Sejarah PUI, Fusi Organisasi Demi Persatuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Indonesia pada awal abad 20 melahirkan banyak organisasi yang kelak turut mewarnai perjuangan meraih kemerdekaan. Kemunculan mereka ke pentas sejarah dilatari oleh berbagai faktor yang saling menopang, sehingga memunculkan aktor-aktor kunci yang dapat mengarsiteki bangunan organisasi yang berakar pada berbagai lapisan sosial.
Di antara faktor tersebut adalah kebijakan politik etis dan dinamika internasional yang mengilhami pemikiran para aktor potensial di tanah air.
Politik etis yang bertumpu pada trilogi tujuan: irigasi, migrasi dan pendidikan, kemudian melahirkan kesejahteraan dan kesadaran baru bagi warga pribumi akan pentingnya tatanan sosial yang lebih baik.
Dinamika internasional, seperti naiknya pamor paham sosialisme di Eropa yang mengoreksi sifat kolonialisme Barat dan munculnya pemikiran serta aktivisme pembaruan di Timur Tengah juga turut mempengaruhi para tokoh penggerak di tanah air.
Situasi tersebut juga dialami oleh KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi sebagai dwi pencetus lahirnya organisasi keislaman yang lahir di tanah Sunda: Persatuan Umat Islam (PUI).
Sebagai sama-sama tokoh penting yang juga pernah menjadi bagian dari anggota BPUPKI, keduanya pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah dan bergelut dengan dinamika kebijakan kolonial.
Keunikan PUI terletak pada proses pembentukannya yang bermula dari fusi dua organisasi lokal di Jawa Barat bernama Perikatan Ummat Islam dan Persatuan Ummat Islam Indonesia pada 5 April 1952 di Sukabumi.
Perikatan Ummat Islam (POI)
Berawal dari kepulangan KH Abdul Halim dari Mekkah, didirikanlah jam’iyah atau organisasi Hayatul Qulub. Ia menitik beratkan pada pemberdayaan ekonomi dan pendidikan.
Situasi yang melatari saat itu adalah persaingan antar warga sekitar dengan para pedagang cina.
Dengan demikian, program yang dicanangkan berkisar pada penguatan komunal berbasis ekonomi. Di antaranya adalah penarikan iuran untuk mendirikan perusahaan tenun bersama.
Selain ekonomi, ada pula program pendidikan dengan meyelenggarakan pengajaran agama. Hanya saja, dikarenkan adanya insiden perkelahian dengan pedagang Cina, dan kemudian pemerintah kolonial menganggapnya sebagai sumber persoalan maka Hayatul Qulub dibubarkan pada tahun 1915.
Aktivitas advokasi ekonomi boleh berakhir, tapi perjuangan di bidang pendidikan masih berlangsung. Maka selanjutnya, fokus KH Abdul Halim beralih ke Majlisul Ilmi (berdiri 1912) yang dulu di digarapnya pada saat Hayatul Qulub masih eksis.
Untuk memperkokoh misi pendidikan, KH Abdul Halim atas dukungan berbagai pihak termasuk kepala penghulu Majalengka pada saat itu yang juga mertuanya KH Moh Ilyas, dibentuklah Jam’iyat I’anat al-Muta’allimin pada tahun 1916.
Gerakan pendidikan KH Abdul Halim sempat mendapat penolakan dari kalangan tradisional karena memperkenalkan sistem kelas dalam pembelajaran. Pada masa itu, pendidikan tradisional umumnya masih menggunakan sistem halaqah.
Sistem kelas identik dengan Eropa yang kristen dan kolonialis, sehingga meniru apa yang menjadi adat kebiasaan mereka dianggap menyerupai. Bagi kalangan tradsional saat itu, menyerupai orang kafir diharamkan.
Akan tetapi, KH Abdul Halim tidak putus arang. Jam’iyat I’anat al-Muta’allimin tetap berlanjut. Beliau dalam hal ini senantiasa menjalin hubungan dengan berbagai pihak untuk memperkuat dakwah dan perjuangannya. Di antaranya al-Irsyad dan Jam’iyat Khair di Jakarta dan HOS Tjokroaminoto. Untuk tokoh terakhir, ini disebabkan karena posisi KH Abdul Halim yang memang merupakan anggota Syarekat Islam (SI).
Itu sebabnya, atas dorongan Tjokroaminoto, Jam’iyat I’anat al-Muta’allimin diajukan sebagai badan hukum dengan berganti nama terlebih dulu menjadi Persyarikatan Ulama (PO). Pemerintah Hindia Belanda mengakui dan mengesahkan PO pada tanggal 21 Desember 1917.
Dalam kurun 1917-1924, PO berhasil membuka cabang di Jatiwangi, Maja, Talaga, Kadipaten, Dawuan, Sukahaji, Bantarujeg, Rajagaluh, Jatitujuh, dan Leuwimunding. Sedangkan cabangnya yang berhasil didirikan hingga keluar Majalengka meliputi Semarang, Pamekasan, Purwokerto (Banyumas), dan Tebing Tinggi (Sumatera).
selain membuka cabang, PO juga mendirikan organisasi-organisasi sayap yang bergerak di ranah kepemudaan dan keperempuanan. Pada tahun 1929, didirikan Hizbul Islam Padvinders Organisatie (HIPO), organisasi bersifat kepanduan bagi pemuda PO.
Tahun 1932 PO mendirikan Perikatan Pemuda Islam (PPI) yang kemudian diubah menjadi Perhimpunan Pemuda Persyarikatan Ulama Indonesia (P3OI). Tidak lama setelahnya didirikan Perhimpunan Anak Perempuan Persyarikatan Ulama. Terkhir ada Fatimiyah, organisasi yang menaungi perempuan PO tahun 1930.
