Seorang Ulama yang Menggemari Musik

 Seorang Ulama yang Menggemari Musik

Seorang Ulama yang Menggemari Musik (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Melihat foto Kiyai Hasan memetik gitar, saya jadi teringat riwayat tentang Imam Ya’qub bin Abu Salamah yang terkenal dengan gelar al-Majisyun.

Ia sangat dekat dengan Umar bin Abdul Aziz dan termasuk tabi’in yang tsiqah.

Keluarga al-Majisyun, mulai dari Imam Ya’qub sendiri, puteranya Imam Yusuf bin Ya’qub, saudaranya Abdullah dan putera-puteranya dikenal sebagai keluarga yang suka nyanyian dan musik.

Imam Ya’qub sendiri, tidak sekedar suka nyanyian, bahkan mengajarkan bernyanyi. Imam Mush’ab bin Abdullah az-Zubairi berkata:

كان يعلم الغناء ويتخذ القيان ظاهرا من أمره فى ذلك، وكان أول من علم الغناء من أهل المروءة

Artinya:

“Ia (Ya’qub bin Abu Salamah) mengajarkan nyanyian dan memiliki para biduan, dan itu ia tampakkan sekali. Ia termasuk tokoh sangat berwibawa yang pertama-tama mengajarkan nyanyian.”

Puteranya; Yusuf bin Ya’qub adalah seorang ulama Madinah yang tsiqah. Ia banyak meriwayatkan hadits dari Imam az-Zuhri. Diantara muridnya adalah Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Yahya bin Ma’in bercerita:

كنا نأتيه فيحدثنا فى بيت وجوار له فى بيت آخر يضربن بالمعزفة

Artinya:

“Kami mendatanginya (untuk mendengar hadits), lalu ia menyampaikan hadits pada kami di satu rumah, sementara di rumah yang lainnya para budak wanitanya bermain musik.”

Yahya bin Ma’in juga berkata:

هو وإخوته وابن عمه يعرفون بذلك وهم فى الحديث ثقات مخرجون فى الصحاح

Artinya:

“Ia, saudara-saudaranya dan ponakannya terkenal dengan itu (membolehkan nyanyian dan musik), dan mereka orang-orang yang tsiqah dalam hadits. Hadits-hadits mereka diriwayatkan dalam kitab-kitab shahih.”

Ponakan Imam al-Majisyun yang bernama Abdul Aziz bin Abdullah bin Abu Salamah adalah seorang tabi’ tabi’in.

Kealimannya setara dengan Imam Malik bin Anas ra. Abdullah bin Wahb al-Mishri berkata:

“Ketika aku pergi haji pada tahun 148 H, aku mendengar pengumuman: “Tidak ada yang boleh berfatwa kecuali Malik bin Anas dan Abdul Aziz bin Abu Salamah.”

Imam Abu Ya’la al-Khalili berkata:

يرى التسميع ويرخص العود

Artinya:

“Ia (Imam Abdul Aziz) berpendapat boleh mendengar (musik atau nyanyian) dan memainkan alat musik.”

Putera Imam Abdul Aziz yang bernama Abdul Malik juga seorang ulama besar. Ia termasuk murid terkemuka Imam Malik bin Anas. Ia juga seorang mufti Madinah pada masanya.

Imam Ibnu Abdil Barr berkata tentang Imam Abdul Aziz ini:

روى عن مالك وعن أبيه وكان مولعا بسماع الغناء ارتجالا وغير ارتجال، قال أحمد بن حنبل: قدم علينا ومعه من يغنيه

Artinya:

“Ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik dan dari ayahnya. Ia sangat gemar mendengar nyanyian, baik yang bersifat spontan maupun yang sudah digubah.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Ia datang pada kami dan bersamanya juga ada orang yang berdendang untuknya.”

Yang tak kalah menarik adalah kisah Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf az-Zuhri. Ia adalah seorang tabi’ tabi’in yang tsiqah.

Hadits-haditsnya dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.

Imam adz-Dzahabi berkata:

كان إبراهيم يجيد صناعة الغناء

Artinya: “Ibrahim sangat piawai dalam bernyanyi.”

Suatu ketika Ibrahim bin Sa’ad datang ke Iraq. Tepatnya pada tahun 184 H di masa kekhilafahan Harun ar-Rasyid.

Sang Khalifah menyambutnya dengan penuh hormat. Ketika ditanya tentang nyanyian, ia menjawab itu halal.

Suatu kali, beberapa pelajar hadits datang menemuinya untuk mendengarkan hadits. Ketika mereka datang ternyata ia sedang bernyanyi.

Salah seorang dari pelajar itu berkata: “Tadinya saya sangat bersemangat untuk mendengarkan hadits darimu. Tapi sekarang aku tidak akan mendengarkan satu hadits pun darimu.”

Mendengar hal itu, dengan santai Ibrahim menjawab:

إذا، لا أفقد إلا شخصك

Artinya: “Ya sudah, aku hanya akan kehilangan dirimu saja.”

Kemudian ia bersumpah:

علي وعلي إن حدثت ببغداد ما أقمت حديثا حتى أغني قبله

Artinya:

“Sungguh, selama aku berada di Baghdad, aku tidak akan menyampaikan sebuah hadits sebelum menyanyi terlebih dahulu.”

Sumpah dari seorang alim dan muhaddits sekaliber Ibrahim bin Sa’ad tentu saja langsung tersebar di seantero Baghdad. Bahkan sampai ke telinga khalifah Harun ar-Rasyid.

Sang khalifah pun mengundangnya. Mulanya ia bertanya mengenai hadits tentang wanita dari Makhzum yang dipotong tangannya oleh Nabi Saw karena mencuri perhiasan.

Sebelum menjawab pertanyaan sang khalifah, Ibrahim minta disediakan ‘ud (secara bahasa ‘ud bisa berarti kayu, tongkat dan kecapi). Khalifah heran, lalu bertanya:

أعود المجمر ؟

Artinya: “Maksudnya kayu untuk wewangian (kemenyan)?”

Ibrahim menjawab:

لا ولكن عود الطرب

Artinya: “Bukan, maksud saya kecapi.”

Mendengar itu Harun ar-Rasyid tersenyum. Ibrahim paham maksud senyum sang khalifah. Lalu ia berkata:

“Sepertinya engkau sudah tahu tentang si bodoh yang memaksa diriku kemarin untuk bersumpah wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah mengangguk lalu meminta pembantunya untuk menyediakan alat musik.

Selesai bermain musik, khalifah bertanya pada Ibrahim: “Siapa diantara fuqaha yang tidak suka mendengar musik?”

Mendengar pertanyaan itu, Ibrahim bin Sa’ad menjawab dengan singkat:

من ربطه الله

Artinya: “Orang yang hatinya sudah diikat oleh Allah.”

Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengajak menyukai nyanyian atau musik. Anggaplah sebagai informasi tambahan agar kita tidak terlalu kaget apalagi buru-buru menyalahkan ketika melihat ada ulama yang suka musik atau bermain musik.

Anda lebih memilih pendapat yang mengharamkan musik, silahkan. Tapi tetaplah hargai mereka yang memilih pendapat yang membolehkan itu.

Pada akhirnya ini adalah masalah khilafiyah.Jadi jangan sampai kehilangan adab dalam berpendapat.

والله تعالى أعلم وأحكم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *