Perempuan Indonesia Era Digital
HIDAYATUNA.COM – Mulanya, anggapan terhadap perempuan masih seputar kasur, dapur dan sumur. Sebuah kenyataan yang pahit bagi perempuan, khususnya di Indonesia. Akses terhadap pendidikan, politik dan kebudayaan masih jauh dari keseharian perempuan.
Apalagi ada kontruksi bahwa perempuan adalah pendidikan pertama untuk anak-anaknya. Hal ini menambah rentetan dogma yang wajib dipikul oleh kaum perempuan.
Seolah-olah, perempuan hanya bertugas untuk menjaga anak di rumah, mengajari banyak hal tentang dunia yang dipahami oleh perempuan. Tentu sesuai kapasistasnya.
Dalam hal ini, saya malah teringat buku Feminisme Sebuah Pengantar Singkat (2021) karya Margaret Waltres yang diterjemah oleh Devi Santi Ariani. Margaret Waltres menelusuri lebih jauh gerakan feminisme yang ada di dunia global.
Bagaimana gerakan perempuan selalu dipatahkan oleh kekuasaan, tetapi hal itu justru menjadi semangat tersendiri bagi perempuan. Terutama untuk selalu menemukan celah dalam gerakannya, seperti misalnya, perempuan-perempuan mengurung diri di biara, tabah terhadap apa yang direduksi oleh kaum laki-laki atau bahkan ini doktrin agama.
Feminisme di Indonesia
Meskipun pada nyatanya ada yang pasrah, menganggap bahwa ini bentuk kepatahun dan jalan mencari ketenangan surga, tetapi yang lain justru berasumsi bahwa ini merupakan neraka di dunia.
Semangat perempuan untuk keluar dari keterpurukan sosial, budaya dan ekonomi terus mengalir sesuai dengan zamannya masing-masing, begitu pun di Indonesia. Di antaranya pandangan terhadap feminisme Indonesia terhadap kondisi kerja di sekor industri, menjadi buruh perusahaan besar, TKW yang tidak menemukan kesejahteraan, dan dieksploitasi upayanya.
Masalah belum selesai sampai di situ, setelah era industrialisasi di perkotaan mencuat, disusul lagi di era reformasi dengan krisis nasional di Indonesia. Situasi seperti ini menjadikan ruang gerap perempuan semakin suram.
Untungnya situasi seperti itu mampu memberi pengaruh besar terhadap berbagai pergerakan feminisme di Indonesia. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh perempuan tidak hanya fokus terhadap isu gender yang membela buruh wanita.
Tetapi juga memulai bergeser terhadap pembelaan pada anak-anak, pembela pada rakyat miskin yang dipelopori oleh Wardah Hafiz, dan dalam demokrasi Ratna Sarumpaet sebagai pelopornya.
Perempuan dalam Pusaran Sosial
Di era reformasi, kemunculan organisasi perempuan yang membangkitkan kembali semangat para reformis perempuan layaknya di tahun 1930-an. Mereka tidak hanya berjuang untuk kalangan perempuan sendiri, tetapi justru melebarkan sayap untuk hadir membela dan memikirkan nasib masyarakat marjinal, rakyat kecil dan LSM, seperti Wardah Hafiz.
Kelompok-kelompok perempuan yang menamakan Suara Ibu Peduli hadir merangkul dunia anak-anak. Sedangkan Ratna Sarumpaet lewat organisasi teater memperjuangkan demokrasi dan hak buruh perempuan. Sementara di bidang supremasi hukum, Nursyahbani Kacasungkana turut membela wanita dari obyek kekerasan dan kejahatan.
Reformasi bukan satu-satu era yang menjadikan perempuan keluar sepenuhnya dari penjara kesuraman masa lalu. Tetapi justru makin banyak celah yang mampu memanipulasi perempuan di ruang-ruang publik melalui iklan. Di antaranya seperti di televisi, majalah, surat kabar yang mengarah kepada pornografi, gambar-gambar perempuan terus dikonsumsi oleh pemudal.
Hal ini terus berlanjut sampai sekarang, di mana dengan hadirnya internet dunia semakin gampang orang mengakses apa saja. Termasuk hak-hak perempuan yang direduksi sedemikian rupa.
Dengan gambaran seperti di atas, para aktivis perempuan justru mempunyai peluang besar untuk melakukan gerakan lewat digitalisasi gerakan feminisme. Optimalisasi di ruang-ruang digital menjadi sarana penting meningkatkan gerakan sampai ke akar rumput.
Mengingat masyarakat Indonesia sudah mencapai 202,6 juta atau 73,7 persen dari populasi 274,9 juta jiwa pada bulan Januari 2021 kemari, dilansir dari Kompas.co. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sudah melaksanakan ritual interaksi sosial di ruang virtual.
Dengan demikian, maka gerakan feminisme juga harus hadir di situ. Sebagai upaya untuk mentransfer pengetahuan dan kerja-kerja kesetaraan dan hak perempuan.
Literasi dalam Gerakan Feminisme
Feminisme ini bukan gudang pemberontakan yang mesti ditakuti oleh siapa pun, melainkan wadah yang perlu diapresiasi sebagai bentuk kesetaraan hak perempuan. Baik pendidikan, sosial, politik dan ekonomi. Lebih-lebih hari ini, di mana pandemi covid-19 masih menjebak masyarakat Indonesia pada dilema, lemahnya ekonomi, krisis keteladanan, dan akses pendidikan yang semakin timpang.
Maka, diperlukan gerakan perempuan yang justru menjadi penyangga terhadap krisis hari ini. Di mana peran perempuan di ruang digital sangat urgen sekali.
Salah satunya menyiapkan konten yang positif, menarasikan kekerasan terhadap perempuan tanpa menyakiti korban. Barangkali juga membuat poster yang sifatnya edukasi pada anak-anak remaja untuk menanggulangi kehamilan di luar nikah.
Kerja-kerja semacam ini perlu diperhatikan, mengingat akses terhadap informasi tidak bisa dibendung. Selain dengan narasi yang lebih positif dan mengarah pada kebaikan bersama. Di era ini, saatnya perempuan ditempatkan sebagai subjek yang perannya sangat penting dalam membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan.
Apalagi pembelajaran jarak jauh sudah dimuali sejak awal pandemi, anak-anak, siswa dan mahasiswa mulai gelisah. Ada yang benar-benar memeras peluh untuk bisa mengakses pengetahuan. Maka kehadiran perempuan di ranah media sosial juga perlu dilihat dan diperhatian, lebih-lebih memberi ruang untuk berkarya untuk bangsa.
Sekarang bukan waktunya membedakan laki-laki dan perempuan dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Semuanya sama, yang berbeda hanya soal keinginan untuk berperan.