Perbedaan Tafsir Naqli Dan Aqli
HIDAYATUNA.COM – Memahami Al-Qur’an kiranya merupakan kebutuhan bagi setiap Insan Muslim dalam segala zaman, dewasa ini kiranya kebutuhan akan pehamanan (Tafsir) Al-Qur’an yang absah dan memiliki legitimasi silsilah keilmuan yang jelas menjadi kebutuhan wajib bagi para pencari suaka cahaya Ilahi yang tercermin dalam kalam-kalam qauliyah Al-Qur’an al-Karim. Ditengah maraknya pemahaman alakadarnya dan tidak memiliki tuah sumber yang jelas akan penafsiran Al-Qur’an.
sebelum menyelami Samudra makna Al-Qur’an ada baiknya memahami terlebih dulu berbagai macam metode dalam memahami Al-Qur’an dan menafsirkan Al-Qur’an. Dalam Ilmu Tafsir, metode menafsirkan Al-Qur’an memiliki ragam bentuk. Namun secara garis besar tidak pernah keluar dari dua pokok aliran yang umumnya disebut sebgai Tafsir Naqlidan Tafsir Aqli. Dua model metode tafsir ini selanjutnya akan mengalami perkembangan-perkembangan.
Tafsir Naqli
Tafsir Naqli sendiri adalah tafsir yang didasarkan pada penukilan terhadap hal-hal yang transendent dalam hal ini adalah dalil-dalil kewahyuan. Yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Allah dan Rasulnya. Dalam pemahaman Ilmu tafsir, tafsir naqli sebenarnya memiliki banyak sebutan yaitu tafsir bi al-riwayah, dan tafsir bi al-ma’tsur namun metode tafsir ini lebih masyhur dengan sebutan tafsir bi al-ma’tsur.
Kata Al Ma’tsuradalah isim maful yang terambil dari mufrod atsar (bekas)yang secara etimologis berartimenyebutkan atau mengutipkan. Atsar juga berarti sunnah, hadits, jejak, pengaruh dan kesan. Jadi kata ma’tsur pada hakekatnya mempunyai makna mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.
Sedangkan pengertian tafsir bi Al–Ma’tsur secara terminologi terdapatberbagai pendapat. Al Zarqani misalnya, ia mendefinisikan tafsir bi Al Ma’sur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiranAl-Qur’an dengan Al Sunnah dandengan pendapat para sahabat.
Sementara menurut Muhammad Husen Al Zahabi,tafsirbi Al Ma’sur adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’andengan Al Sunnah, Al-Qur’an denganpenafsiran para sahabat dan tabiin.
Senada dengan al-Zahabi, Manna Qathan mendefinisikan Tafsir naqli atau tafsir bi al-ma’tsur) sebagai tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib yangsebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkanAl-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah karenaSunnah merupakan penjelas bagi Kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yangditerima dari para sahabat sebab mereka lebih mengetahui tentang Kitabullah, ataudengan riwayat-riwayat dari tabi’in besar sebab mereka telah menerimanya dari parasahabat.
Dari ragam pendefinisian diatas dapat ditarik ide pokonya yaitu bahwa yang disebut tafsir bil ma’tsur adalah cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, baik penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an itu terdapat dalam surah yang sama atau berlainan surah, yang menjadi ilatnya adalah adanya munasabah al-ayah, atau ketersambungan dan ketersesuaian antara ayat yang ditasirkan dengan ayat yang menafsirkan.
Tafsir bil al-ma’tsur yang kedua adalah menafsirkan Al-Qur’andengan Sunnah Nabi. Dalam Al-Qur’an disebutkan.
وَمَا يَنۡطِقُ عَنِ الۡهَوٰىؕ اِنۡ هُوَ اِلَّا وَحۡىٌ يُّوۡحٰىۙ
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (al-Najm: 3-4)
dari ayat ini didiapati bahwa seluruh tindak tanduk Nabi tidak pernah berangkat dari kemauan hawa nafsu melainkan suatu wahyu yang diwahyukan.
Selain itu makna tafsir bil ma’tsur juga mencakup penafsiran dengan pendapat para sahabat, hal yang menjadi alasan ibrah dari sahabat juga masuk dalam klasifikasi bil ma’tsur adalah karena dirasa sahabat pernah bermuwajahah dengan nabi secara langsung (talaqqi) , baik kontak jasmani maupun rohani, sehingga pemahaman Nabi atas Al-Qur’an dapat benar-benar dipahami oleh Sahabat. Hal ini juga didukung oleh hadits nabi
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah masaku, kata Nabi, setelah itu generasi setelahku”.
Hadits ini banyak dimaknai meyangkut ajaran Islam dan pemahaman akan keislaman. Karena masa sahabat berada dalam satu masa dengan Nabi sehingga terjadinya distorsi akan pemahaman dan ajaran Islam cukup minimalis.
Bahkan ulama ilmu tafsir semacam al-Zahabi, memasukkan bahwa cakupan wilayah tafsir bil ma’tsur juga menyangkut pendapat tabi’in. Hal ini dilandasi atas alasan bahwa tabiin merupakan satu generasi dibawah sahabat yang pernah bertemu dan mendapat limpahan keilmuan secara langsung dari sahabat.
