Peringatan Maulid Nabi dari Masa Ke Masa
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ada beberapa pendapat tentang asal usul peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di antaranya dalam kitab Wafa’ al-Wafa bi Akhbar Dar al-Musthafa karya Nuruddin Ali bin Abdullah al-Samhudi disebutkan bahwa peringatan maulid al-nabi pertama kali diinisiasi oleh Khaizuran binti Atha’ al-Jarsyiyah (w. 173 H/789 M).
Seorang budak perempuan milik Al-Mahdi, khalifah ketiga Dinasti Abbasiyah yang kemudian dijadikan istri khalifah.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikarunia 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Dua anak laki-lakinya bernama Musa dan Harun al-Rasyid.
Sedangkan anak perempuannya meninggal ketika masih kecil.
Khaizuran menyambangi Madinah untuk memerintahkan masyarakat setempat mengadakan perayaan maulid Nabi Muhammad yang berpusat di masjid Nabawi.
Sementara untuk penduduk Mekkah, diperintahkan untuk perayaan maulid di rumah-rumah mereka.
Peringatan Maulid Oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa peringatan maulid pertama kali dilaksanakan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir pada masa pemerintahan Abu Tamim Maad al-Mu’iz Lidinillah, khalifah keempat Dinasti Fatimiyah (341-365 H/952-975 M).
Sebagaimana dinyatakan dalam Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi karya Hasan al-Sadubi.
Selain maulid al-Nabi, Muiz juga menyeru kepada rakyatnya untuk mengadakan maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah al-Zahra’, maulid Hasan dan maulid Husain bin Ali.
Setelah Mu’iz Lidinillah wafat, tradisi peringatan maulid dilanjutkan oleh anak dan cucu-cucunya, dan diikuti oleh hampir semua masyarakat di Mesir.
Kemudian tradisi ini menyebar ke berbagai negera seperti Syam, Mosul, Yaman, Afrika, dan Maroko.
Namun ketika kursi kekhalifahan Muiz Lidinillah digantikan oleh al-Musta’la Billah tahun 488 H/1095 M.
Salah seorang menterinya yang bernama al-Afdhal Syahansah bin Amir al-Juyusy Badr al-Jamali memerintahkan orang-orangnya agar melarang dan menghapus tradisi perayaan/peringatan maulid, sehingga selama 100 tahun lebih di Mesir vakum dari perayaan-perayaan maulid.
Hingga pada masa pemerintahan khalifah Al-Amir bi Ahkamillah tahun 495 H/1102 M, tradisi maulid dihidupkan dan disyi’arkan kembali yang sebelumnya telah hilang di bumi Mesir.
Ia memerintahkan para ustaz (asisten khalifah, yang diantara tugasnya menuliskan surat khalifah untuk para menterinya, mengurusi perbendaharaan negara dan lain-lain), para menteri, tokoh agama, para qadhi (hakim agung), para da’i untuk bersama-sama mengadakan peringatan-peringatan maulid Nabi Muhammad dan menyeru kepada rakyat di seluruh Mesir agar menghidupkan kembali tradisi mulia itu.
Pada saat peringatan tersebut, khalifah memerintahkan Sina’ al-Mulk bin Muyassar untuk membagi-bagikan 6.000 dirham, 40 piring kue, 400 ritl (163.200 gram) manisan, 1.000 ritl (408.000 gram) roti, caramel, buah badam, madu, dan minyak wijen kepada para fakir miskin.
Peringatan maulid tersebut selalu dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awwal dari pagi sampai zuhur. Diisi dengan pemabacaan al-Qur’an, ceramah agama dan diakhiri dengan do’a.
Peringatan Maulid Oleh Dinasti Ayyubiyah di Mesir
Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir kurang lebih 168 tahun di Mesir. Dinasti ini adalah representasi dari Islam Sunni yang beretnis Kurdi.
Ketika Mesir dikuasai oleh Bani Ayyubiyah, peringatan maulid Nabi Muhammad awalnya diinisiasi oleh Salahuddin al-Ayyubi, panglima besar sekaligus khalifah pertama Dinasti Ayyubiyah untuk memberi semangat para tentara perang dengan cara mencontoh kepribadian Nabi dalam rangka membangkitkan semangat jihad dalam melawan para pasukan Salib.
