, dengan ratusan lainnya luka-luka. Pihak berwenang telah memberlakukan jam malam di beberapa kota dan memotong akses internet mereka sebagai salah satu upaya untuk memadamkan kerusuhan tersebut.

Didorong oleh para pemuda yang kecewa terhadap pemerintah, demonstrasi tersebut tampaknya merupakan ledakan kemarahan mereka atas jumlah pengangguran meningkat, pelayanan yang buruk dan korupsi yang oleh para analis digambarkan sebagai endemik.

Pada hari Selasa, aksi protes yang dimulai dari ibukota Irak, Baghdad, telah menyebar ke sebagian besar kota-kota Irak selatan yang didominasi Muslim Syiah. Hal ini menjadikannya sebagai tantangan paling serius bagi pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi.

Di Baghdad, pihak berwenang telah memberlakukan jam malam sepanjang hari Kamis pagi. Mereka menjelaskan kalau tindakan itu dimaksudkan untuk ‘menjaga situasi tetap terkendali’ dan melindungi para pengunjuk rasa dari ‘penyusup’ yang melakukan serangan terhadap pasukan keamanan Irak dan properti milik publik.

Tetapi puluhan pengunjuk rasa tetap menentang peraturan itu dan berusaha untuk berkumpul di Tahrir Square. Hal itu pun mendorong pasukan keamanan Irak untuk menggunakan peluru dan gas air mata untuk membubarkan massa disana.

“Kami tidur di sini agar polisi tidak mengambil tempat ini,” kata seorang demonstran kepada kantor berita AFP sebelum polisi anti huru hara memberikan tembakan peringatan ke udara.

Pada hari Kamis pagi, hanya beberapa mobil dan warga sipil yang terlihat di jalanan kota Baghdad. Imran Khan dari Al Jazeera, yang bertugas melaporkan dari ibukota mengatakan adanya ‘keheningan yang menakutkan’, tetapi sesekali terdengar juga suara tembakan ke arah Tahrir Square.

“Aturan jam malam itu sepertinya berhasil, para demonstran juga telah berusaha berkumpul dari berbagai daerah di Baghdad, tetapi setiap kali kerumunan mereka mencapai 50 hingga 60 orang, pasukan keamanan langsung membubarkan mereka. Pemerintah belum mengindikasikan kapan aturan jam malam itu akan dicabut,” lanjutnya.

Pihak berwenang mengatakan ambulan, pegawai pemerintah di rumah sakit, departemen listrik dan air, peziarah, dan wisatawan yang akan ke ataupun dari bandara Baghdad dibebaskan dari aturan pembatasan jam malam tersebut.

Jam malam juga telah diberlakukan di kota suci Najaf dan bagian selatan kota Nasiriya, tempat dimana aksi protes paling mematikan yang terjadi sejauh ini dengan total 10 orang korban, termasuk seorang petugas polisi, terbunuh. Di kota Amarah, petugas medis dan pasukan keamanan telah mengkonfirmasi pembunuhan terhadap empat orang pengunjuk pada hari Kamis, yang menjadikan jumlah kematian selama tiga hari terakhir ini menjadi total 20 orang.

Lebih dari 1.000 orang telah mengalami luka-luka dalam aksi protes yang terjadi secara nasional itu, dan sebanyak 62 orang juga telah ditangkap, menurut angka dari Komisi Hak Asasi Manusia Irak.

Sementara itu, menurut pihak monitor keamanan siber, Netblocks, sekitar 75 persen dari Irak telah ‘offline’ setelah beberapa operator jaringan dengan ‘sengaja membatasi’ akses internet mereka.

Aksi protes yang terjadi tampak tanpa adanya kepemimpinan politik, tetapi ada kekhawatiran bahwa akan lebih banyak aksi demonstrasi yang terjadi setelah pemimpin kuat dari Syiah, Muqtada al-Sadr menyerukan tentang ‘mogok kerja’.

Pada musim panas lalu, aksi demonstrasi atas masalah yang serupa juga pernah melanda bagian selatan kota Basra, aksi tersebut secara efektif mengakhiri peluang Perdana Menteri Haider al-Abadi untuk masa jabatannya yang kedua.

Kemarahan atas tingginya tingkat pengangguran pada kaum muda yang menurut Bank Dunia diperkirakan sebesar 25 persen, atau dua kali lipat dari tingkat pengangguran orang dewasa, tampaknya telah memicu aksi demonstrasi yang terbaru.

“Kami menginginkan pekerjaan dan layanan publik yang lebih baik. Kami telah menuntut hal tersebut selama bertahun-tahun, tetapi pemerintah tidak pernah menanggapinya,” kata Abdallah Walid, seorang demonstran yang berusia 27 tahun.

“Sebagian besar para demonstran adalah ‘kaum muda yang marah, mereka tidak berafiliasi kepada satu partai politik ataupun agama tertentu’, mereka benar-benar merasa frustasi melihat kenyataan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan,” kata Khan dari Al Jazeera.

Setelah sebuah aksi protes kecil yang dengan cepat dibubarkan oleh pasukan keamanan pada hari Selasa itu, sebuah seruan melalui media sosial mengakibatkan ribuan orang turun ke jalanan. Sejak itu, aksi protes telah menyebar ke kota-kota lain di bagian selatan negara itu, tambahnya.

Sementara itu, menurut penjaga perbatasan Iran, dua penyeberangan perbatasan ke Irak, termasuk yang paling sering digunakan oleh peziarah dari Iran telah ditutup karena kerusuhan yang terjadi di Irak.

Menurut kantor berita semi-resmi Iran, Mehr, komandan penjaga perbatasan Iran, Jenderal Qasem Rezaei, mengatakan bahwa penyeberangan Khosravi dan Chazabeh telah ditutup sejak hari Rabu malam, tetapi penyeberangan lainnya dibuka menjelang kegiatan ziarah tahunan Muslim Syiah di Irak.

Pada hari Kamis malam, ketegangan telah diperburuk oleh penutupan kantor-kantor pemerintah dan setidaknya satu ledakan yang menghantam Zona Hijau, tempat dimana beberapa kementerian dan kedutaan berada.

Salah satu sumber dari pihak kemanan di daerah itu mengatakan kepada AFP bahwa ada dua ledakan yang terjadi, yang kemungkinan disebabkan oleh tembakan secara tidak langsung kurang lebih sepekan yang lalu setelah dua roket menghantam area dekat kedutaan AS di sana.

Serangan itu terjadi beberapa jam setelah pasukan keamanan menyegel Zona Hijau ‘sampai adanya pemberitahuan lebih lanjut’ karena takut terhadap para demonstran yang marah akan mengerumuni gedung-gedung negara atau kedutaan asing.

Zona Hijau sudah tidak dapat diakses oleh sebagian besar warga Irak semenjak invasi AS ke Irak pada tahun 2003, tetapi telah dibuka kembali untuk umum pada bulan Juni.

Zona Hijau sering menjadi titik fokus kemarahan publik, termasuk pada tahun 2016 ketika pendukung al-Sadr menyerbunya dan melumpuhkan lembaga-lembaga negara disana.

Sumber : Aljazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *