Aforisme Penderitaan Ibnu ‘Atho’illah

 Aforisme Penderitaan Ibnu ‘Atho’illah

Tarbiyah Ruhiyyah Melalui Puasa Ruh, Akal, dan Jiwa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Penderitaan yang diakibatkan oleh keluhan-keluhan fisik maupun non fisik merupakan sebuah keniscayaan yang bakal menimpa setiap manusia.

Karena pada kenyataannya, manusia terdiri dari susunan keduanya.

Hanya saja, setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menghadapi penderitaannya. Ada yang terseok-seok, ada yang lulus, ada pula yang justru menjadi lebih baik. Tidak sedikit pula yang putus asa.

Berbicara mengenai penderitaan, ada aforisme indah yang digubah Syaikh ibnu ‘Athoillah dalam kitab Hikam, berikut kutipannya:

إذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال معها ان قل عملك . فإنه ما فتحها لك إلا وهو يريد أن يتعرف إليك. أىم تعلم إن التعرف هو مورده عليك ، والأعمال أنت مهديها إليه ؟ و اين ما تهديه إليه مما هو مورده عليك ؟

Artinya:

“Jika Dia (Tuhan Yang Maha Benar) ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah; dan) jangan bersedih hanya gara-gara amal dan pekerjaanmu yang berkurang (karena penderitaan itu).

Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenalNya lebih dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkan pada dirimu, sementara amal-amalmu adalah sesuatu yang engkau persembahkan kepadaNya? Bagaimana mungkin engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerahNya?”

Dikutip dari bukunya yang berjudul “Menjadi Manusia Rohani; Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab al-Hikam”, Ulil Abshar Abdalla atau akrab disapa Gus Ulil memaparkan tafsir umum mengenai aforisme di atas.

Menurutnya, jika kehidupan kita berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak ada gangguan, tak ada soal, tak ada tantangan––maka kehidupan seperti itu memang tampak menyenangkan.

Tetapi benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita jalani?

Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?

Jadi hidup itu perlu diandaikan sebagai permainan atau game yang jelas aturan dan tujuannya.

Sehingga rintangan-rintangan yang hadir dimaknai sebagai kepuasan-kepuasan bertahap, yang membuat hidup terasa bermakna di samping (tentu saja) sebagai pra syarat menuju titik akhir.

Di sisi lain, tambah Gus Ulil, penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan; membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia.

Itu dari segi pengertian atau tafsir umumnya. Secara khusus Gus Ulil memaparkan bahwa penderitaan yang dialami manusia pada dasarnya mencerminkan dua ‘wajah’ Tuhan sekaligus; keperkasaan (jalaal) sehingga kadang terasa menakutkan dan sekaligus keindahannya (jamaal).

Pengertian derita sebagai ceriman sifat jamaal-Nya perlu perenungan yang mendalam. Lihatlah bagaimana syariat mengatur rukhshah (kompensasi) bagi muslim yang sedang dikenai musibah atau halangan.

Betapa Tuhan, dalam hal ini, ingin menunjukkan sifat welasnya. Kalau Dia mau, aturan syariat tidak akan mengenal pengecualian.

Saat kita sakit, ada tafsiran menarik yang digambarkan Syaikh ibnu ‘Atha’illah. Saat sakit, Tuhanlah yang pro-aktif mendekatimu, mengenalmu. Saat engkau beribadah dalam keadaan sehat, engkau lah yang pro-aktif mendekatiNya.

Jadi, dalam hal ini, sakit dan derita menjadi sarana agar Allah lebih mendekat ke arah kita.

Syaratnya adalah sabar dan ridho dengan ketentuanNya.

Jika demikian hal nya, maka sambutlah derita dengan positif. Dengan perasaan hati lapang dan gembira. Bahwa tidak ada peristiwa yang lepas dari maksud baikNya.

Meski begitu, Gus Ulil juga mewanti-wanti:

“Tetapi ini jangan dimaknai bahwa kita lebih baik menderita terus, tanpa berusaha untuk mencari solusi dan jalan keluar dari sana. Bukan itu yang dimaksudkan. Kita tetap diwajibkan mencari jalan keluar dari penderitaan kita. Jalan keluar itu justru dimudahkan jika kita bersikap positif terhadap sakit yang sedang kita derita.”

Ini sejalan dengan keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah yang menempatkan takdir dan ikhtiyar pada posisi saling melengkapi. Dalam potongan QS al-Ra’d Ayat 11, Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” []

Uu Akhyarudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *