Tafsir Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd, Poligami dan Perempuan
HIDAYATUNA.COM – Permasalahan perempuan tampaknya tidak pernah selesai selama pikiran-pikiran kita masih terkungkung dengan ideologi patriarki. Pemikiran yang mengasumsikan bahwa laki-laki memiliki superioritas dibandingkan perempuan.
Baik dilihat secara nasab harus dari jalur bapak atau kekuatan fisik dan kodrat alami perempuan yang tidak bisa dihilangkan. Faktor-faktor tersebut membuat kaum Adam merasa lebih dominan dibandingkan dengan kaum Hawa sehingga melahirkan pemikiran bias gender.
Pola pikir yang seperti itu sudah terjadi bahkan sejak Nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Oleh karena itu salah satu tujuan dari diutusnya rasulullah adalah dengan mengangkat derajat perempuan.
Hal ini tetap berlangsung dari mulai transmiter hadis yang didominasi oleh laki-laki—terlepas hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah sendiri cukup banyak mencapai 2.210 yang melebihi Ibnu Abbas 1.660 hadis. Tidak hanya itu, hal ini tetap berlanjut sampai dengan penulisan-penulisan kitab, baik tafsir maupun fikih.
Tak heran bila banyak dari mereka yang cenderung bias gender dalam menafsirkan ataupun melahirkan hukum. Padahal pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada perempuan itu sama hanya saja hak-haknya terbatasi.
Mengkaji Alquran dan Hadis
Dalam mengkaji Alquran dan hadis yang berisikan teks, meniscayakan mengkaji struktur budaya juga yang mengitarinya. Dengan kata lain, ketika sang penafsir melakukan penafsiran, maka ia akan terpengaruh dengan struktur budaya dan ideologi yang sudah ada dalam dirinya dan lingkungannya.
Walhasil ada pencampuradukkan antara makna orisinal dari teks itu dengan makna yang sudah terpengaruh dengan ideologi penafsir. (Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣ, Al-Sulṭah, al-Haqīqah: al-Fikr al-Dīnī Bayna al-Irādah al-Ma’rifah wa Irādah al-Haymanah, 149).
Hal senada juga diutarakan oleh Asghar Ali Engineer bahwa ayat Alquran itu bersifat normatif sekaligus pragmatis. Sisi normatif yang transendental, artinya bersifat sakral dan kaku dan sisi pragmatis yang berkaitan dengan relevansi zaman sekarang di mana ajaran itu diterapkan.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Khadari Bek dalam Tārikh Tashri’ bahwa ulama pada zaman pertengahan memonopoli membuat ajaran Alquran menjadi formal dan normatif. Maka pendapat-pendapat para mufasir dan fuqaha ini layak untuk direvisi dan sama sekali tidak bersifat transendental mutlak. (Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, 238).
Poligami sebagai Bentuk Patriarki yang Sangat Nyata
Praktik poligami ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki pengaruh. Jika dalam tradisi pesantren banyak dilakukan oleh kiai.
Selain karena mempunyai otoritas kekuasaan (atas santrinya) dan kekayaan, juga bisa jadi dengan motif doktrin agama. Kasus ini banyak terjadi di Madura, kiai yang berpoligami tidak dianggap hal yang tabu. Masyarakat yang anaknya dinikahi oleh kiai pun bahkan akan merasa bangga dan meningkatkan status sosialnya.
Terlepas dari rendahnya ekonomi dari pihak perempuan dan berimplikasi pada kualitas pendidikan yang rendah. Sang kiai juga menggunakan alasan teologis untuk melegitimasi tindakan mereka sehingga dianggap mengikuti sunnah nabi. (Masthuriyah Sa’dan, Poligami atas Nama Agama: Studi Kasus Kiai Madura, Esensia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 2015).
Kemudian kalangan non-kiai yang biasanya berupa pejabat atau pengusaha yang mempunyai otoritas kekayaan. Tidak jarang perempuan rela dipoligami karena melihat harta dari mereka yang melimpah.
Untuk perempuan dengan model seperti ini tidak diperlukan adanya motif doktrin agama karena cukup dengan kekayaan dan status sosial. Meskipun begitu, dalam kasus yang sama di Madura, fenomena poligami yang dilakukan oleh kiai dan non-kiai mendapatkan respon yang berbeda.
Sebagian mereka ada yang memandang dari sisi poligami kiai positif karena dianggap mengikuti sunnah rasul. Sedangkan bagi kalangan non-kiai hanya berorientasi syahwat belaka.
Ada juga yang menggap poligami murni syahwat, yaitu mereka yang memandang negatif poligami kiai. Dilihat dari kesamaannya adalah sama-sama harus mendapat legitimasi dari istri pertama, kedua dan seterusnya. (Mohtazul Farid, Hegemoni Patriarki dalam Poligami Kiai di Madura, Tesis Universitas Airlangga, 2017).
Reinterpretasi Ayat Poligami
Ayat yang sering dijadikan argumen adalah Surat al-Nisā’ [4]: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Kerangka metode penafsiran yang dibangun oleh Abu Zayd merupakan modifikasi dari teori asbabun nuzul yang sudah dirancang oleh para ulama terdahulu. Bagi Zayd asbabun nuzul yang turun di masa lalu mempunyai “makna” tertentu yang berhubungan langsung dengan realitas pada saat itu.
Kemudian Zayd menambahkan asbabun nuzul pada saat ini. Asbabun nuzun yang bisa disebut sebagai konteks itu mempunyai—Zayd menyebutnya—“signifikansi” yang berhubungan dengan realitas saat ini.
Zayd meyakini ada sesuatu yang bisa diambil sebagai kesamaan antara makna pada masa lalu dengan signifikansi pada saat ini. Keduanya tidak boleh terpisahkan saat melakukan proses interpretasi karena makna adalah asal sedangkan signifikansi adalah tujuan.
Jika hanya salah satu yang bergerak maka akan menimbulkan penafsiran yang tidak produktif dan tendensius. (Nasr Hamid Abu Zayd, Dawā’ir al-Khawf, 202-203 & Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, 144).
Poligami dan Budaya Arab Jaman Dahulu
Dalam menyikapi ayat di atas Abu Zayd berkomentar bahwa pada zaman dahulu di Arab budaya patriarki masih sangat melekat sehingga menikah lebih dari empat itu sangat memungkinkan. Maka Islam memberikan batasan terkait dengan jumlah yang asalnya tak terbatas itu.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi lebih dari empat merupakan kekhususan sebagai rasul. Dengan demikian, jika pada 15 abad ke depan dari saat ayat itu diturunkan orang-orang menikahi hanya 1 perempuan, berarti ia telah melakukan hal benar.
Sebab prinsip yang dipakai adalah pembatasan ini. Dengan menikah 1 orang berarti dia telah melakukan prinsip itu, yaitu pembatasan.
Abu Zayd juga melihat dari sisi bahasa bahwa pada ayat selanjutnya disinggung bahwa jika tidak bisa berbuat adil maka sebaiknya satu saja. Kata larangan (adat al-nafy) yang digunakan juga menggunakan kata lan (لن) yang artinya penegasian secara mutlak.
Ini semakin sulit untuk melakukan poligami. Dari sini terlihat di satu sisi ada ayat yang menganjurkan poligami dan di sisi yang lain berbicara kemustahilan tentang berbuat adil.
Dalam hal ini, Zayd menggunakan kaidah idza ta’araḍa al-hukm ma’al-mabda’ falā budda min al-taḍḍiyyah bi al-hukm. Jika hukum bertentangan dengan prinsip dasar Islam maka hukumlah yang harus dikorbankan. Prinsip dasar Islam adalah keadilah dan hukumnya terkait dengan poligami jadi yang didahulukan keadilan tersebut. (Dawā’ir al-Khawf, 288-290).
Dengan pemaparan di atas, wacana tafsir kontemporer yang ditawarkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd kiranya bisa diaplikasikan pada zaman sekarang. Dengan menggunakan prinsip pembatasan dan juga kaidah bahasa dari Alquran sendiri yang menyiratkan ketidakadilan jika beristri lebih dari satu.
Lebih dari itu, tentu penafsiran seperti ini akan membantu kaum feminis yang seringkali menyuarakan anti-poligami. Sebab pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini adalah sosok perempuan. Wallahu a’lam.