Singa Podium Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo
HIDAYATUNA.COM – Kasman Singodimedjo lahir di desa Clapar, Kalirejo, Bagelan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada 25 Februari 1904. Selain mendapat pendidikan Islam dari Ayahnya H Singodimedjo, Kasman juga rajin mengikuti pengajian dari KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Aziz. Pendidikan formalnya ia tempuh di Hollanda Indische School (HIS) di Kwitang Jakarta, HIS Kutoarjo, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Magelang, dan School Tot Opleinding Voor Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta.
Ketika duduk di bangku sekolah, Kasman aktif di berbagai organisasi pergerakan nasional dengan semangat keislaman. Ia rajin mengikuti pengajian Muhammadiyah Cabang Betawi di gang Kenari dan Kramat, Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Haji Hidayatullah dan Kartosoedharmo.
Komitmen dalam pergerakan dan semangat keislaman Kasman terlihat saat bersekolah di STOVIA. Saat itu, ia masuk dalam organisasi Jong Java yang mana didalamnya ia berjuang untuk menjadikan Islam sebagai landasan perjuangan dengan alasan sebagian anggotanya yang beragama Islam.
Bersama Syamsuridjal, Ki Musa Al-Mahfudz dan Suhodo, Kasman mendirikan Jong Islameten Bond pada 1 Januari 1925 di Jakarta. Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh organisasi Jong Java yang mendorong pemudanya yang beragama Islam hingga mencapai Kongres Yogyakarta pada Desember 1924 dan menjadikan Kasman Singodimedjo sebagai Ketua Umum perhimpunan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, JIB membentuk organisasi Pandu Indonesia bernama Natipij bersama Mohammad Roem. Keaktifannya di Natipij membuat pemerintah pendudukan Jepang mengangkatnya sebagai Daidacho (Komandan Batalyon) dalam Tentara Pembela Tanah Air. Berkat jabatan inilah, Kasman menjadi intelektual Islam yang populer.
Pada tahun 1949, Kasman menjadi anggota Muhammadiyah. Sebelum resmi menjadi anggota, sejak 1923 Kasman terlibat dalam kegiatan organisasi tersebut. Keikutsertaan Kasman dalam oraganisasi sosial keagamaan tersebut dilatarbelakangi keinginannya berdakwah secara terlembaga, tidak cukup melalui pengajian-pengajian. Di Muhammadiyah, Kasman banyak belajar tentang Islam, berorganisasi, dan mengenal masyarakat. Keaktifannya di Muhammadiyah sempat menjadikannya ketua Muhammadiyah wilayah Jakarta, Bogor dan Banten.
Kasman Singodimedjo tak hanya aktif dengan kegiatannya diorganisasi, nyatanya ia juga aktif di dunia pendidikan. Aktifitasnya di dunia pendidikan Islam dimulai saat ia menjadi guru di Muallimin, Muallimat, MULO dan HIK yang ada di bawah naungan Muhammadiyah. Ia juga mengajar di Pergutuan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) di Pasar Jumat Jakarta Selatan dan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang. Ia juga mendapat gelar Guru Besar Luar Biasa.
Ketika Kasman diangkat menjadi Daidancho dan memimpin apel Pembela Tanah Air (PETA) di Lapangan Ikada (sekarang MONAS) pada 29 April 1944, ia menyampaikan pentingnya latihan batin bagi para anggota PETA. Latihan ini lebih penting dibanding latihan fisik dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dasar latihan ini tuturnya, adalah agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
Menurut Kasman, agama Islam menyediakan banyak latihan batin. Salah satunya shalat wajib lima waktu. Dalam shalat, setiap muslim bersumpah kepada Allah, bahwa sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matinya diserahkan kepada Allah. Dengan demikian, jelas bahwa prajurit PETA tidak hanya dilatih untuk kepentingan sendiri, namun mencurahkan dirinya untuk kepentingan masyarakat.
Dasar perjuangan prajurit PETA adalah mutlak hanya untuk Allah. Segala perbuatan setiap Muslim adalah sebagai “Iyyaka Na’budu” yaitu mengabdi kepada Allah semata. Karena itu, dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit hendaknya tidak takut mati, karena kematian dalam perjuangan melawan musuh merupakan jalan menuju kerhidaan Allah. Dengan jalan itu mereka mendapatkan anugrah Allah.
Terkait hubungan Islam dan Negara, Kasman pernah menyampaikan pandangannya dalam pidato pemandangan umum mengenai Dasar Negara, 13 November 1957. Pidato ini mencerminkan pemikirannya tentang posisi sekaligus relasi Islam dan negara. Menurutnya, Islam menjamin kemerdekaan lahir batin, menolak penjajahan, penindasan, maupun eksploitasi manusia atas manusia dalam bentuk apapun.