Memasuki era penjajahan Jepang, PO dibekukan oleh pemerintahan Militer Jepang tahun 1942. Baru kemudian setelah KH Abdul Halim mempertimbangkan dan memasukan tujuan-tujuan Persemakmuran Asia Timur Raya ke dalam Anggaran Dasar dan namanya diubah menjadi Perikatan Ummat Islam (POI), Pemerintahan Jepang mengakui dan mengesahkannya pada 1 Februari 1944. Tiga bulan kemudian, POI bergabung dengan Masyumi bentukan Jepang pada 25 Mei 1944.
Persatuan Ummat Islam Indonesia (POII)
Dalam buku berjudul “Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat” karangan Nina Lubis dkk., sekitar tahun 1931, para ulama melakukan pertemuan di Pesantren Babakan Cicurug, Sukabumi yang menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan mendirikan sebuah organisasi yang akan diberi nama al-Ittihadiyatul Islamiyyah (AII).
Setelah mendapat persetujuan KH Ahmad Sanusi, AII akhirnya resmi didirikan pada awal November 1931. KH Ahmad Sanusi pada saat itu sedang ditahan di Batavia Centrum, lokasi yang kemudian juga menjadi kantor pusat AII.
Meskipun resminya AII sebagai organisasi keagamaan, namun acapkali masuk juga ke ranah politik dengan tujuan untuk menggugah kesadaran politik (nasionalisme) di kalangan anggotanya. Bahkan pada tahun 1932, AII mengeluarkan pernyataan bahwa Bangsa Indonesia harus memperjuangkan tanah airnya demi harga diri sebagai sebuah bangsa.
Komitmen AII dibuktikan dengan pendirian organisasi sayap sebagai penunjang perjuangan. Di antaranya Barisan Islam Indonesia (BII) tahun 1937 yang kemudian menjadi inti dari laskar perjuangan Hizbullah. Untuk perempuan AII, didirikan Zainabiyah pada tahun 1941.
Nasib AII ketika memasuki era pendudukan Jepang juga seperti yang dialami POI. AII dibubarkan karena tidak sehaluan dengan misi politik Jepang.
Baru kemudian pada tanggal 1 Februari 1944, setelah mengalami penyesuaian anggaran dasar dan tujuan organisasi, AII didirikan kembali dengan berganti nama menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia (POII).
Dalam situs resminya, pui.or.id menambahkan bahwa didirikannya POII tidak terlepas dari kegundahan hati dan pemikiran para alim ulama Priangan Barat yang mendapat serangan pemikiran secara bertubi-tubi dan membabi buta dari kelompok puritan Majelis Ahli Sunnah Cimalame (MASC) Garut yang disinyalir merupakan salah satu bagian dari strategi pecah belah (divide et impera) pemerintah kolonial.
Fusi POI dan POII
Penyatuan POI dan POII atau PUI dan PUII dalam ejaan sekarang menjadi Persatuan Ummat Islam biasa disingkat PUI sebetulnya bukan sesuatu yang mengagetkan. Hal ini dikarenakan kedua tokoh pendirinya yakni KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi memiliki kedekatan yang sudah terjalin lama.
Keduanya tercatat pernah sama-sama menimba ilmu di Mekkah, sama-sama pernah menjadi anggota Sarekat Islam, sama-sama di MIAI dan Masyumi dan bahkan sama-sama anggota BPUPKI. Jadi, nyaris tidak ada perbedaan yang berarti dari visi perjuangan yang dilakukan keduanya.
Pembicaraan mengenai fusi dua organisasi tersebut konon sudah terjadi sejak lama. Akan tetapi momentum belum kunjung berpihak hingga tahun wafatnya KH Ahmad Sanusi tahun 1950.
Pada tahun yang sama, Syamsudin selaku wakil ketua POII dan sedang menjabat Duta Besar RI untuk Pakistan berkirim surat kepada KH Abdul Halim. Akan tetapi tidak berselang lama Syamsuddin wafat. Dengan demikian KH Abdul Halim belum sempat bertemu dengan Syamsuddin.
Setelah melangsungkan rapat internal POI dan mendapatkan persetujuan, KH Abdul Haim akhirnya berkorespondensi dengan POII untuk membicarakan fusi. Hari bersejarah itu terjadi pada tanggal 5 April.
Setelah fusi, kepemimpinan PUI dipegang oleh Djunaidi Mansur sebagai Ketua I dari unsur POI dan R Utom Sumaatmadja sebagai ketua II dari unsur POII. Sedangkan KH Abdul Halim menjabat sebagai Dewan Penasehat.
PUI didirikan dengan tujuan melaksanakan syariah islamiyah ahlussunnah wal jama’ah. Untuk mewujudkan itu, PUI akan senantiasa menekankan pada nilai-nilai ukhuwah islamiyah dan akan melakukan kerja sama dengan badan atau lembaga lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum.
Fusi PUI juga diikuti oleh fusinya organisasi sayap di bawahnya. Pada muktamar PUI ke-1 10-14 Oktober 1952 misal, organisasi Fatimiyah (wanita perikatan Ummat Islam) berfusi dengan Zainabiyah (Wanita Persatuan Ummat Islam Indonesia).
Peranan yang diambil PUI di masa-masa selanjutnya lebih ditekankan pada pendidikan dan sosial. Banyak sekolah-sekolah di bawah naungan PUI tersebar di Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah dicontohkan oleh kedua pendirinya yakni KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi.
Organisasi yang lahir dan mayoritas pengikutnya di Jawa Barat ini hingga tahun 2006 tercatat sudah memiliki cabang di 24 kabupaten dan kota. []