Sejarah Persatuan Islam, dari Diskusi ke Aksi
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Indonesia terkenal dengan tradisi komunalnya. Banyak isu atau bidang tertentu yang berkembang sehingga kemudian menghasilkan sebuah komunitas atau organisasi. Salah satunya isu-isu keagamaan.
Tidak heran jika di Indonesia dapat ditemukan begitu banyak organisasi keagamaan.
Seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Umat Islam (PUI), Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII), al-Irsyad, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Persatuan Islam (Persis) dan masih banyak lagi.
Di antara berbagai organisasi tersebut, selain untuk tentunya tujuan dakwah jika dilihat dari latar belakang, orientasi dan paham yang dikembangkannya terbagi lagi menjadi beberapa kategori.
Ada yang lebih menekankan pada modernisme Islam, biasanya menekankan pada aspek pendidikan dan pembaharuan ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Ada yang puritan, biasanya berfokus pada pemurnian praktik dan paham keagamaan yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis.
Ada yang tradisionalis, biasanya lebih kepada upaya melestarikan tradisi keberagamaan yang dianggap memiliki dalil syar’i yang kuat.
Ada pula yang berfokus pada agenda-agenda politik Islam, meanjadikan Islam sebagai spirit perjuangan meraih dan menentang kekuasaan yang sedang berlangsung.
Salah satu organisasi yang bakal dibicarakan di sini adalah Persatuan Islam atau yang biasa disingkat Persis.
Organisasi Islam yang berdiri dan besar pengaruhnya di Jawa Barat, terutama Bandung.
Menurut buku “Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam” karya Dadan Wildan Anas dkk., Persis didirikan secara resmi pada hari Rabu tanggal 1 Shafar 1342 H, bertepatan dengan tanggal 12 September 1923. Didirikan di Bandung, di sebuah gang bernama Gang Pakgade.
Konon, di depan gang dulunya berdiri tempat pegadaian milik pemerintah sehingga biasa disebut Gang Pakgade.
Berbeda dengan sejarah awal pendirian organisasi Islam pada umumnya, yang biasanya berangkat dari titik peristiwa penting tertentu atau gagasan besar pendirinya, Persis bermula dari sekelompok orang Islam yang tertarik dengan studi keislaman.
Dipimpin oleh H Zamzam dan H Muhammad Yunus, kelompok diskusi tersebut akhirnya merambah kepada aspek yang lebih luas sehingga menjadi organisasi formal dalam bentuknya yang sekarang.
Persis identik dengan debat. Dakwahnya kental dengan nuansa perdebatan yang tentu saja bersifat ilmiah dan mengedepankan etika. Tokohnya yang terkenal dalam hal ini adalah Ahmad Hassan.
Selain berdebat, Persis juga identik dengan literasi. Mereka sangat rajin menerbitkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan dakwah dan sikap keagamaannya.
Beberapa media yang menjadi corong dakwahnya adalah al-Fatwa, al-Lisan, al-Taqwa, al-Hikam, Risalah, Iber, dan Pemuda Persis Tamaddun.
Persis juga aktif menerbitkan buku, beberapa di antaranya Kitab Talqin Orang Wet (Kitab Talqin menurut Hukum Islam), Kitaab Ribaa, Risalah Pendjawab Debatan T. Soelaiman, Qamoes al-Baja dan al-Furqan.
Topik-topik awal yang menjadi fokus wacana dakwahnya sebagaimana dijelaskan Wildan Anas, berkisar di isu kegamaan. Antara lain dari sisi perpecahan, kejumudan, khurafat, tahayul, dan bid’ah.
Maka tidak heran jika dalam Qanun Asasi-nya, Persis mencantumkan “mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan al-Qur’an dan as-Sunnah” dan “membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taqlid, dan syirik dalam kalangan umat Islam” sebagai bagian dari tujuan dan cita-citanya.
Selain berdebat dan publikasi media, Persis juga aktif di ranah pendidikan. Tahun 1927, Persis menyelenggarakan kelas bagi pemuda yang sedang menempuh pendidikan sekolah menengah pemerintah Belanda dan ingin mempelajari Islam. Dalam hal itu, A Hassan bertindak sebagai gurunya.
Tahun 1930, Persis mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang digunakan Persis sebagai fasilitas pertama bagi sekoah menengah dan sekolah guru di Bandung. Pendis dipimpin Mohammad Natsir 1932 dan kemudian mendirikan sekolah menengah pertama (MULO). Pada tahun 1938 sudah mendirikan sekolah setingkat HIS di lima tempat di pulau Jawa.
Selain Pendis, Persis juga mendirikan pesantren pada tahun 1936 yang disebut “Pesantren Persatuan Islam”. Di pesantren ini, A Hassan yang menjadi direktur dan kepala sekolahnya sedangkan M Natsir sebagai penasihat dan guru di sana. Tahun 1940, pesantren Persis berpindah ke Bangil Jawa Timur.
Persis juga aktif melancarkan kegiatannya pada aspek dakwah. Mubalig-mubalignya yang terkenal saat itu A Hassan, Muhammad Yunus, Muhammad Zamzam, E. Abdurrahman, Fachruddin al-Khahiri, KH M Romli, O Qomaruddin, Abdul Razak, Abdullah Ahmad, Muhammad Ali, dan H. Azhari.
Di dunia pergerakan politik, persis tidak kalah vokal. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, ulama Persis termasuk yang menolak tradisi seikerei karena membahayakan akidah. Oleh karenanya, A Hassan, M Isa Anshary dan Eman Sar’an menjadi sasaran penyiksaan Jepang.
Persis juga termasuk organisasi yang berperan dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri 1935. Di MIAI, Persis yang diwakili A Hassan, dipercaya sebagai ketua Pembela Islam dari aliran-aliran yang dianggap dapat menghancurkan Islam.
Pada tanggal 8 Nopember 1945, Masyumi didirikan di Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, 1948 Persis bergabung dan kemudian mengantarkan tokohnya Mohammad Natsir menjadi pimpinan Masyumi. Persis juga turut serta menjadi bagian dari laskar Hizbullah dan Sabilillah yang merupakan organisasi paramiliter bentukan Masyumi.
Sebagaimana sikap politik Masyumi, Persis ikut menolak Nasakom yang dicanangkan Soekarno. Penolakan tersebut tertuang dalam manifesto politik Persis yang keluar pada tanggal 4 Maret 1957. “Menolak konsepsi Bung Karno yang hendak membawa ikut sertanya kaum komunis ke dalam pemerintahan Republik Indonesia”, demikian salah satu point putusannya.
Meski demikian, keterlibatan dan langgam berpolitik Persis biasanya mengikuti irama kepemimpinan dan situasi eksternal yang mengitarinya. Seperti dikutip dalam artikel berjudul “Metode Dakwah dan Sikap Politik Persatuan Islam dari Masa ke Masa” dalam situs tirto.id “Jika Ahmad Hassan menjadi peletak dasar prinsip-prinsip Persis yang bersifat pemikiran keagamaan, maka M. Natsir dan Isa Anshary bersikap amat politis dan aktif dalam pelbagai tikungan tajam politik nasional”.
Sikap Persis yang bergeser dari politik praktis ke dimensi dakwah dan pendidikan terlihat ketika organisasi dipimpin oleh KH Endang Abdurrahman (1962-1983).
Meskipun di masa ketua umumnya yakni KH Abdul Latief Muchtar sempat bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Persis kembali fokus pada kegiatan pendidikan dan dakwah. []