Menjaga Mulut di Era Digital

Pasca Serangan Masjid Christchurch, Ujaran Kebencian Online Anti Muslim Meningkat (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Mulut merupakan bagian terpenting dalam organ tubuh kita. Baik dan buruknya seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia menggunakan mulutnya.
Bila kata-kata kotor yang keluar darinya, maka seperti itulah cerminan dirinya. Sebaliknya, orang yang berkepribadian baik akan selalu berusaha menjaga mulutnya dari mengucapkan kata-kata kotor, keji, dan kasar yang dapat menyakiti dan melukai sesama.
Di era serba internet seperti sekarang ini, orang-orang dengan begitu bebasnya mengeluarkan kata-kata kotor melalui media sosial. Misalnya, saat terjadi hal-hal yang memicu kontroversi, orang-orang begitu enteng dan seenaknya menuliskan komentar yang bernada menghujat, mencaci, memaki, mengutuk, melaknat, bahkan mengazab sesama.
Mestinya, bila kita mengaku orang yang berpendidikan dan memahami ajaran agama dengan baik. Persoalan apa pun yang memicu kontroversi, kita akan berusaha hati-hati dalam bersikap dan tak mudah terpancing untuk mengeluarkan kalimat kotor.
“Mulutmu harimaumu”, pepatah bijak ini tentu telah sering kita dengar. Pepatah singkat namun bila direnungi memiliki kandungan makna yang begitu dalam.
Betapa tidak, mulut yang mestinya dianjurkan agar selalu bertutur kata manis tapi tiba-tiba bisa berubah menjadi mulut binatang buas bernama harimau. Mulut diibaratkan harimau yang dapat menerkam dan mencelakai diri sendiri bila kita tak berusaha menjaganya dengan baik.
Semua Berawal dari Lisan
Banyak orang yang bertengkar, bersengketa, bermusuhan, saling menyimpan dendam satu sama lain, hanya gara-gara mereka tak mampu menjaga mulutnya dengan baik.
Bahkan yang lebih mengerikan lagi bila ada orang yang tega membunuh sesama gara-gara merasa tersinggung dan tidak terima dengan kata-kata kotor orang lain. Sungguh sangat mengerikan dampak buruk yang ditimbulkan dari orang yang tak mampu menjaga mulutnya.
Lantas, bagaimana tindakan atau sikap kita saat ada orang yang mengeluarkan kata-kata kotor kepada kita? Misalnya, ketika ada orang yang tak menyukai kita lantas dengan entengnya mencaci maki kita.
Tak perlu-lah kita meladeninya dengan membalas caci maki. Sebab bila caci maki dibalas dengan caci maki, maka apa bedanya kita dengan orang tersebut?
Ketika kita membalas dengan hal serupa, percayalah dia akan semakin beringas mengeluarkan kata-kata yang lebih kotor. Jadi, abaikan saja, jangan ladeni. Tak perlu resah saat dihina dan dicaci maki, karena ucapan yang buruk akan kembali kepada pelakunya.
Membaca Kisah Hidup Nabi
Salah satu cara agar kita bisa terhindar dari mengucapkan kata-kata kotor ialah dengan memperbanyak membaca sejarah hidup Rasulullah Saw. Bagaimana saat beliau bergaul dengan keluarga, para sahabat, masyarakat sekitar, dan orang-orang yang membencinya.
Dengan siapa pun, beliau selalu menampakkan wajah yang ramah dan tutur katanya selalu menyejukkan hati. Rasulullah Saw sebagaimana kita ketahui bersama, adalah sosok sempurna yang diutus oleh Allah SWT. membawa ajaran Islam yang penuh dengan kedamaian dan cinta kasih.
Beliau selalu memperlakukan siapa saja dengan baik, termasuk dengan orang yang berbeda keyakinan. Bahkan terhadap mereka yang jelas-jelas memperlakukan beliau dengan semena-mena, tapi beliau justru tak membalasnya dengan kejahatan serupa.
Beliau membalas mereka dengan kebaikan-kebaikan. Tak heran bila banyak dari orang-orang yang pada mulanya gemar menyakiti beliau akhirnya menyadari kesalahannya setelah melihat begitu mulia akhlak yang beliau contohkan.
Disadari atau tidak, kata-kata yang baik memang akan memberikan semacam stimulus bagi orang lain untuk berkata-kata yang baik pula. Sebaliknya, ucapan yang kotor ibarat virus penyakit ganas mematikan yang bisa menular dengan sangat cepat.
Lihat saja di media sosial, saat mencuat hal-hal yang dianggap tabu atau menimbulkan kontroversi. Ketika netizen berkomentar dengan kata-kata kotor, biasanya dalam waktu sangat cepat akan disusul dengan komentar-komentar serupa.
Hal itu menjadi bukti nyata, betapa ucapan kotor itu ibarat penyakit menular dan sangat berbahaya bila tak segera diantisipasi. Orang yang gemar mengeluarkan kata-kata kotor juga menjadi pertanda bahwa ia tak berusaha mengekang hawa nafsu yang meledak-ledak dalam dirinya.
Diam adalah Kunci
Dalam Buku Saku Olah Jiwa, Imam al-Hakim al-Tirmidzi, salah satu ulama yang sangat memperhatikan pendidikan jiwa guna memperoleh kebahagiaan, menjelaskan bahwa hawa nafsu itu tidak memiliki kelembutan, rasa malu, kesejukan, dan ketenteraman. Ia mirip binatang ternak yang tak pernah mengangkat kepalanya saat makan kecuali setelah memenuhi keinginan dan hajatnya di dunia.
Tentang begitu pentingnya menjaga mulut, Teddi Prasetya Yuliawan, dalam buku #NasihatDiri: untuk Para Pekerja mengajak pembaca untuk berkata-kata yang baik. Orang yang gemar mengucap kebaikan menandakan banyak kebaikan dalam dirinya. Sebaliknya, orang yang lancar mengucap keburukan sejatinya sedang menerangkan akan banyaknya keburukan di dalam dirinya.
Saya akui, memang yang namanya menjaga mulut dari kata-kata kotor itu bukan hal mudah (tapi bukan hal sulit bila kita selalu melatihnya). Ada kalanya kita begitu mudah terpancing emosi bila berhadapan dengan orang-orang yang iri atau tak menyukai keberadaan kita.
Bila mengikuti kehendak ego dan hawa nafsu, tentu kita ingin langsung membalasnya dengan ucapan serupa. Bahkan kalau perlu dengan kata-kata yang lebih kotor sehingga akan memancing orang tersebut untuk menyerang kita dengan kata-kata yang lebih kotor. Begitu seterusnya.
Tak akan pernah ada habisnya bila kita membalas keburukan dengan keburukan. Oleh karenanya, lebih baik diam dan menenangkan diri saat hati sedang terbakar emosi akibat ucapan kotor yang keluar dari mulut orang lain.
Perlu direnungi bersama, bahwa diam dari mengucapkan kata-kata yang tidak baik itu termasuk ciri keimanan kita kepada Allah SWT. Jadi, sama sekali bukan tanda kita adalah orang yang kalah dan lemah. Justru diamnya kita saat disakiti, menjadi kekuatan atau benteng yang akan semakin meningkatkan kesabaran dan ketakwaan kita kepada-Nya.
Sangat tepat kiranya Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita agar lebih baik memilih diam bila kita belum sanggup berkata-kata yang baik. Ucapkanlah yang baik-baik saja, atau bila belum mampu berkata baik, diamlah. Wallahu alam bish-shawaab.