Contoh penafsiran Al-Qur’an denganAl-Qur’an adalah.
ؕ اُحِلَّتۡ لَـكُمۡ بَهِيۡمَةُ الۡاَنۡعَامِ اِلَّا مَا يُتۡلٰى
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”. (al-Maidah: 1)
Ayat pertama surat al-Maidah ini berbicara tentang hewan ternak yang halal dimakan, ayat lanjutannya kemudian banyak berbicara tentang larangan-larangan selama berihram (haji atau umrah) baru di ayat ke tiga dalam surah yang sama, Allah melanjutkan keteranga di ayat pertama menyangkut macam-macam hewan yang haram untuk dimakan.
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ الۡمَيۡتَةُ وَالدَّمُ وَلَحۡمُ الۡخِنۡزِيۡرِ وَمَاۤ اُهِلَّ لِغَيۡرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالۡمُنۡخَنِقَةُ وَالۡمَوۡقُوۡذَةُ وَالۡمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيۡحَةُ وَمَاۤ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُ بِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنۡ تَسۡتَقۡسِمُوۡا بِالۡاَزۡلَامِ ؕ ذٰ لِكُمۡ فِسۡقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan” (al-Maidah: 3)
Ayat 3 surah al-Maidah ini juga sekaligus merupakan penjelasan dan tafsiran atas ayat 30 surah al-Hajj.
وَاُحِلَّتۡ لَـكُمُ الۡاَنۡعَامُ اِلَّا مَا يُتۡلٰى عَلَيۡكُمۡ
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya” (al-Hajj:30)
Tafsir Aqli
Selain tafsir bi al-naql juga ada tafsir bi al-aql. Apa tafsir bi al-aql itu sebenarnya,? Tafsir bi al-aql sendiri biasa disebut dengan tafsir bi al-Dirayah, atau juga tafsir bi al-ma’qul, sesuai dengan arti harfiahnya bahwa metode tafsir ini tidak didasandarkan atas tartib riwayat-riwayat. Melainkan pada kekuatan rasional dan sifatnya ijtihadi, sehingga yang menjadi sandaran penafsirannya adalah bertolak dari gramatika kebahasaan, aspek sejarah dan peradaban Arab masa silam, dan juga pengunaan sains dan ilmu pengetahuan yang dapat menopang dalam penafsiran suatu ayat.
Selain itu ada pertimbangan-pertimbangan lain, seperti ilmu ushul al-fiqh, balaghah, bayan, ma’ani dll, sehingga tafsir bi aql ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa bertopang pada kualifikasi keilmuan yang lain. Sekalipun pengunaan rasio yang cukup dominan, namun tetap berdasarkan prinsip-prinsip logika yang benar dan sistem berpikir yang sah, juga dengan prasarat-prasyarat yang ketat.
Pakar tafsir kontemporer semacam ali al-Shabuni bahkan mengklasifikasikan model tafsir ini menjadi dua macam, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang terpuji dan yang tercela. Selama penafsiran seseorang atas Al-Qur’an itu tepat sasaran dengan tujuan yang dikandungnya, kemudian tidak melenceng dari kaidah umumnya yang tersurat dari nash-nash, juga selaras dengan kaidah bahasa Arab yang benar, maka hal itu dapat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yang terpuji. Dan sebaliknya, disebut tafsir bi al-ra’yi tercela lantaran menafsirkan ayar-ayat Al-Qur’an tanpa didasari pada pemahaman yang memadai, menafsirkan ayat hanya lantaran ambisi dan kepentingannya semata, juga tanpa ada kemampuan dalam penguasaan kaidah-kaidah bahasa Arab dan batas-batas syariat.
Contoh tafsir bi al-aql dalam tafsir Jalalain , surah Al-Fatihah ayat 2.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ جملة خبرية قصد بها الثناء على الله بمضمونها على أنه تعالى : مالك لجميع الحمد من الخلق آو مستحق لأن يحمدوه والله علم على المعبود بحق رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ أي مالك جميع الخلق من الإنس والجن والملائكة والدواب وغيرهم وكل منها يطلق عليه عالم يقال عالم الإنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العلامة لأنه علامة على موجده
“(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal ‘al-`aalamiin’ merupakan bentuk jamak dari lafal ‘`aalam’, yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata ‘aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya”
Dari contoh tafsir bi al-aql di atas lebih banyak diuaraikan tentang sisi gramatika kebahasaan dan kemungkinan makna-makna dan penjelas atas makna yang terkandung didalam ayat tersebut. Sehingga ada perluasan cakupan makna dari awal kandungan makna leksikalnya.
REFERENSI:
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014)
Muḥammad ‘Aliy al-Ṣabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985)
Adz Dzahabi, Muhmmad Husain. Al Tafsir al al-Mufassirun 1 (Kuwait: Darul Kitabul Hadits, 1976)
Az Zarqaayi, Al Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihya al-Quth al-Arabiyah, 1957)
Al-Mahalli, Jalaluddin dan al- Suyu’ti, Jalaluddin, Tafsir Jalalain (Daar al-Ihya’ al-Kutub Al-Arabiyyah Indonesia)