Kasman melihat Islam menjamin mempertahankan kemerdekaan untuk menganut dan menjalankan agama masing-masing. Ia juga melihat cita-cita Islam diantaranya adalah memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman diantara golongan dan kelas.
Dalam Islam ada fardhu kifayah disampin fardhu ain, tidak boleh egois, tamak ataupun bakhil, karena kekayaan perseorangan tidak terlepas dari fungsi sosialnya. Islam memberi penilaian yang sama antara pria dan wanita, dengan pengertian bahwa perbedaan sifat dan bakat antara wanita dan pria membawa pembagian tigas dan lapangan pekerjaan bagi masing-masing.
Dalam pidatonya, Kasman juga mengungkapkan bahwa kaum terpelajar memikul kewajiban mengangkat masyarakat dari keterbelakangan. Ia melihat adanya jurang yang besar antara rakyat dan golongan intelektual. Pelajaran di sekolah-sekolah memperdalam jurang itu. Intelektual harus kembali kepada rakyat. Bila ingin mengenal rakyat, para intelektual harus mempalajari agamanya yang tidak diajarkan di sekolah.
Sedangkan terkait Nasionalisme, Kasman melihat perlunya nasionalisme dibingkai keislaman sebagai hubungan positif dalam mengukuhkan hidup bernegara. Doktrin komunis yang atheis kontradiktif dengan pengakuan ketuhanan dalam pancasila. Tegasnya, nasionalisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keislaman dan Islam menjadi faktor terpentingnya karena masyarakat muslim merupakan jumlah terbesar masyarakat Indonesia.
Selain di Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo juga aktif di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bersama KH Hasyim Asyari, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mohammad Roem dan Mohammad Natsir. Di lembaga ini, ia sempat diangkat sebagai Wakil Ketua Masyumi pada 1945-1946. Keaktifannya di lembaga ini dimulai sejak masih bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan pada masa Pemerintahan Pendudukan Jepang.
Kasman sempat dinilai kontroversial karena aktivitasnya yang dinilai dekat dengan Jepang. Ia menjadi sorotan para kiai dan ulama pada masa itu. Kendati terlibat dalam politik praktis dan mendapat posisi yang strategis pada masa kejayaan Jepang, bukan berarti Kasman melupakan cita-citanya. Baginya kedekatannya itu lebih merupakan peluang untuk memberdayakan masyarakat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan yang dicita-citakan.
Kasman juga tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di lembaga ini, ia berperan sentral dalam menyelesaikan konflik terkait tujuh kata pada rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta. Dengan sikapnya yang moderat dan berjiwa besar, Kasman merupakan salah satu anggota PPKI yang berasal dari golongan muslim yang bersedia menerima usul untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam Pancasila demi menjaga keutuhan bangsa. Sikapnya tersebut kemudian diikuti pemimpin yang lain, sehingga diputuskan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berisi teks yang dikenal hingga saat ini.
Kiprah lain Kasman adalah ketika dipercaya sebagai Jaksa Agung dalam pemerintahan Indoneia sejak berdirinya pada 8 November 1945 hingga 6 Mei 1946. Kasman menerbitkan Maklumat Jaksa Agung nomor 3 Tahun 1946. Maklumat ini mengajak pada Gubernur, Jaksa, dan Kepala Kepolisian membuktikan Indonesia yang baru merdeka sebagai negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Ia juga mendorong penyelesaian kasus-kasus kriminal dengan tepat. Selain itu, Kasman juga tercatat sebagai Jaksa Agung yang meletakan dasar eselonisasi dan tata kerja kejaksaan yang terstruktur baik.
Pada 24 Desember 1977, ia dianugrahi gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Muhammadiyah oleh Prof. Ismail Sunni, SH. MCL, Guru Besar Luar Biasa Hukum Tata Negara atas tulisan-tulisan, pidato, kesaksian para sahabatnya dan pengabdiannya kepada Allah SWT, bangsa dan negara, berkorban demi umat, serta berjuang demi tegaknya cita-cita hukum. Dalam penganugrahan tersebut, ia menyampaikan pidato yang berjudul “masalah Kedaulatan”. Ia menguraikan tentang kedaulatan rakyat atau umat, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan Allah.
Salah satu keistimewaan Kasman yang cukup menonjol pada masa hidupnya adalah kemampuannya berpidato selama berjam-jam tanpa membuat audien merasa jemu. Sebagai seorang orator ulung dalam kemampuannya berpidato, Kasman dijuluki Singa Podium. Sang Singa Podium mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2018.