Ada juga yang mengatakan bahwa perintis peringatan maulid adalah Muzhaffaruddin al-Kaukabri, ipar dari Salahuddin al-Ayyubi yang merupakan penguasa di Irbil (Irak).
Perayaan maulid yang digelar oleh Muzhaffaruddin sangat megah. Seluruh rakyat dan para ulama diundang.
Termasuk tamu dari manca negara. Pada puncak maulid, ia menghidangkan 5 ribu kepala kambing panggang, 10 ribu ekor ayam, 100 kuda yang disembelih, 100 ribu keju dan 30 ribu piring manisan.
Setiap tahun, Muzhaffaruddin menganggarkan dana untuk peringatan maulid Nabi sebanyak 300 ribu dinar.
Para tamu mancanegara dengan berbagai latar belakang dan golongan disediakan tempat jamuan.
Dana yang disiapkan untuk penjamuan tersebut sebanyak 100 ribu dinar.
Pada setiap tahun, ketika peringatan maulid diselenggarakan, penguasa Irbil tersebut menyiapkan dana sebanyak 30 ribu dinar untuk para tamu dari Mekkah dan Madinah, termasuk biasa suplai air dari Hijaz, dan 200 ribu dinar untuk para tawanan muslim Furinji.
Ibnu Khalikan mengatakan bahwa saat para tamu, khususnya dari mancanegara pulang, mereka menggagas peringatan/perayaan maulid di daerahnya sendiri-sendiri, sehingga maulid menyebar ke berbagai negara dengan cepat.
Munculnya Kitab al-Barzanji
Menurut sebagian pendapat, kitab al-Barzanji yang bernama sebenarnya al-Iqad al-Jawahir atau sebagian ulama menyebutnya Iqad al-Jawahir fi Maulid al-nabiyyi al-Azhar digubah untuk tujuan meningkatkan rasa mahabbah kepada Rasulullah saw.
Namun ada yang menyatakan bahwa kitab maulid karya Sayyid Ja’far al-Barzanji asal Kurdi disusun ketika mengikuti sayembara penulisan riwayat kehidupan Nabi dan pujian-pujian terhadapnya yang diselenggarakan oleh Salahuddin al-Ayyubi.
Waktu itu, seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti sayembara tersebut.
Finalis sekaligus pemenangnya adalah Sayyid Ja’far al-Barzanji, yang di kemudian hari terkenal sebagai kitab maulid yang banyak digunakan dan dibaca, khususnya di Indonesia.
Meski begitu, dengan pertimbangan jarak waktu antara kedua tokoh tersebut, yaitu bahwa Salahuddin al-Ayyubi lahir tahun 532 H/1138 dan Sayyid Ja’far al-Barzanji lahir tahun 1126 H/1711 M, maka tampaknya pendapat pertamalah yang benar. Mengingat jarak kelahiran mereka yang terpaut lebih dari 500 tahun.
Peringatan Maulid Di Indonesia
Di Indonesia, perayaan maulid dengan kitab al-Barzanji sebagai teks bacaannya dikenalkan oleh orang-orang Persia yang notabene berpaham Syi’ah.
Mereka datang ke Indonesia untuk tujuan berdagang, iras-irus menularkan kebudayaan khas mereka kepada masyarakat Indonesia.
Ada juga yang menyatakan bahwa perayaan maulid di Indonesia diperknalkan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) asal Hadhramaut, Yaman penyebar Islam di Nusantara, khususnya pantai utara Jawa.
Pada perkembangannya, perayaan maulid tidak hanya menggunakan kitab induk al-Barzanji sebagai bacaan rutin, tetapi juga menggunakan kitab dhiba’ karya Syaikh Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad al-Syaibani al-Yamani (1461-1537 M), dan Simtu al-Durar karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (1839-1865 M).
Di Indonesia sendiri, perayaan maulid sangat plural dan variatif tergantung daerah dan wilayahnya masing-masing. []