Riwayat Surau Syekh Paseban
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Surau menjadi bagian penting dalam pemajuan Islam di negeri ini. Sekian ulama produktif yang mashur juga tumbuh dan berkembang melalui surau.
Mereka belajar, mengamalkan, serta memaknai keberislamannya dari bilik-bilik surau.
Barangkali Surau Syekh Paseban jadi salah satu surau yang memiliki nilai sejarah penting bagi keberislam di negeri ini.
Lantaran Syekh Paseban sendiri pada masanya merupakan ulama tarekat Syattariyah yang mashur di wilayah Koto Tengah, Padang.
Tentu saja ada sekian murid yang belajar menempa kedalaman laku berislam di surau miliknya.
Surau Berliterasi
Surau Syekh Paseban tercatat sebagai surau yang aktif dan melek literasi. Karena di dalamnya terdapat aktivitas menulis sekaligus menyalin kitab-kitab para ulama mashur terdahulu.
Selain itu surau tersebut juga digunakan untuk laku peribadatan bernilai pahala, seperti lazimnya surau lain di sekitarnya.
Kendati begitu, aktivitas berliterasi ini dapat dikatakan masih terbatas dalam konteks ruang geraknya.
Karena menulis serta menyalin hanya boleh dilakukan di mihrab surau, lokasi kitab tersebut disimpan. Kitabnya tidak diperbolehkan untuk dibawa keluar mihrab.
Keterangan ini bisa kita baca dalam naskah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala ‘Anhu.
Naskah tersebut ditulis oleh muridnya, Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib pada 1936. Ketika itu ditulis, Syekh Paseban sudah memasuki usia renta, sekitar 120-an tahun dari kelahirannya di tahun 1817.
Kita bisa menduga aturan tidak diperbolehkannya kitab dibawa keluar, salah satunya untuk menjaga nilai sakral dari sebuah kitab keagamaan di surau tersebut.
Karena bagaimanapun, adab dalam menjaga kitab menjadi laku penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Syekh Paseban Melawan Kolonial
Selain menjaga nilai sakralitasnya, aturan tersebut juga sebagai strategi agar pihak kolonial tidak bisa mengintervensi laku sosial-keagaman Syekh Paseban melalui ajaran-ajarannya.
Ulama yang lahir pada 1817 ini memang terbilang aktif menyerukan perlawanan kepada pihak kolonial.
Pemilik nama Keraping dengan gelar Sidi Alim ini mengajak para santri dan masyarakat yang mukim di sekitar surau untuk tidak membayar pajak kepada kolonial.
Perlawanan ini akhirnya membuat kolonial bergerak. Mereka menangkap dan menahan Syekh Paseban untuk mengurangi pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat.
Beberapa tahun kemudian, Syekh Paseban dibebaskan. Alih-alih kapok lantas mengurangi gerak kritiknya kepada kolonial, suara Syekh Paseban malah lebih lantang.
Berbagai cara untuk menangkap Syekh Paseban kembali dilakukan pihak kolonial. Hanya saja upaya tersebut terus-menerus menuai kegagalan.
Salah satu penangkapan yang diupayakan pihak kolonial adalah dengan memberikan bintang penghargaan kepadanya, karena dinilai berjasa pada masyarakat di sekitarnya.
Syekh Paseban tentu saja menolaknya dengan tegas. “Yang akan memberi saya bintang adalah Allah, tidak Belanda”, ucapnya.
Dari riwayat tersebut, Ahmad Taufik Hidayat dalam disertasinya Respon Lembaga Islam Tradisional Terhadap Perubahan Sosial 1921-1950; Studi Atas Manuskrip Kuno di Surau Paseban (2009) menggarisbawahi, kitab dan gerak literasi di Surau Syekh Paseban menjadi semacam simbol perlawanan kepada kolonial.
Lebih lanjut tulisnya, “… di dalam surau (Syekh Paseban) pengetahuan keislaman dan moral diajarkan menurut konteks adat yang berlaku, sehingga menjadikan manusia Minangkabau bermoral dengan spirit adat dan Islam.”
Maka dari itu mafhum bila Syekh Paseban menentang dengan keras upaya kolonialisasi di wilayah surau dan masyarakat sekitarnya.
Karena di bumi milik-Nya, baik dalam nilai adat maupun ajaran Islam, setiap manusia memiliki kedudukan setara. Titik bedanya hanya ada pada kualitas takwa yang ditunaikan melalui pengamalan peribadatan.
Syekh Paseban wafat pada 1937 dengan peninggalan naskah berjumlah ratusan. Naskah itu dulunya tersimpan rapi di mihrab surau. Tetapi belakangan hanya tersisa 25 naskah saja. Beberapa hilang, dan sisanya rusak karena termakan usia. []